Demi Mahir Ngrasani, ‘Bu Tejo’ Belajar di Pasar
loading...
A
A
A
JAKARTA - "Nek dadi wong ki mbok sing solutif". Kalimat lugas dengan mimik nyinyir Bu Tejo dalam sebuah dialog dari film pendek Tilik ini tiba-tiba meledak dan banyak jadi bahan pembicaraan masyarakat.
Kata-kata Bu Tejo (Siti Fauziah) itu begitu kuat dalam mengaduk-aduk emosi penonton. Tak heran, baru beberapa hari film ini muncul, kalimat itu cepat familiar di benak masyarakat. Dalam film Tilik ini, penonton memang banyak tertuju pada sosok Bu Tejo yang menguasai percakapan dalam perjalanan ibu-ibu dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, DIY menuju rumah sakit (RS) untuk membesuk ibu lurah.
Dengan ngrasani (membicarakan orang) berlogat khas Bantul, Bu Tejo seakan mewakili fenomena ibu-ibu warga desa saat ini. Cara bicaranya yang ceplas-ceplos juga membuat penonton seolah gemas dan geregetan. Selain didukung dengan akting pemeran yang kuat, film Tilik mudah diterima dan dicerna karena ceritanya tentang keseharian warga. (Baca: 5 Cara Menjadi Wanita Hebat Seperti Karakter Pada Film)
Penulis naskah Tilik Bagus Sumartono yang akrab disapa dengan Bacep mengaku mendapatkan inspirasi cerita karena sering bergaul dengan ibu-ibu. Dengan mengambil kasus di Desa Dlingo, penulis melihat ada budaya untuk tilikan (menengok orang sakit secara rombongan) yang masih kuat. "Jadi memang inspirasi saya dari ibu-ibu di desa dan konsep mereka dalam situasi apapun tetap punya respons sosial yang baik untuk menengok," ungkap Bacep KORAN SINDO kemarin.
Namun tak hanya kebiasaan ini yang membuat Bacep tertarik. Menurutnya, kebiasaan ibu-ibu desa yang mulai melek teknologi juga menjadi hal yang menarik untuk diangkat. Bacep pun mulai membubuhkan isu seksi rasanan dalam kendaraan terbuka khas pedesaan di kecamatan Dlingo dalam ceritanya. "Sebenarnya truk ini ibarat bangsa atau negara Indonesia," ungkapnya.
Di tengah masyarakat, perbedaan pandangan antara ibu-ibu adalah hal biasa dan terus terjadi. Kabar-kabar tak jelas pun kerap menjadi bumbu-bumbu dalam mencuatnya ketegangan di antara mereka. Bacep menilai, perbedaan dan ketegangan yang dialami ibu-ibu warga desa itu juga menggambarkan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam perbedaan itu mereka tetap baik seperti dalam Tilik dengan setia berada dalam truk hingga akhir perjalanan. Meski kerap kali tegang, tidak ada di antara mereka yang memilih keluar dari truk. "Jadi sebenarnya ini gambaran anak bangsa yang dengan berbagai kondisi tetap menjadi bagian dari bangsa," ucap Bacep.
Tilik juga berupaya meng-capture fenomena maraknya informasi tak jelas di media sosial. Penggunaan media sosial perlu diikuti dengan akurasi informasi sehingga tidak menimbulkan suasana menjadi keruh. "Ini adalah gambaran dalam naskah saya," lanjutnya. (Baca juga: Tak Ingin Solo Jadi Ajang Coba-coba, PKS Siapkan Lawan Gibran)
Meski bercerita tentang fenomena keseharian warga desa, namun Bacep mengaku tak menyangka film ini akan mendapat respons sangat besar dari publik. Hingga kini, film yang dioroduksi oleh Ravacana tersebut sudah ditonton lebih dari 3 juta. "Ini juga bukti bahwa media sosial memiliki peran kuat untuk menaikkan popularitas. Film Tilik menjadi bukti. Dan itu di luar perkiraan saya," ungkap seniman yang tinggal di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul ini.
