Jerawat Bisa Sebabkan Depresi

Senin, 05 Maret 2018 - 11:00 WIB
Jerawat Bisa Sebabkan Depresi
Jerawat Bisa Sebabkan Depresi
A A A
BUKAN hanya mengganggu penampilan, faktanya kehadiran jerawat juga berimbas pada kondisi mental individu bersangkutan.

Mereka dihinggapi rasa depresi, tidak percaya diri, bahkan ada keinginan untuk bunuh diri. Jerawat rupanya bukan sekadar gangguan kulit biasa. Nyatanya, banyak di antara mereka yang berjerawat mengalami depresi klinis sebesar 18% dan kecemasan sebesar 44%.

Individu dengan jerawat, khususnya wanita, mengalami gangguan emosi, seperti rasa malu, rendahnya tingkat percaya diri, kegelisahan, dan dampak psikologis lain. Sekitar 18% di antaranya mengalami kegelisahan dan 44% mengalami kecemasan, bahkan dilaporkan 6% pasien berkeinginan melakukan bunuh diri.

Seperti diketahui, wanita memiliki hormon estrogen, progesteron, dan androgen yang masing-masing memiliki fungsi berbeda bagi tubuh. Hormon yang memengaruhi penampilan kulit dan pertumbuhan rambut adalah hormon androgen. Penelitian menunjukkan bahwa hiperandrogen atau kelebihan hormon androgen (hormon khas laki-laki) dapat memengaruhi 10%-20% perempuan pada usia produktif.

Dalam tubuh perempuan terdapat hanya 1% androgen bebas. Jika kadar ini meningkat, dapat menimbulkan masalah bagi perempuan, salah satunya adalah gangguan jerawat dengan derajat sedang hingga berat. Menurut dr Suksmagita Pratidina SpKK, penyebab munculnya jerawat adalah tersumbatnya folikel kulit yang paling banyak disebabkan produksi sebum (minyak) berlebih.

“Berlebihnya produksi minyak di kulit wajah dapat dipengaruhi tingginya kadar androgen bebas yang akan memicu aktivitas kelenjar minyak dan sebum. Akibatnya, kulit wajah yang semula lembut dan mulus tampak sangat berminyak serta tumbuh jerawat dan komedo,” beber dr Suksmagita.

Terdapat tiga tingkatan jerawat, yaitu jerawat ringan, sedang, dan berat/parah. Adapun jenis jerawat yang disebabkan hiperandrogen dapat dikelompokkan sebagai jerawat dengan derajat sedang hingga berat/parah.

Sementara itu, Dr dr Budi Wiweko SpOG(K) mengatakan, penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan hiperandrogen akan mengalami gejala klinis hiperandrogen dengan karakteristik seperti seborrhea (peradangan kulit bagian atas), acne (jerawat), hirsutism (munculnya rambut pada bagian tubuh perempuan yang biasanya tidak ditumbuhi rambut), alopecia (kebotakan), serta siklus menstruasi yang tidak teratur atau dikenal dengan SAHA syndrome.

Dalam memberikan terapi pengobatan untuk jerawat hiperandrogen, sangat penting untuk diketahui sumber masalahnya dan kondisi pasien. Untuk mengatasi jerawat yang disebabkan kelebihan hormon androgen, penggunaan obat oral, misalnya pil kontrasepsi atau pil KB, bisa menjadi pilihan.

Pil KB yang digunakan harus mengandung antiandrogen yang merupakan biang keladi berlebihnya produksi minyak pada beberapa orang. Prinsipnya, kurangi jerawat dengan mengurangi minyak dan androgennya. Tetapi, penggunaannya tetap harus mengikuti resep dokter karena tidak semua pil KB memiliki efek antiandrogen.

Dibenarkan dr Budi, pil KB, terutama dengan kombinasi estrogen dan progesteron, dapat membantu mengatasi jerawat. “Estrogen meningkatkan produksi protein pengikat androgen bebas, sementara progesteron memang bersifat antiandrogen. Jadi, pada wanita hiperandrogen, minum pil KB akan menurunkan androgen bebasnya,” papar dr Budi.

Bagi wanita hiperandrogen yang belum menikah atau sedang tidak dalam program hamil, penggunaan pil KB yang diresepkan dokter dapat membantu mengendalikan kelebihan hormon androgen bebas.

Ya, pil KB kini tidak hanya berguna untuk menunda kehamilan, tetapi juga merupakan bagian dari pengobatan. Bagi yang belum menikah, pil KB membantu menghambat pembentukan hormon androgen aktif dan mengatur siklus haid, termasuk membantu mengurangi jerawat.

Dr Suksmagita menambahkan, masalah kulit yang disebabkan faktor kebersihan lebih mudah diobati karena selama pasien dapat menjaga kebersihan diri, jerawat akan hilang atau sembuh dengan mudah. “Berbeda dengan jerawat hiperandrogen, banyak pasien mencoba berbagai pengobatan atau perawatan, tetapi tetap saja jerawat muncul kembali. Karena itu, penting diketahui apa yang menjadi sumber masalahnya,” tandas dr Suksmagita.

Beda Jerawat Hiperandrogen dan Jerawat Biasa
Lalu, bagaimana cara termudah mendeteksi jerawat hiperandrogen dan jerawat biasa? Hal ini bisa dilihat dari bentuknya, yaitu bentuk besar meradang atau jerawat berat. Ketika sudah menjalani terapi dengan sesuai, tetapi masih belum sembuh, itu adalah jerawat hiperandrogen.

Cara lain untuk mendeteksi jerawat hiperandrogen yaitu dengan aspek pengurangan minyak. Menurut dr Suksmagita, jerawat erat dengan produksi minyak. “Saat ada jerawat, lalu kita sudah berupaya melakukan pengurangan minyak, tetapi masih belum sembuh juga, mungkin jerawat yang diderita ini adalah jerawat hiperandrogen,” katanya.

Sedangkan menurut dr Budi, ada dua cara mudah untuk mengenali jerawat hiperandrogen. “Soal hiperandrogen ini bisa dilihat juga dari apabila siklus haid tidak teratur dan langsung timbul jerawat. Hal ini terjadi tidak pandang usia. Usia 15 tahun ke atas itu siklus haidnya musti teratur, berbeda dengan haid di umur 12- 14 tahun, di mana tubuh baru belajar haid istilahnya,” pungkas dr Budi. (Sri Noviarni)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4571 seconds (0.1#10.140)