Deretan Bintang Dunia yang Berjuang Melawan Limfoma

Senin, 14 Januari 2019 - 12:38 WIB
Deretan Bintang Dunia yang Berjuang Melawan Limfoma
Deretan Bintang Dunia yang Berjuang Melawan Limfoma
A A A
BUKAN hanya Ustaz Arifin Ilham, sejumlah tokoh dunia juga mengidap kanker limfoma. Namun, dengan pengobatan tepat, pasien bisa sembuh dari penyakit mematikan ini.

Bintang serial televisi Michael C Hall yang populer lewat serial Six Feet Under dan Dexter terkejut ketika mendapati beberapa benjolan di lehernya. Dia kemudian berkonsultasi dengan dokter dan disarankan melakukan biopsi.

Hasil biopsi menyatakan bahwa dia terkena kanker limfoma hodgkin. Diagnosis itu menguak ketika Michael tengah sibuk syuting musim keempat Dexter pada 2010. “Aku hanya bilang, Oh, menarik ketika dokter memvonisku kanker,” kata Michael.

Vonis tersebut datang ketika dia akan berulang tahun ke-39. Kebetulan sang ayah meninggal di usia itu akibat kanker prostat. Tanpa mengulur waktu, Michael segera menjalani kemoterapi seusai merampungkan proyek filmnya.

Beruntung pengobatan yang dijalani membuahkan hasil. Michael kemudian didapuk menjadi duta untuk Leukemia & Lymphoma Society. Dia bisa menjalani aktivitasnya kembali sebagai seorang aktor. Baru-baru ini dia tampil di drama thriller Safe sebagai pemeran utama.

Penyintas kanker limfoma hodgkin lainnya adalah penyanyi sekaligus penulis lagu Delta Goodrem. Dia didiagnosis pada 2003 ketika usianya masih 18 tahun dan sedang naik daun. Wanita asal Australia itu harus menjalani perawatan di St Vincent’s Hospital, New South Wales.

Dia berkata, “Jika kamu bisa terpilih menjadi sukses, kamu juga bisa terpilih untuk menjadi sakit. Hal itu membuat aku menyadari bahwa semua bisa terjadi kepada siapa saja tanpa pandang bulu,” ujar Delta yang menyebut bahwa penyakit itu sebagai hadiah dari Tuhan.

Penyanyi 34 tahun itu berjuang melawan limfoma hodgkin dengan tetap semangat. Kini Delta menandai perjalanan 15 tahunnya setelah divonis kanker. Dia bahkan menjadi duta rumah sakit tempat dia menjalani perawatan dulu sebagai seorang penyintas kanker. “Saya harap posisi ini bisa membuat saya membantu pasien lain dan memberi harapan kepada mereka,” katanya.

Sama seperti Delta, pemain The A-Team yang memerankan Sersan Bosco BA Baracus, Mr T, tidak ingin kariernya terhenti akibat limfoma yang dideritanya. Mantan pegulat yang terkenal dengan rambut mohawk dan kalung besar yang dikenakannya itu menerima diagnosis penyakit tersebut pada 1995 saat usianya 43 tahun.

Pria bernama Lawrence Turead ini kemudian melakukan rangkaian perawatan, mulai kemoterapi, radiasi, hingga terapi interferon (hormon). Baru pada 2016, dia dikabarkan bebas kanker. Keadaan ini disebut remisi, yaitu ketika pasien kanker telah diterapi dan sudah dievaluasi, pasien tersebut tidak mengandung sel kanker lagi di tubuhnya.

Namun perlu diketahui, istilah remisi ini berbeda dengan sembuh total. Maka itu, pada masa remisi tersebut, pasien harus tetap melakukan kontrol secara teratur dan tetap menjaga tubuhnya agar selalu sehat.

Segenap nama tersebut adalah mereka yang berhasil menaklukkan limfoma. Tetapi, ada pula yang harus kalah, sebut saja mantan Ibu Negara AS Jackie Kennedy. Dia divonis non-hodgkin limfoma pada 1993. Sayangnya, sel kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lainnya dan setahun kemudian dia tutup usia.

Dr dr Hilman Tadjoedin SpPD-KHOM, spesialis onkologi medik, mengatakan, ada dua jenis limfoma, yaitu limfoma hodgkin (LH) dan limfoma non-hodgkin (LNH). LNH merupakan mayoritas dari kanker pada sistem limfa, yaitu 80% dari jumlah kasus.

Menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, sekitar 1.000 orang setiap hari di dunia didiagnosis menderita limfoma. Di Indonesia, data Globocan 2018 menyebut, sebanyak 35.490 orang didiagnosis limfoma dalam lima tahun terakhir dan 7.565 orang meninggal dunia.

Pada 2018, kasus baru non-hodgkin limfoma mencapai 14.164 orang dan memiliki prevalensi 4,57%. Saat ini non-hodgkin limfoma menempati peringkat ke-7 penyakit kanker di Indonesia, di bawah kanker payudara, serviks, paru-paru, usus, prostat, ovarium, hati, dan nasofaring.

“Angka kematian yang cukup tinggi ini karena lambatnya deteksi sehingga penanganannya sudah pada stadium lanjut,” kata Dr Ronald A Hukom MHSc SpPD KHOM FINASIM dari Perhimpunan Hematologi dan Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin).
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4458 seconds (0.1#10.140)