Film Tilik berdurasi sekitar 32 menit. Hampir seluruh adegan dilakukan di atas truk yang berjalan dari Desa Terong, Dlingo hingga Bantul dan Gamping, Sleman. Pemandangan desa seperti hutan dan sawah selama perjalanan rombongan tilik membuat film ini terasa makin kuat.
Film hasil kerja sama Ravacana Films dengan Dinas Kebudayaan DIY ini disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dan diproduseri Elena Rosmeisara. Film ini mulai tayang perdana di YouTube sejak Senin (17/8) lalu. Sebenarnya film ini dibuat pada 2018 silam. Namun selama ini film tersebut diputar pada kegiatan yang terbatas seperti festival.
Siti Fauziah Saekhoni, pemeran Bu Tejo pun sangat kaget ketika mengetahui film yang dibintanginya menjadi terkenal. Awalnya, Ozie, panggilan akrabnya, sempat menganggap sepele kabar viralnya film tersebut. "Bener saya nggak nyangka itu. Saat pertama saya dikasih tahu suami, saya masih mencuci piring di dapur," ucapnya perempuan berusia 31 tahun itu. (Baca juga: Kasus Virus Corona Global Tembus 23 Juta)
Ozie pun sempat was-was akibat cuplikan dialognya yang ceplas-ceplos seperti “Nek dadi wong ki mbok sing solutif” banyak dikutip publik. Sebagian bahkan menjadikan kalimat itu menjadi meme. "Terus terang saya deg-degan. Banyak yang menggunakan meme omongan saya. Ada yang salah nggak ya, jangan-jangan saya di-bully," ujar perempuan yang memilih drop out (DO) dari kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) demi mengembangkan seni peran itu.
Dia mengaku kalimat yang membuat gemas penonton tersebut sebenarnya hasil improvisasi saat syuting. Kalimat-kalimat itu sama sekali tak tertuang dalam skenario awal. Selain Nek dadi wong ki mbok sing solutif, kalimat improvisasi lainnya adalah “tak andakke dulurku piye he. Podo-podo polisi bintange jejer-jejer limo.
Dalam syuting film ini, Ozie mengaku menghabiskan waktu sekitar dua pekan, yakni mulai dari membaca naskah hingga mengambil gambar dengan lokasi di Desa Terong, Dlingo maupun Kota Bantul dan Sleman.
Awalnya, Ozie bukan dipercaya jadi pemeran utama menjadi Bu Tejo. Namun karena pemeran awal yang dipilih terkendala untuk aktivitas naik turun truk, maka dia akhirnya diminta untuk menggantikan.
Untuk bisa memerankan tokoh yang bisa membikin gemas orang tersebut, Ozie mengaku belajar dari kehidupan ibu-ibu di pasar. Ketika berbelanka ke pasar, Ozie mengaku sengaja lama berkeliling demi melihat dan mendengarkan langsung gaya ibu-ibu saat ngrasani. (Lihat videonya: Bayren ke Final Liga Champions, Optimis Raih Treble Winner)
Tak hanya itu, Ozie pun banyak belajar logat bahasa Jawa warga desa Dlingo. “Memang ada kesulitan ketika harus dialog di atas truk sambil kendaraan berjalan. Termasuk mengatur ibu-ibu yang akan berbicara agar suaranya di bawah dirinya sebagai pemeran utama," tandasnya.
Ozie tak menyangka, di film keenam inilah dia menjadi bintang utama. Pada film-film sebelumnya, dia memang sering menjadi pemeran pembantu termasuk bersama sutradara kondang Hanung Bramantyo. "Di film ini terus terang saya lebih santai mungkin karena sutradara lebih muda ya jadi lebih cair," beber Ozi.
