Didi Kempot, Sosok dan Karyanya Tak Lekang oleh Waktu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nama maestro campursari Didik Prasetyo atau Didi Kempot sudah cukup dikenal luas oleh banyak kalangan. Meski telah berpulang untuk selamanya pada 5 Mei lalu, namun karya musisi yang identik dengan rambut gondrong dan pakaian adat Jawa ini tetap terus digandrungi hampir seluruh lapisan masyarakat.
(Baca juga: GTV Gelar Audisi The Next Didi Kempot, Ayo Daftar Sekarang! )
Didi Kempot memang tidak bisa dilepaskan dari musik campursari . Lahir di Kota Solo, 31 Desember 1966, Didi Kempot begitu gigih dan konsisten dengan musik campursari. Bahkan, mendiang Didi Kempot tak kenal lelah dalam memperjuangkan musik campursari hingga bisa mendunia serta menyentuh kalangan anak muda, yang sebelum kurang begitu menggemari musik campursari.
Selama 30 tahun, dia malang melintang menggemakan karyanya di seluruh penjuru negeri ini. Tema-tema patah hati yang menghiasi sebagian besar lagunya membuatnya dikenal sebagai Godfather of Broken Heart. Di mata penggemarnya atau yang biasa disebut Sobat Ambyar, dia sering disebut sebagai Lord Didi.
Siapa sangka, di balik ketenaran yang diperolehnya, pelantun lagu Stasiun Balapan yang dirilis pada 1999 itu dulunya mengawali perjuangan sebagai musisi jalanan atau pengamen. Didi Kempot pernah mengakui bahwa dirinya merupakan pengamen yang eksis di jalanan Kota Solo mulai sekitar tahun 1984. Kala itu, dia hanya bermodalkan ukulele dan kendhang.
Didi Kempot dan teman-temannya pada 1987 mencoba peruntungan dengan hijrah ke Jakarta. Di era saat itu, sebagian musisi jalanan berlomba-lomba untuk masuk dapur rekaman dengan cara merekam lagu sendiri kemudian menawarkannya ke produser. Jika memang berbakat, para produser biasanya tak ragu untuk membawa musisi jalanan rekaman dan berkarier di industri musik.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Didi Kempot bersama teman-temannya yang menamai dirinya Kelompok Pengamen Trotoar (Kempot) berhasil menarik perhatian label Musica Studio's. Tepat di 1989, Didi Kempot mulai meluncurkan album pertamanya, dan setelah perjalanan panjang mampu menjelma menjadi sosok yang begitu digandrungi karya-karyanya.
Lagu Cidro, yang diambil dari album perdananya, sukses meningkatkan pamor seorang Didi Kempot. Dia pun mulai tampil di luar negeri, yakni Suriname pada 1993. Tidak berhenti sampai di situ, Didi Kempot lanjut melangkahkan kakinya hingga ke Eropa, dan sempat menggarap dan merekam lagu Layang Kangen di Rotterdam, Belanda.
Menjelang 2020, popularitas Didi Kempot semakin meroket. Luar biasanya, walau sebagian besar karyanya berlirik bahasa Jawa, namun mampu menyedot animo anak-anak muda Tanah Air. Bukan itu saja, mereka yang tidak paham dengan bahasa Jawa, turut menyukai dan menikmati lagu-lagunya.
Hal tersebut membuat kehadiran Didi Kempot kian dinantikan banyak orang. Jika di awal perjalanan kariernya, Didi Kempot banyak mengamen di jalanan, kini dia banyak tampil di panggung megah dengan jumlah penonton yang selalu membludak. Melihat itu semua, Didi pun sangat bersyukur lagu campursari bisa digemari masyarakat Indonesia.
Pria yang juga akrab disapa Pakdhe Didi itu mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya saat ini, tidak hanya dirasakannya sendiri, tapi juga turut membuat bangga seniman tradisional seluruh Indonesia. "Ya, ini kebangaan buat seniman tradisional seluruh Indonesia, ternyata kita dikasih kesempatan juga untuk bernyanyi di panggung semewah ini," ujar Didi Kempot saat jumpa pers jelang Konser Ambyar Tak Jogeti di Jakarta, Maret 2020.
(Baca juga: Konser Ambyar Tak Jogeti Bentuk Penghargaan terhadap Musik Tradisional )
Sayangnya, dengan kepergian sang maestro, Konser Ambyar Tak Jogeti yang rencananya dihelat di panggung akbar Gelora Bung Karno, Jakarta pada 10 Juli 2020 batal terwujud.
Kendati berada di puncak popularitasnya, Didi Kempot tetap menjadi sosok yang rendah hati. Dia hanya merasa beruntung bisa tetap eksis dan semakin digemari banyak orang. "Ya, kalau sementara ini kan saya tetap eksis di dalam apa yang saya tekuni. Jadi buat kami ini suatu keberuntungan atau memang ini harus dikisahkan ke saya pada saat itu," kata adik kandung mendiang pelawak Mamiek Prakoso.
Didi merupakan salah satu penulis lagu paling aktif di Indonesia. Sepanjang kariernya, dia telah menulis ratusan lagu yang kebanyakan bertema patah hati. Selain Cidro, Sewu Kutha, Stasiun Balapan, Didi juga dikenal dengan hitsnya seperti Sri Minggat, Jambu Alas, Suket Teki, Terminal Tirtonadi, Banyu Langit, Cendol Dawet dan lain-lain.
(Baca juga: Percepat Penyembuhan Covid-19 dengan 3K )
Dengan tiadanya lagi sang Godfather of Broken Heart, stasiun televisi GTV mencoba melanjutkan cita-cita sang maestro untuk menggemakan musik campursari dan lagu tradisional berlirik Jawa. Stasiun televisi GTV berencana menggelar sebuah ajang pencarian bakat menyanyi campursari bertajuk The Next Didi Kempot , yang audisinya dibuka mulai 13 Oktober hingga 9 November 2020.
