Terjemahan Al-Qur'an Belum Mewakili Makna Hakiki Al-Qur'an

Kamis, 29 April 2021 - 17:50 WIB
loading...
Terjemahan Al-Quran Belum Mewakili Makna Hakiki Al-Quran
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat

Dalam kajian bab "Musykilat at-Terjemah" yang kami ampu dari mata kuliah Ilmu Dilalah (ilmu semantik) maupun dalam disiplin Ilmu Lughah an-Nafsi (Psikolinguistik), kami menemukan banyak sekali ragam bahasa di dunia ini yang belum/tidak memiliki padanan ideal dan tepat bila dihadapkan pada aneka kosakata bahasa Arab, terlebih lagi pada aneka ungkapan majaz atau idiomatik.

Dalam diskusi perkuliahan dan penelitian ilmiah yang seringkali kami bahas dan kritik dalam problematika penerjemahan Al-Qur'an adalah persoalan minimnya bahasa sekunder untuk mentranslate dari bahasa primer, disebabkan miskinnya kosakata bahasa kedua mewakili makna bahasa pertama.

Ini baru persoalan pada tataran linguistik/kebahasaan secara umum, belum lagi sampai pada persoalan terjemahan pada hal yang lebih essensial di bidang transletasi ragam kosakata serta gaya bahasa Qur'ani yang lebih kompleks lagi, baik dari kandungan maknanya, konteks kalimatnya, munasabah ayat, gaya sastra, hingga makna zhahir dan bathiniyyahnya.

Sebagai contoh: frase kalimat أقيموا الصلاة (Aqimussholah) seringkali diterjemahkan "mendirikan shalat". Padahal asal kata أقام tidak tepat diterjemahkan dengan kata "mendirikan shalat", sebab makna dilaltul alfadz yang dimaksudkan adalah "menyempurnakan" sholat.

Dengan demikian, perintah "أقيموا الصلاة" seharusnya diterjemahan "اتمام الصلاة" atau menyempurnakan sholat yaitu menyempurnakan rukun dan syaratnya, bukan sekadar mengerjakan demi menggugurkan kewajibannya saja.

Contoh yang seringkali kami kemukan terkait miskinnya bahasa Indonesia, misalnya dalam mewakili makna "Manusia" dalam ragam bahasa Al-Qur'an. Varian kosakata Al-Qur'an menggunakan banyak ragam dalam menyebut "Manusia", seperti: lafadz Insan, Ins, Uns, Inas, Annas dan Basyar.

Jika kata "al-Uns" atau "Ins" merujuk pada makna aspek manusia secara psikologis maupun sosiologis, kata "an-Nas" merujuk pada makna manusia secara sosialis, sedangkan kata "al-Basyar" merujuk pada aspek manusia secara biologis sekaligus mencakup makna sosio-historis, maka makna kata "al-Insan" merujuk pada dimensi yang menyeluruh secara fisik sekaligus physicis.

Berbagai ragam varian kosakata yang dihidangkan Al-Qur'an agar para pembacanya memperoleh aneka pesan dan kesan serta isyarat tersembunyi dibaliknya, seringkali didangkalkan oleh satu kosakata tunggal bahasa Indonesia, yaitu: "Manusia" atau "Orang" saja, tidak lebih dari itu, sebagaimana terjemahan yang lazim ditemukan saat ini.

Padahal, aneka diksi kata tersebut, tujuannya bukan untuk memperkaya dan memperindah nilai sastra Qur'aninya saja, lebih dari itu ada pesan dan kesan Ilahiyyah yang terkandung dan tersembunyi dari setiap pemilihan diksi kata tersebut atas kehendak Sang Pemberi Wahyu. Tidak bisa hanya didangkalkan dengan satu kata terjemahan tunggal saja, tok manusia saja.

Contoh yang lebih fatal lagi, frase ayat yang berbunyi:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ

Tidak tepat jika kata اقْتُلُوا diterjemahkan dengan "Bunuhlah", sebab yang "dilaatu-assiyaq" (makna konteks) yang dikehendaki di sana bukan soal pembunuhan, akan tetapi upaya preventif atau perlindungan diri.

Maka terjemahan yang tepat bukanlah "Bunuhlah mereka (musyrikin Makkah) sekiranya kalian menjumpai mereka", sebagaimana terjemahan yang lazim kita temui hingga saat ini.

Akan tetapi, terjemahannya yang tepat adalah "Perangilah mereka.." tentu diksi "Perang" tidak sama dengan "Peperangan" atau "Pembunuhan".

Dalam kondisi peperangan, kita diperbolehkan membunuh. Akan tetapi, pembunuhan bukanlah tujuan utama. Pembunuhan hanya boleh diizinkan jika dalam kondisi terdesak atau keselamatan terancam atau dalam waktu dan kondisi tertentu. Tidak dalam segala waktu dan kondisi.

Bagaimana jika makna terjemahan pertama tetap dipertahankan?

Jika makna lafdzi pertama tetap dipakai dan dipertahankan, maka konsekuensinya bisa saja nanti akan memunculkan salah kaprah, bahkan salah tafsir dalam memahami makna kandungan Al-Qur'an yang sesungguhnya yang dikehendaki oleh Sang Pemberi Wahyu.

Maka atas kesalahpahaman tafsir ini boleh jadi menjadikan seseorang berbuat yang tidak tepat atau menjadikan dalil nash teks ayat sebagai pembenaran untuk mendukung aksi kekerasan yang diyakininya. Tentu ini sangat fatal dan berbahaya.

Hal inilah yang membuat saya kurang sependapat jika ada versi Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa daerah atau lokal, seperti versi Al-Qur'an dalam bahasa Banjar, misalnya.

Sebab berdasakan fakta dan kajian kami terkait bahasa Lingua Franca; semacam bahasa Melayu atau bahasa Indoensia saja, ditemukan banyak sekali kekurangan dan kelemahan menampung makna bahasa primer.

Atas alasan sangat minim dan lemah menangkap sisi-sisi aspek dilalatul alfadz tersebut, sangat dikhawatirkan justru mereduksi dan merusak makna dan kandungan Al-Qur'an yang seharusnya menjadi "Hudan Lil Muttaqin" (petunjuk bagi orang-orang bertakwa).

Wallahu A'lam

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1377 seconds (0.1#10.140)