Pada 2015 silam, Ozie pun pernah ikut dalam Mencari Hilal garapan sutradara Ismael Basbeth. Ke depan, Ozie sangat berharap bisa bermain film garapan sutradara Joko Anwar. (Suharjono)
Kata-kata Bu Tejo (Siti Fauziah) itu begitu kuat dalam mengaduk-aduk emosi penonton. Tak heran, baru beberapa hari film ini muncul, kalimat itu cepat familiar di benak masyarakat. Dalam film Tilik ini, penonton memang banyak tertuju pada sosok Bu Tejo yang menguasai percakapan dalam perjalanan ibu-ibu dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, DIY menuju rumah sakit (RS) untuk membesuk ibu lurah.
Dengan ngrasani (membicarakan orang) berlogat khas Bantul, Bu Tejo seakan mewakili fenomena ibu-ibu warga desa saat ini. Cara bicaranya yang ceplas-ceplos juga membuat penonton seolah gemas dan geregetan. Selain didukung dengan akting pemeran yang kuat, film Tilik mudah diterima dan dicerna karena ceritanya tentang keseharian warga. (Baca: 5 Cara Menjadi Wanita Hebat Seperti Karakter Pada Film)
Penulis naskah Tilik Bagus Sumartono yang akrab disapa dengan Bacep mengaku mendapatkan inspirasi cerita karena sering bergaul dengan ibu-ibu. Dengan mengambil kasus di Desa Dlingo, penulis melihat ada budaya untuk tilikan (menengok orang sakit secara rombongan) yang masih kuat. "Jadi memang inspirasi saya dari ibu-ibu di desa dan konsep mereka dalam situasi apapun tetap punya respons sosial yang baik untuk menengok," ungkap Bacep KORAN SINDO kemarin.
Namun tak hanya kebiasaan ini yang membuat Bacep tertarik. Menurutnya, kebiasaan ibu-ibu desa yang mulai melek teknologi juga menjadi hal yang menarik untuk diangkat. Bacep pun mulai membubuhkan isu seksi rasanan dalam kendaraan terbuka khas pedesaan di kecamatan Dlingo dalam ceritanya. "Sebenarnya truk ini ibarat bangsa atau negara Indonesia," ungkapnya.
Di tengah masyarakat, perbedaan pandangan antara ibu-ibu adalah hal biasa dan terus terjadi. Kabar-kabar tak jelas pun kerap menjadi bumbu-bumbu dalam mencuatnya ketegangan di antara mereka. Bacep menilai, perbedaan dan ketegangan yang dialami ibu-ibu warga desa itu juga menggambarkan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam perbedaan itu mereka tetap baik seperti dalam Tilik dengan setia berada dalam truk hingga akhir perjalanan. Meski kerap kali tegang, tidak ada di antara mereka yang memilih keluar dari truk. "Jadi sebenarnya ini gambaran anak bangsa yang dengan berbagai kondisi tetap menjadi bagian dari bangsa," ucap Bacep.
Tilik juga berupaya meng-capture fenomena maraknya informasi tak jelas di media sosial. Penggunaan media sosial perlu diikuti dengan akurasi informasi sehingga tidak menimbulkan suasana menjadi keruh. "Ini adalah gambaran dalam naskah saya," lanjutnya. (Baca juga: Tak Ingin Solo Jadi Ajang Coba-coba, PKS Siapkan Lawan Gibran)
Meski bercerita tentang fenomena keseharian warga desa, namun Bacep mengaku tak menyangka film ini akan mendapat respons sangat besar dari publik. Hingga kini, film yang dioroduksi oleh Ravacana tersebut sudah ditonton lebih dari 3 juta. "Ini juga bukti bahwa media sosial memiliki peran kuat untuk menaikkan popularitas. Film Tilik menjadi bukti. Dan itu di luar perkiraan saya," ungkap seniman yang tinggal di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul ini.
