Sel Terorisme dan Sikap Beragama Kita

Minggu, 27 Mei 2018 - 14:25 WIB
Sel Terorisme dan Sikap Beragama Kita
Sel Terorisme dan Sikap Beragama Kita
A A A
DALAM beberapa karyanya, Emha Ainun nadjib (Cak Nun) selalu tampil "vulgar" nan kritis mengisahkan sejumlah fakta serta fenomena sosial yang terjadi di belahan bumi Indonesia ini. Seperti dalam mengkritik kebijakan pemerintah, Cak Nun tak pernah setengah hati untuk menyampaikan kritik tersebut melalui tulisannya. Terkait cara hidup beragama, Cak Nun bahkan tak segan-segan memberikan koreksi cara memaknai agama yang kadang terlalu berlebihan.

Dalam Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai ini pun, Cak Nun hendak menguliti dalam-dalam sejumlah perkara "kemusliman" yang menggurita dalam sikap dan perilaku kaum beragama dewasa ini. Cak Nun mencoba mendobrak sikap kepatuhan para penganut agama yang ternyata cenderung "formalitas" karena dicurigai ada muatan lain yang sebenarnya menjadi target dari pergerakan tersebut. Belum lagi, terkait munculnya sikap biner, ketika pemahaman beragama harus berkutat pada pusaran hitam atau putih, haq atau batil, jahiliah atau islami.

Segmen sosial pun sama sekali tak bisa dihadirkan dalam kehidupan beragama, seakan agama hanya urusan dia dengan Tuhannya. Padahal, agama sejatinya lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Saat itulah, kaum beragama memandang agamanya sebagai satu-satunya jalan yang lurus dan yang lain salah.

Sikap inilah yang diyakini menjadi sel tumbuhnya sikap radikalisme dan bukan tidak mungkin mengarah pada tindakan terorisme. Sebagian orang memandang itu semua sebagai sikap beragama yang "arogan" karena tidak memberikan ruang bagi yang lain untuk membangun fondasi keyakinan sesuai yang mereka miliki. Yang mengkhawatirkan, ketika ternyata apa yang diucapkan oleh mulut kita tidak sesuai dengan batin kita, itu justru diketahui oleh orang lain dari bahasa tubuh kita.

Nah, inilah kata lain dari sikap beragama yang tidak utuh dan murni. Cak Nun memvisualisasikan cara beragama yang "simbolik" tersebut dalam Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai ini. Dikisahkan ada dua kiai di sebuah pesantren yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras bahwa hukum kesenian itu haram. Dalam perdebatan itu mereka disaksikan oleh para santri.

Perdebatan hampir mengarah pada "debat kusir", yang kemungkinan tidak akan menemukan jalan keluar. Namun demikian, kiai yang ngotot terkait keharaman kesenian, ternyata pada akhirnya harus lebur dalam sebuah bunyi musik yang terlantun dari kejauhan.

Kebetulan, dari kejauhan terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai yang dikisahkan itu mulai meledak-ledak suaranya menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan. Para santri melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, para santri pun meniru anggukan ritmis kaki kiai itu. Sebab, gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibandingkan mulutnya. (Hal. 137).

Selain itu, Cak Nun dalam buku terbitan Bentang Pustaka ini juga memberikan pencerahan kolektif tentang substansi ibadah sebagai ritual dalam beragama. Menurut Cak Nun, ibadah tidak hanya menyelesaikan kewajiban hamba atas Tuhannya. Namun lebih dari itu, harus ada implikasi sosial dari kegiatan ibadah itu sendiri. Inilah sikap beragama yang benar menurut Cak Nun. Beribadah, berhubungan langsung dengan Tuhan, dan jelas efek sosialnya.

Dengan salat, seseorang menyeimbangkan kembali eksistensi kemanusiaannya, menatap kejernihan akalnya, kebersihan hatinya, dan keteguhan mentalnya. Dengan berzakat, seseorang membersihkan pemilikan dunianya. Dia diajari bahwa sesuatu yang dia berikan itulah justru sungguh-sungguh miliknya, bukan yang dia tahan dan himpun, demikian "logika akhirat". (Hal. 67).

Kritis, substantif, dan mendalam, itulah kira-kira kata yang bisa dijadikan instrumen penilaian terhadap ratusan tulisan Cak Nun dalam buku setebal 414 halaman ini. Membaca tulisan-tulisan Cak Nun, kita diajak untuk memasuki dunia nyata, dunia yang bebas dari kepurapuraan, termasuk dalam beragama.

Ahmad Wiyono
Pegiat Literasi dan Peneliti di Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4034 seconds (0.1#10.140)