Pemberlakuan PPKM Pengaruhi Pola Pembelian Makanan Masyarakat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti utama Health Collaborative Center (HCC), Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi menemukan fakta yang cukup menarik dalam penelitiannya .
HCC menemukan bahwa pandemi Covid-19 dan pemberlakuan PPKM di Indonesia ternyata tidak hanya memengaruhi pola pembelian makanan masyarakat. Namun, juga mengubah persepsi masyarakat terhadap pengalaman pembelian makanan secara online.
Penelitian yang dilakukan HCC itu melibatkan 3.806 responden yang terdiri dari 82% perempuan dan 18% laki-laki. Para responden tersebut tersebar di 20 provinsi di Indonesia.
Dokter Ray dalam penelitiannya itu menemukan bahwa selama periode PPKM kegiatan membeli makanan secara online dapat dikategorikan sebagai coping stress. Sebanyak 7 dari 10 responden menyebutkan, menikmati pembelian makanan secara online sebagai bagian dari aktivitas di rumah saja.
Baca juga: HUT ke-32 MNC Group, Kiko Run Competition Berhadiah Ratusan Juta Resmi Dibuka, Ini Cara Daftarnya!
Menariknya lagi, 6 dari 10 responden setuju dan mengakui bahwa membeli makanan secara online dari rumah selama PPKM membuatnya merasa lebih baik. Mereka menganggap, belanja makanan secara online dianggap sebagai reward system atau penghargaan kepada diri sendiri dan keluarga.
Menurut Dr. Ray Wagiu Basrowi, 69% responden setuju jika membeli makanan online melalui aplikasi adalah bentuk menghargai diri sendiri selama pandemi dan bukan semata-mata kegiatan pemenuhan gizi saja.
Ketika dikaitkan dengan perasaan jenuh bekerja dari rumah yang dialami para responden yang juga rata-rata pekerja, 70% responden mengatasi jenuh dengan memesan makanan online.
Tak hanya itu, terdapat sekitar 45% responden dikategorikan secara impulsif membeli makanan secara online murni untuk mengatasi stres dan kejenuhan akibat work from home dan harus beraktivitas di rumah saja.
Penelitian ini, kata Dr. Ray Basrowi, membuktikan bahwa ada aspek multidimensi selama pandemi yang terjadi pada perilaku sederhana, seperti membeli dan mengonsumsi makananan.
"Adanya tuntutan untuk tinggal dan beraktivitas di rumah saja memberi dampak disruptif dalam perubahan perilaku memproses dan membeli makanan, yang bergeser dari sekadar menyiapkan santapan menjadi potensi coping stress bahkan konsekuensi jangka panjang bisa berakibat pada kesehatan," papar Dr. Ray Baswori dalam konferensi virtual Zoom, Senin (18/10/2021).
Penelitian ini menunjukkan jika kelompok pekerja berpenghasilan rendah menjadi kelompok paling banyak mengakses pemesanan makanan secara online. Sebanyak 67% responden yang aktif membeli makanan secara online melalui aplikasi merupakan kalangan pekerja dengan sosio ekonomi kategori penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. Dengan alasan akses beli makanan online dinilai lebih hemat.
Analisis dari penelitian ini menunjukkan dengan tingkat penghasilan yang rendah dan menengah, maka pekerja akan memilih makanan dengan harga yang terjangkau. Ditambah pertimbangan jarak pengantaran dengan implikasinya terhadap biaya antar tanpa melihat apakah makanan memiliki kandungan gizi baik atau tidak.
"Temuan penelitian ini tentunya dapat dilihat sebagai insight bagi industri tapi juga penting bagi pemerintah dan para stakeholder kesehatan, untuk melakukan intervensi spesifik agar perubahan perilaku belanja makanan secara online ini juga tidak memberi efek yang tidak baik untuk kesehatan mental dan status gizi masyarakat," beber Dr. Ray Basrowi yang sering memberi edukasi melalui Instagram @ray.w.basrowi.
Baca juga: Daftar Negara yang Gratiskan Tes PCR
Hasil penelitian yang dilakukan Dr. Ray dapat menjadi masukan buat para penyedia aplikasi online untuk memberikan fitur baru berupa rekomendasi makanan sehat yang ada di sekitar calon pembeli. Adanya tampilan menu pilihan sehat dengan harga terjangkau, akan membantu masyarakat mendapatkan asupan informasi gizi secara merata.
"Terdapat dua intervensi yang dapat dilakukan sebagai kontrol perilaku. Pertama, perlu adanya mitigasi melalui program kesehatan mental terkait perilaku kuliner secara online. Dan yang kedua, diperlukan adanya intervensi informasi gizi pada aplikasi online yang dikaitkan dengan informasi kesehatan mental seperti pengaruh makanan terhadap kestabilan hormon," terang Dr. Ray.