Film Tilik berdurasi sekitar 32 menit. Hampir seluruh adegan dilakukan di atas truk yang berjalan dari Desa Terong, Dlingo hingga Bantul dan Gamping, Sleman. Pemandangan desa seperti hutan dan sawah selama perjalanan rombongan tilik membuat film ini terasa makin kuat.
Film hasil kerja sama Ravacana Films dengan Dinas Kebudayaan DIY ini disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dan diproduseri Elena Rosmeisara. Film ini mulai tayang perdana di YouTube sejak Senin (17/8) lalu. Sebenarnya film ini dibuat pada 2018 silam. Namun selama ini film tersebut diputar pada kegiatan yang terbatas seperti festival.
Siti Fauziah Saekhoni, pemeran Bu Tejo pun sangat kaget ketika mengetahui film yang dibintanginya menjadi terkenal. Awalnya, Ozie, panggilan akrabnya, sempat menganggap sepele kabar viralnya film tersebut. "Bener saya nggak nyangka itu. Saat pertama saya dikasih tahu suami, saya masih mencuci piring di dapur," ucapnya perempuan berusia 31 tahun itu. (Baca juga: Kasus Virus Corona Global Tembus 23 Juta)
Ozie pun sempat was-was akibat cuplikan dialognya yang ceplas-ceplos seperti “Nek dadi wong ki mbok sing solutif” banyak dikutip publik. Sebagian bahkan menjadikan kalimat itu menjadi meme. "Terus terang saya deg-degan. Banyak yang menggunakan meme omongan saya. Ada yang salah nggak ya, jangan-jangan saya di-bully," ujar perempuan yang memilih drop out (DO) dari kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) demi mengembangkan seni peran itu.
Dia mengaku kalimat yang membuat gemas penonton tersebut sebenarnya hasil improvisasi saat syuting. Kalimat-kalimat itu sama sekali tak tertuang dalam skenario awal. Selain Nek dadi wong ki mbok sing solutif, kalimat improvisasi lainnya adalah “tak andakke dulurku piye he. Podo-podo polisi bintange jejer-jejer limo.
Dalam syuting film ini, Ozie mengaku menghabiskan waktu sekitar dua pekan, yakni mulai dari membaca naskah hingga mengambil gambar dengan lokasi di Desa Terong, Dlingo maupun Kota Bantul dan Sleman.
Awalnya, Ozie bukan dipercaya jadi pemeran utama menjadi Bu Tejo. Namun karena pemeran awal yang dipilih terkendala untuk aktivitas naik turun truk, maka dia akhirnya diminta untuk menggantikan.
Untuk bisa memerankan tokoh yang bisa membikin gemas orang tersebut, Ozie mengaku belajar dari kehidupan ibu-ibu di pasar. Ketika berbelanka ke pasar, Ozie mengaku sengaja lama berkeliling demi melihat dan mendengarkan langsung gaya ibu-ibu saat ngrasani. (Lihat videonya: Bayren ke Final Liga Champions, Optimis Raih Treble Winner)
Tak hanya itu, Ozie pun banyak belajar logat bahasa Jawa warga desa Dlingo. “Memang ada kesulitan ketika harus dialog di atas truk sambil kendaraan berjalan. Termasuk mengatur ibu-ibu yang akan berbicara agar suaranya di bawah dirinya sebagai pemeran utama," tandasnya.
Ozie tak menyangka, di film keenam inilah dia menjadi bintang utama. Pada film-film sebelumnya, dia memang sering menjadi pemeran pembantu termasuk bersama sutradara kondang Hanung Bramantyo. "Di film ini terus terang saya lebih santai mungkin karena sutradara lebih muda ya jadi lebih cair," beber Ozi.
Pada 2015 silam, Ozie pun pernah ikut dalam Mencari Hilal garapan sutradara Ismael Basbeth. Ke depan, Ozie sangat berharap bisa bermain film garapan sutradara Joko Anwar. (Suharjono)
(ysw)