Ternyata Ini Penyebab Maraknya Aksi Bullying di Lingkungan PPDS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ikatan Dokter indonesia (IDI) menyoroti kasus bullying atau perundungan yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Ketua Junior Doctors Network IDI (Official JDN yang diakui World Medical Association), Dr Tommy Dharmawan, SpBTKV, PhD membeberkan penyebab terjadinya bullying di lingkungan PPDS.
Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah peserta PPDS tidak diberikan gaji. Menurutnya, PPDS tidak digaji menjadi masalah yang ada di Indonesia. Gaji sangat berpengaruh pada kasus bullying, sehingga beberapa oknum senior minta diberikan makan, minta diantar, hingga minta diberikan pelayanan di luar akademis.
“Kalau PPDS diberi gaji, minimal mereka bisa beli makan sendiri. Atau ketika anak sakit, bayangkan peserta PPDS rentang usai 27 sampai 35 tahun, mereka harusnya udah punya gaji di usia itu dan berkeluarga. Bayangkan kalau anaknya sakit, keluarganya sakit, tidak ada gaji sama sekali. Bagaimana selama ini mereka menghidupi diri sendiri,” tutur dr Tommy dalam Media Briefing mengenai Bullying PPDS bersama PB IDI & JDN IDI, Rabu (21/8/2024).
Dokter Tommy menuturkan, di luar negeri seperti Malaysia, peserta PPDS digaji senilai Rp15 juta. Sementara itu, saat pengalamannya training di Singapura, dr Tommy digaji 2.650 dolar Singapura atau kurang lebih Rp31,4 juta. Sedangkan di Indonesia, peserta PPDS tidak digaji sama sekali.
“Ini harus jadi poin oleh Kemenkes ataupun Kemendikbud dan rumah sakit vertikalnya. Utamanya untuk memberikan gaji pada PPDS,” tandasnya.
Dokter Tommy menekankan, PPDS harus digaji karena mereka bekerja, bukan mahasiswa kedokteran yang sedang koas.
“PPDS harus digaji, karena tidak manusiawi sekali kalau tidak digaji. Mereka bkerja, bukan tidak bekerja. Mereka bukan mahasiswa kedokteran koas, mereka bekerja, jadi asisten operasi, memeriksa pasien, mengatur pelayanan. Dengan begitu, ketika lulus paripurna atau bisa memeriksa pasien dengan baik,” ungkapnya.
Namun, dr Tommy menyebut, pemberian gaji untuk peserta PPDS tidak bisa diberikan dari keuangan rumah sakit vertikal, diambil dari dokter penanggung jawab pasien atau konsulen.
“Simulasi keuangan mengatakan kalau PPDS hanya digaji dari rumah sakit vertikal atau rumah sakit pendidikan, kolpas rumah sakit pendidikannya dalam beberapa bulan, sehingga perlu dicarikan skema yang baik agar PPDS ini dapat diberikan gaji,” tandasnya.
Ketua Junior Doctors Network IDI (Official JDN yang diakui World Medical Association), Dr Tommy Dharmawan, SpBTKV, PhD membeberkan penyebab terjadinya bullying di lingkungan PPDS.
Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah peserta PPDS tidak diberikan gaji. Menurutnya, PPDS tidak digaji menjadi masalah yang ada di Indonesia. Gaji sangat berpengaruh pada kasus bullying, sehingga beberapa oknum senior minta diberikan makan, minta diantar, hingga minta diberikan pelayanan di luar akademis.
“Kalau PPDS diberi gaji, minimal mereka bisa beli makan sendiri. Atau ketika anak sakit, bayangkan peserta PPDS rentang usai 27 sampai 35 tahun, mereka harusnya udah punya gaji di usia itu dan berkeluarga. Bayangkan kalau anaknya sakit, keluarganya sakit, tidak ada gaji sama sekali. Bagaimana selama ini mereka menghidupi diri sendiri,” tutur dr Tommy dalam Media Briefing mengenai Bullying PPDS bersama PB IDI & JDN IDI, Rabu (21/8/2024).
Dokter Tommy menuturkan, di luar negeri seperti Malaysia, peserta PPDS digaji senilai Rp15 juta. Sementara itu, saat pengalamannya training di Singapura, dr Tommy digaji 2.650 dolar Singapura atau kurang lebih Rp31,4 juta. Sedangkan di Indonesia, peserta PPDS tidak digaji sama sekali.
“Ini harus jadi poin oleh Kemenkes ataupun Kemendikbud dan rumah sakit vertikalnya. Utamanya untuk memberikan gaji pada PPDS,” tandasnya.
Dokter Tommy menekankan, PPDS harus digaji karena mereka bekerja, bukan mahasiswa kedokteran yang sedang koas.
Baca Juga
“PPDS harus digaji, karena tidak manusiawi sekali kalau tidak digaji. Mereka bkerja, bukan tidak bekerja. Mereka bukan mahasiswa kedokteran koas, mereka bekerja, jadi asisten operasi, memeriksa pasien, mengatur pelayanan. Dengan begitu, ketika lulus paripurna atau bisa memeriksa pasien dengan baik,” ungkapnya.
Namun, dr Tommy menyebut, pemberian gaji untuk peserta PPDS tidak bisa diberikan dari keuangan rumah sakit vertikal, diambil dari dokter penanggung jawab pasien atau konsulen.
“Simulasi keuangan mengatakan kalau PPDS hanya digaji dari rumah sakit vertikal atau rumah sakit pendidikan, kolpas rumah sakit pendidikannya dalam beberapa bulan, sehingga perlu dicarikan skema yang baik agar PPDS ini dapat diberikan gaji,” tandasnya.
(tsa)