Lihat Juga: Benarkah Wanita Butuh Lebih Sedikit Olahraga Dibandingkan Pria? Ini Faktanya Berdasarkan Penelitian
HCC menemukan bahwa pandemi Covid-19 dan pemberlakuan PPKM di Indonesia ternyata tidak hanya memengaruhi pola pembelian makanan masyarakat. Namun, juga mengubah persepsi masyarakat terhadap pengalaman pembelian makanan secara online.
Penelitian yang dilakukan HCC itu melibatkan 3.806 responden yang terdiri dari 82% perempuan dan 18% laki-laki. Para responden tersebut tersebar di 20 provinsi di Indonesia.
Dokter Ray dalam penelitiannya itu menemukan bahwa selama periode PPKM kegiatan membeli makanan secara online dapat dikategorikan sebagai coping stress. Sebanyak 7 dari 10 responden menyebutkan, menikmati pembelian makanan secara online sebagai bagian dari aktivitas di rumah saja.
Baca juga: HUT ke-32 MNC Group, Kiko Run Competition Berhadiah Ratusan Juta Resmi Dibuka, Ini Cara Daftarnya!
Menariknya lagi, 6 dari 10 responden setuju dan mengakui bahwa membeli makanan secara online dari rumah selama PPKM membuatnya merasa lebih baik. Mereka menganggap, belanja makanan secara online dianggap sebagai reward system atau penghargaan kepada diri sendiri dan keluarga.
Menurut Dr. Ray Wagiu Basrowi, 69% responden setuju jika membeli makanan online melalui aplikasi adalah bentuk menghargai diri sendiri selama pandemi dan bukan semata-mata kegiatan pemenuhan gizi saja.
Ketika dikaitkan dengan perasaan jenuh bekerja dari rumah yang dialami para responden yang juga rata-rata pekerja, 70% responden mengatasi jenuh dengan memesan makanan online.
Tak hanya itu, terdapat sekitar 45% responden dikategorikan secara impulsif membeli makanan secara online murni untuk mengatasi stres dan kejenuhan akibat work from home dan harus beraktivitas di rumah saja.
Penelitian ini, kata Dr. Ray Basrowi, membuktikan bahwa ada aspek multidimensi selama pandemi yang terjadi pada perilaku sederhana, seperti membeli dan mengonsumsi makananan.
"Adanya tuntutan untuk tinggal dan beraktivitas di rumah saja memberi dampak disruptif dalam perubahan perilaku memproses dan membeli makanan, yang bergeser dari sekadar menyiapkan santapan menjadi potensi coping stress bahkan konsekuensi jangka panjang bisa berakibat pada kesehatan," papar Dr. Ray Baswori dalam konferensi virtual Zoom, Senin (18/10/2021).
Penelitian ini menunjukkan jika kelompok pekerja berpenghasilan rendah menjadi kelompok paling banyak mengakses pemesanan makanan secara online. Sebanyak 67% responden yang aktif membeli makanan secara online melalui aplikasi merupakan kalangan pekerja dengan sosio ekonomi kategori penghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. Dengan alasan akses beli makanan online dinilai lebih hemat.
Analisis dari penelitian ini menunjukkan dengan tingkat penghasilan yang rendah dan menengah, maka pekerja akan memilih makanan dengan harga yang terjangkau. Ditambah pertimbangan jarak pengantaran dengan implikasinya terhadap biaya antar tanpa melihat apakah makanan memiliki kandungan gizi baik atau tidak.
"Temuan penelitian ini tentunya dapat dilihat sebagai insight bagi industri tapi juga penting bagi pemerintah dan para stakeholder kesehatan, untuk melakukan intervensi spesifik agar perubahan perilaku belanja makanan secara online ini juga tidak memberi efek yang tidak baik untuk kesehatan mental dan status gizi masyarakat," beber Dr. Ray Basrowi yang sering memberi edukasi melalui Instagram @ray.w.basrowi.
Baca juga: Daftar Negara yang Gratiskan Tes PCR
Hasil penelitian yang dilakukan Dr. Ray dapat menjadi masukan buat para penyedia aplikasi online untuk memberikan fitur baru berupa rekomendasi makanan sehat yang ada di sekitar calon pembeli. Adanya tampilan menu pilihan sehat dengan harga terjangkau, akan membantu masyarakat mendapatkan asupan informasi gizi secara merata.
"Terdapat dua intervensi yang dapat dilakukan sebagai kontrol perilaku. Pertama, perlu adanya mitigasi melalui program kesehatan mental terkait perilaku kuliner secara online. Dan yang kedua, diperlukan adanya intervensi informasi gizi pada aplikasi online yang dikaitkan dengan informasi kesehatan mental seperti pengaruh makanan terhadap kestabilan hormon," terang Dr. Ray.
Lihat Juga: Benarkah Wanita Butuh Lebih Sedikit Olahraga Dibandingkan Pria? Ini Faktanya Berdasarkan Penelitian
(nug)