Melanggengkan Aura Gamelan Jawa di Kaki Matterhorn
loading...
A
A
A
SION, Wallis, Swiss Barat, tidak hanya kumpulan puncak Swiss Alpen di atas 4000 meter, adu sapi, atau Kastil Tourbillon. Tapi juga pusat belajar gamelan Jawa di Heidiland. Sejak tiga tahun lalu, di kota yang terkenal dengan buah aprikotnya ini, berdiri a centre for training and performance of gamelan.
Dubes RI saat itu, Linggawaty Hakim, menyatakan bangga dengan upaya Sekolah Musik 123 mengenalkan gamelan ke masyarakat Swiss.Linggawaty menjadi saksi bagaimana Timothee dan kawan kawannya, saat tur ke Indonesia, memukau publik.
Mereka juga tampil di Jakarta bersama grup gamelan Bank Indonesia. Para pemain gamelan yang juga berprofesi sebagai musisi (pianis, pemain cello dan biola) juga tampil dalam konser di Hotel Darmawangsa, Hotel Borobudur dan acara private dinner yang diselenggarakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Indonesia.
’’Mereka masih muda, dan sudah bisa bermain seperti itu. Anak anak muda kita mungkin tidak semahir mereka,’’kata Linggawaty.
Dalam Indonesia Night di World Economic Forum (WEF) Davos, Graubunden, Swiss Tenggara, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengaku kagum terhadap penampilan Sekolah Musik 123. ’’Saya tidak mengerti budaya Jawa, namun apa yang dimainkan mereka sangat memukau,’’kata Luhut.
Indonesia, masih kata Luhut, beruntung memiliki orang seperti Nicole Coppey. ’’Kami akan terus mendukung mereka yang berupaya memperkenalkan Indonesia di luar negeri,’’ janji Luhut.
Nicole mempelajari gamelan sejak tahun 2008, di Cite de la Musique, Paris, Prancis. Bersama 15 muridnya, Nicole belajar gamelan Jawa di sekolah musik terkenal di Paris itu. Kini, Cite de la Musique berubah nama,
karena kemajuannya, menjadi Philharmonie de Paris.
Tahun 2009, Nicole mengadakan konser gamelan pertamanya, di Sion, Wallis, Swiss Barat. ’’Sebenarnya konser jarak jauh, karena bergabung juga penabuh gamelan anak anak dari Perancis,’’ kenangnya. Dalam waktu yang sama, di tempat berbeda, Sion dan Paris, melakukan konser bersama, dengan gamelan Jawa dan repertoire serupa.
Tahun 2012, Nicole dan anak asuhnya melakukan tur konser gamelan di Indonesia. Dubes Swiss saat itu, almarhum Joko Susilo membantu banyak proses konser gamelan Sekolah Musik 123 di Indonesia.
Uniknya, Sekolah Musik 123 sering mengedepankan penabuh gamelan yang masih anak anak. Meskipun tetap ada bimbingan dari penabuh senior, sebagaimana yang dikatakan Timothee Coppey, keberadaan penabuh gamelan yang terbilang masih belia, selalu dikedepankan. ’’Gamelan Jawa memproduksi musik yang harmonis. Sejalan itu, orkestra ini juga meningkatkan konsentrasi sekalgus ketenangan dalam otak anak anak,’’tambah Nicole.
Mencampurkan penabuh senior dan anak anak, imbuh Nicole, juga agar tumbuh saling menghormati. ’’Yang senior mengajari yang masih muda. Begitu pula selanjutnya,’’ kata Nicole.
Timothee pun segendang seirama. ’’Gamelan juga diajarkan secara turun temurun, melalui mulut ke mulut. Dari yang tua ke yang muda. Disini juga demikian. Misalnya, kami yang sudah main puluhan tahun, sering menjaga adik adik kami yang pegang gong. Agar dia tetap bermain dengan benar. Kalau ada yang salah ya kami ajari pelan pelan,’’ kata Timothee. Saat ini, ada 100 orang yang belajar gamelan di Sekolah Musik 123.
