Bagaimana Uang Zaman Now Bekerja?

Minggu, 13 Mei 2018 - 15:15 WIB
Bagaimana Uang Zaman Now Bekerja?
Bagaimana Uang Zaman Now Bekerja?
A A A
BAGAIMANA Anda menilai uang di zaman now? Ah, apa bedanya uang zaman dulu dengan uang zaman sekarang? Begitu kesan saya ketika pertama melihat judul buku ini.

Secara kasatmata yang namanya uang alias duit, rupiah tentu saja, ya begitu-begitu saja. Yang berbeda mungkin hanya desain atau gambar tokoh yang melekat pada lembaran-lembarannya. Tapi, bukan itu yang dibahas pada buku ini. Lebih dari itu, penulis buku ini ingin menyampaikan bahwa uang atau bisa disebut aset untuk modal hidup kini memiliki paradigma baru.

Apa gerangan? Penulis buku New Money Revolution, Goenarjoadi Goenawan ingin memaparkan bagaimana kini uang memiliki paradigma baru, terutama dalam hal kredit/pinjaman. Ya, kredit merupakan hal lumrah bagi sebagian orang yang berhubungan dengan perbankan atau lembaga keuangan lain.

Salah satu penekanan yang disampaikan dalam buku ini adalah adanya paradigma lama menganggap kredit adalah utang dan harus dilunasi. Padahal, menurut penulis, di zaman now kredit bank adalah new money alias uang baru yang perlu di-upgrade agar memberikan manfaat lebih besar.

Bagaimana caranya? Kembangkan kredit yang Anda peroleh dengan membelanjakan aset yang memberi return tinggi. Lalu bagaimana dengan risikonya? Setiap investasi memang ada risiko, itu pasti. Tantangannya adalah bagaimana Anda bisa mengelola risiko tersebut agar tidak menguras aset Anda. Dalam buku ini penulis mencontohkan, bagaimana aset dari hasil kredit dimanfaatkan dalam investasi di sektor properti yang dinilai dapat memberikan imbal hasil cukup baik.

Selain memberikan gambaran bagaimana cara berinvestasi dengan dana dari hasil pinjaman, buku ini juga mengulas kondisi makro terkini yang terjadi di Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan adalah adanya tren penurunan daya beli konsumen Indonesia. Ini terbukti dari tutupnya beberapa toko ritel, seperti Matahari di Mal Taman Anggrek, Ramayana, Debenhams, dll. Di sisi lain, berita berikutnya adalah adanya kabar baik, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang terpilih sebagai menteri terbaik di Asia-Pasifik versi majalah keuangan FinanceAsia. Kok bisa? Bukannya ini kontradiktif dengan kondisi riil di masyarakat?

Tema-tema seperti inilah yang diangkat pada buku setebal 181 halaman ini. Dengan bahasa yang cukup ringan, tidak terlalu bertele-tele, penulis berusaha menyampaikan bahwa kondisi saat ini, yang terjadi adalah orang kaya semakin kaya dan orang miskin tambah miskin.

Di buku ini juga diungkapkan adanya anggapan keliru bahwa orang kaya memiliki tabungan besar. Padahal, hal itu menurut penulis tidak sepenuhnya benar. Penulis bahkan menganggap hal itu sesuatu yang absurd. Pasalnya, yang terjadi sesungguhnya adalah seseorang disebut kaya karena mereka memiliki akses terhadap modal kredit di bank.

Orang di kelompok ini dengan leluasa mendapatkan uang giral, uang baru, alias new money yang terus bertambah setiap saat. Kondisi ini berbeda dengan mereka yang tidak bisa mengakses ke lembaga keuangan sehingga jadilah mereka sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam hal keuangan.

Lalu, harus mulai dari mana jika kita ingin memperoleh akses ke pusat permodalan? Ciptakan peluang, begitu kata penulis buku ini. Penulis memberi saran bagi yang saat ini menjadi karyawan di perusahaan agar segera mengubah mindset supaya tidak terlanjur masuk ke lubang karier yang menjebaknya yang pada akhirnya tidak terpikirkan untuk menciptakan peluang berusaha sendiri.

Percayalah, semakin lama gaji karyawan Anda akan ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan capital gain dari investasi di sektor properti. Namun, sebelum membahas peluang usaha di masa depan, perlu dipelajari konsep bisnis seperti apa yang akan dibuat.

Kuncinya kembali ke penciptaan dan kreativitas. Trik lain, penulis menyarankan, apabila dalam penciptaan dan kreativitas Anda mandek, cobalah berbisnis dengan menggandeng orang lain yang sudah lebih dulu sukses. Misalnya, jika Anda membangun properti sebuah mal. Sebelum mal dibangun, Anda harus berkolaborasi dengan pemilik lahan.

Tidak mungkin Anda membeli lahan di lokasi strategis kecuali berkolaborasi dengan mitra yang menimbun lahan. Atau, coba lihat tren kaum milenial zaman sekarang yang lebih banyak menyukai pekerjaan dengan membangun bisnis startup. Mereka kreatif sehingga tidak lagi berpikir bagaimana mereka menjadi karyawan perusahaan dan bekerja untuk orang lain.

Yanto Kusdiantono
Jurnalis
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3986 seconds (0.1#10.140)