(Baca juga: GTV Gelar Audisi The Next Didi Kempot, Ayo Daftar Sekarang! )
Didi Kempot memang tidak bisa dilepaskan dari musik campursari . Lahir di Kota Solo, 31 Desember 1966, Didi Kempot begitu gigih dan konsisten dengan musik campursari. Bahkan, mendiang Didi Kempot tak kenal lelah dalam memperjuangkan musik campursari hingga bisa mendunia serta menyentuh kalangan anak muda, yang sebelum kurang begitu menggemari musik campursari.
Selama 30 tahun, dia malang melintang menggemakan karyanya di seluruh penjuru negeri ini. Tema-tema patah hati yang menghiasi sebagian besar lagunya membuatnya dikenal sebagai Godfather of Broken Heart. Di mata penggemarnya atau yang biasa disebut Sobat Ambyar, dia sering disebut sebagai Lord Didi.
Siapa sangka, di balik ketenaran yang diperolehnya, pelantun lagu Stasiun Balapan yang dirilis pada 1999 itu dulunya mengawali perjuangan sebagai musisi jalanan atau pengamen. Didi Kempot pernah mengakui bahwa dirinya merupakan pengamen yang eksis di jalanan Kota Solo mulai sekitar tahun 1984. Kala itu, dia hanya bermodalkan ukulele dan kendhang.
Didi Kempot dan teman-temannya pada 1987 mencoba peruntungan dengan hijrah ke Jakarta. Di era saat itu, sebagian musisi jalanan berlomba-lomba untuk masuk dapur rekaman dengan cara merekam lagu sendiri kemudian menawarkannya ke produser. Jika memang berbakat, para produser biasanya tak ragu untuk membawa musisi jalanan rekaman dan berkarier di industri musik.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Didi Kempot bersama teman-temannya yang menamai dirinya Kelompok Pengamen Trotoar (Kempot) berhasil menarik perhatian label Musica Studio's. Tepat di 1989, Didi Kempot mulai meluncurkan album pertamanya, dan setelah perjalanan panjang mampu menjelma menjadi sosok yang begitu digandrungi karya-karyanya.
Lagu Cidro, yang diambil dari album perdananya, sukses meningkatkan pamor seorang Didi Kempot. Dia pun mulai tampil di luar negeri, yakni Suriname pada 1993. Tidak berhenti sampai di situ, Didi Kempot lanjut melangkahkan kakinya hingga ke Eropa, dan sempat menggarap dan merekam lagu Layang Kangen di Rotterdam, Belanda.
Menjelang 2020, popularitas Didi Kempot semakin meroket. Luar biasanya, walau sebagian besar karyanya berlirik bahasa Jawa, namun mampu menyedot animo anak-anak muda Tanah Air. Bukan itu saja, mereka yang tidak paham dengan bahasa Jawa, turut menyukai dan menikmati lagu-lagunya.
Hal tersebut membuat kehadiran Didi Kempot kian dinantikan banyak orang. Jika di awal perjalanan kariernya, Didi Kempot banyak mengamen di jalanan, kini dia banyak tampil di panggung megah dengan jumlah penonton yang selalu membludak. Melihat itu semua, Didi pun sangat bersyukur lagu campursari bisa digemari masyarakat Indonesia.
Pria yang juga akrab disapa Pakdhe Didi itu mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya saat ini, tidak hanya dirasakannya sendiri, tapi juga turut membuat bangga seniman tradisional seluruh Indonesia. "Ya, ini kebangaan buat seniman tradisional seluruh Indonesia, ternyata kita dikasih kesempatan juga untuk bernyanyi di panggung semewah ini," ujar Didi Kempot saat jumpa pers jelang Konser Ambyar Tak Jogeti di Jakarta, Maret 2020.
(Baca juga: Konser Ambyar Tak Jogeti Bentuk Penghargaan terhadap Musik Tradisional )
Sayangnya, dengan kepergian sang maestro, Konser Ambyar Tak Jogeti yang rencananya dihelat di panggung akbar Gelora Bung Karno, Jakarta pada 10 Juli 2020 batal terwujud.
Kendati berada di puncak popularitasnya, Didi Kempot tetap menjadi sosok yang rendah hati. Dia hanya merasa beruntung bisa tetap eksis dan semakin digemari banyak orang. "Ya, kalau sementara ini kan saya tetap eksis di dalam apa yang saya tekuni. Jadi buat kami ini suatu keberuntungan atau memang ini harus dikisahkan ke saya pada saat itu," kata adik kandung mendiang pelawak Mamiek Prakoso.
Didi merupakan salah satu penulis lagu paling aktif di Indonesia. Sepanjang kariernya, dia telah menulis ratusan lagu yang kebanyakan bertema patah hati. Selain Cidro, Sewu Kutha, Stasiun Balapan, Didi juga dikenal dengan hitsnya seperti Sri Minggat, Jambu Alas, Suket Teki, Terminal Tirtonadi, Banyu Langit, Cendol Dawet dan lain-lain.
(Baca juga: Percepat Penyembuhan Covid-19 dengan 3K )
Dengan tiadanya lagi sang Godfather of Broken Heart, stasiun televisi GTV mencoba melanjutkan cita-cita sang maestro untuk menggemakan musik campursari dan lagu tradisional berlirik Jawa. Stasiun televisi GTV berencana menggelar sebuah ajang pencarian bakat menyanyi campursari bertajuk The Next Didi Kempot , yang audisinya dibuka mulai 13 Oktober hingga 9 November 2020.
(nug)