’’Saya berharap akan menjadi sel yang menyebar, dari Sion, lalu ke seluruh Swiss,’’kata Linggawaty. Seperangkat wayang kulit dan peralatan batik juga mulai dikenalkan oleh Sekolah Musik 123. Ricik Ricik Banyumasan, bersama dengan gending jawa lainnya, akan terus berkumandang dari Heidiland, di kaki gunung Matterhorn.
Dubes RI saat itu, Linggawaty Hakim, menyatakan bangga dengan upaya Sekolah Musik 123 mengenalkan gamelan ke masyarakat Swiss.Linggawaty menjadi saksi bagaimana Timothee dan kawan kawannya, saat tur ke Indonesia, memukau publik.
Mereka juga tampil di Jakarta bersama grup gamelan Bank Indonesia. Para pemain gamelan yang juga berprofesi sebagai musisi (pianis, pemain cello dan biola) juga tampil dalam konser di Hotel Darmawangsa, Hotel Borobudur dan acara private dinner yang diselenggarakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Indonesia.
’’Mereka masih muda, dan sudah bisa bermain seperti itu. Anak anak muda kita mungkin tidak semahir mereka,’’kata Linggawaty.
Dalam Indonesia Night di World Economic Forum (WEF) Davos, Graubunden, Swiss Tenggara, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mengaku kagum terhadap penampilan Sekolah Musik 123. ’’Saya tidak mengerti budaya Jawa, namun apa yang dimainkan mereka sangat memukau,’’kata Luhut.
Indonesia, masih kata Luhut, beruntung memiliki orang seperti Nicole Coppey. ’’Kami akan terus mendukung mereka yang berupaya memperkenalkan Indonesia di luar negeri,’’ janji Luhut.
Nicole mempelajari gamelan sejak tahun 2008, di Cite de la Musique, Paris, Prancis. Bersama 15 muridnya, Nicole belajar gamelan Jawa di sekolah musik terkenal di Paris itu. Kini, Cite de la Musique berubah nama,
karena kemajuannya, menjadi Philharmonie de Paris.
Tahun 2009, Nicole mengadakan konser gamelan pertamanya, di Sion, Wallis, Swiss Barat. ’’Sebenarnya konser jarak jauh, karena bergabung juga penabuh gamelan anak anak dari Perancis,’’ kenangnya. Dalam waktu yang sama, di tempat berbeda, Sion dan Paris, melakukan konser bersama, dengan gamelan Jawa dan repertoire serupa.
Tahun 2012, Nicole dan anak asuhnya melakukan tur konser gamelan di Indonesia. Dubes Swiss saat itu, almarhum Joko Susilo membantu banyak proses konser gamelan Sekolah Musik 123 di Indonesia.
Uniknya, Sekolah Musik 123 sering mengedepankan penabuh gamelan yang masih anak anak. Meskipun tetap ada bimbingan dari penabuh senior, sebagaimana yang dikatakan Timothee Coppey, keberadaan penabuh gamelan yang terbilang masih belia, selalu dikedepankan. ’’Gamelan Jawa memproduksi musik yang harmonis. Sejalan itu, orkestra ini juga meningkatkan konsentrasi sekalgus ketenangan dalam otak anak anak,’’tambah Nicole.
Mencampurkan penabuh senior dan anak anak, imbuh Nicole, juga agar tumbuh saling menghormati. ’’Yang senior mengajari yang masih muda. Begitu pula selanjutnya,’’ kata Nicole.
Timothee pun segendang seirama. ’’Gamelan juga diajarkan secara turun temurun, melalui mulut ke mulut. Dari yang tua ke yang muda. Disini juga demikian. Misalnya, kami yang sudah main puluhan tahun, sering menjaga adik adik kami yang pegang gong. Agar dia tetap bermain dengan benar. Kalau ada yang salah ya kami ajari pelan pelan,’’ kata Timothee. Saat ini, ada 100 orang yang belajar gamelan di Sekolah Musik 123.
’’Saya berharap akan menjadi sel yang menyebar, dari Sion, lalu ke seluruh Swiss,’’kata Linggawaty. Seperangkat wayang kulit dan peralatan batik juga mulai dikenalkan oleh Sekolah Musik 123. Ricik Ricik Banyumasan, bersama dengan gending jawa lainnya, akan terus berkumandang dari Heidiland, di kaki gunung Matterhorn.
(aww)