Ketidakpastian dan Ketidakadilan Hukum Dalam Putusan MK Nomor 90

Sabtu, 13 April 2024 - 07:24 WIB
loading...
Ketidakpastian dan Ketidakadilan Hukum Dalam Putusan MK Nomor 90
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

UJI materi ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terhadap ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) telah diajukan 4 (empat) permohonan yaitu Perkara Nomor 29, 51, dan 55 /PUU-XXI/2023 dan permohonan keempat adalah Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dijadikan topik diskusi ini.

Putusan Perkara Nomor 90 yang mengabulkan permohonan diajukan oleh seorang mahasiswa di Surakarta, telah diputus oleh 5 (lima) hakim MK mengabulkan, sedangkan 4 (empat hakim MK-Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo) pendapat berbeda yakni menolak permohonan tersebut. Keempat pendapat berbeda tersebut memberikan pertimbangan yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya mempersoalkan tiga hal. Pertama, bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) telah disepakati bahwa soal pembentukan dan perubahan suatu UU adalah bukan termasuk wewenang MK, akan tetapi merupakan wewenang pembentuk UU (opened legal policy).

Kedua, RPH dalam membahas permohonan dalam Perkara Nomor 90 dilakukan secara cepat dan terburu-buru, sedangkan RPH dalam hal permohonan yang sama dalam Perkara Nomor 29, 51, dan 55 memakan waktu sampai ditunda 3 (tiga) hari. Ketiga, pada RPH permohonan perkara Nomor 29 dan 51 Ketua MK tidak hadir. Putusan hanya diikuti dan diambil oleh 8 (delapan) hakim lainnya. Namun, dalam RPH permohonan Perkara Nomor 90, Ketua MK hadir dan memimpin RPH, kemudian diketahui bahwa permohonan Perkara Nomor 90 telah dikabulkan MK.



Dalam konteks inti sari pertimbangan pendapat yang berbeda tersebut, terdapat dugaan konflik kepentingan Ketua MK yang merangkap Ketua Majelis dalam perkara permohonan Nomor 90. Rahasia umum bahwa pemohonan Perkara Nomor 90 bertujuan untuk memuluskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang notabene adalah keponakan Ketua MK/Ketua Majelis kala itu yakni Anwar Usman. Keganjilan-keganjilan dan sikap hakim MK dalam RPH yang berubah seketika dalam RPH permohonan Perkara Nomor 90 menimbulkan pandangan negatif yang telah beredar di masyarakat, sehingga mengakibatkan muruah dan wibawa Mahkamah Konstitusi selaku salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), telah tergerus dan mengurangi kepercayaan masyarakat luas terhadap integritas dan profesionalitas kesembilan hakim MK tersebut.

Untuk menguatkan analisis tersebut perlu dikemukakan antara lain pendapat berbeda dari hakim Saldi Isra yang antara lain dikatakan bahwa, beberapa Hakim Konstitusi ...dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menunjukkan “ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substantial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023.

Merujuk pada keterangan Saldi Isra tersebut tampak kekecewaannya atas sikap dan perilaku kolega sesama hakim MK dan dalam bagian lain pertimbangannya dikemukakan antara lain, Mahkamah sering kali memberikan pertimbangan opened legal policy terhadap permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi,sehingga sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya dan bukan diputuskan sendiri oleh Mahkamah.

Bertolak dari pertimbangan tersebut, Saldi Isra mengemukakan, Mahkamah sudah seharusnya berpegang teguh pada pendekatan ini dan tidak seakan-akan memilih-milih mana yang dapat dijadikan opened legal policy dan memutuskannya tanpa argumentasi dan legal reasoning yang jelas serta berubah-ubah. Jika hal demikian terjadi, maka penentuan opened legal policy oleh Mahkamah seperti menjadi cherry-picking jurisprudence sebagaimana terlihat dari ketidakkonsistenan pendapat sebagian hakim yang berubah seketika dalam menjawab pokok permasalahan dalam beberapa permohonan yang serupa seperti diuraikan di atas.

Dalam permohonan aquo Mahkamah juga sudah seharusnya menerapkan judicial restraint dengan menahan diri untuk tidak masuk dalam kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan persyaraan batas usia minimum bagi calon presiden dan wakil presiden. Bertolak dari uraian dan penjelasan Hakim MK Saldi Isra dan pendapat berbeda dari ketiga hakim MK lain dalam Putusan MKRI Nomor 90/PUU-XXI/2023 mencuat aspek hukum yang disampaikan sebagaimana diuraikan ini.

Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakpastian hukum dan pada gilirannya terjadi ketidakadilan hukum dalam Perkara Nomor 90. Putusan MK dalam Perkara Nomor 90 meruntuhkan muruah dan martabat MKRI, salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem hukum Indonesia. Sekalipun terdapat keganjilan dan inkonsistensi dalam RPH, putusan MK bersifat terakhir dan mengikat (final and binding).

Namun, dengan terdapat keganjilan-keganjilan dan inkonsistensi pendapat hakim MK dalam RPH perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/202 merupakan petunjuk bahwa masih diperlukan investigasi yang bersifat independen dibentuk oleh masyarakat sipil untuk mengungkap kotak pandora yang tertutup rapat sehingga dapat diungkapkan tuntas kebenaran materiil dalam RPH Perkara Nomor 90. Hanya dengan cara tersebut diharapkan MK di masa yang akan datang dapat merebut kembali kepercayaan 270 juta rakyat Indonesia dan kembali ke khitahnya sebagai lembaga peradilan konstitusi yang bermartabat dan tepercaya di hadapan 270 juta rakyat Indonesia.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1273 seconds (0.1#10.140)