Polemik BPA, Pakar ITB dan IPB Tegaskan Sikap Independensinya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akademisi membantah tudingan yang meragukan independensi mereka dalam menyampaikan pendapat ilmiah seputar polemik BPA dalam air galon kemasan polikarbonat. Akademisi menyebut mereka menyampaikan pendapatnya secara ilmiah dan profesional berdasarkan keahlian dan keilmuan.
“Kami memang ahli di bidang itu (BPA), kami bicara sebagai ahli. Dan saya tegaskan bahwa kami tidak pernah menerima apapun dari pihak lain terhadap apa yang kami sampaikan ke publik. Tudingan itu sudah bersifat subversif dan bisa dibawa ke pengadilan,” kata Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB). Ahmad Zainal Abidin.
Menurutnya, kalau pakar bicara mengenai BPA itu sesuatu hal yang wajar. “Tapi kalau orang dari perkumpulan seperti FMCG ini yang sama sekali tidak mengerti tentang BPA terus ngomong tentang BPA dan malah mengajari kami para pakarnya, itu yang harus diragukan. Orang seperti ini yang patut dicurigai sudah ditunggangi pihak tertentu, bukan kami,” kata Zainal.
Zainal menegaskan bahwa dirinya memberikan pernyataan tentang PC (Polikarbonat) dan PET itu tidak asal bunyi, tapi ada dasar ilmiahnya. “Pendapat-pendapat selain yang disampaikan para pakar ilmiah mengenai BPA itu kan sudah disebutkan Kemenkominfo dan BPOM juga sebagai hoaks karena tidak disupport oleh data-data ilmiah,” tukasnya.
Dengan melontarkan tudingan yang tidak benar terhadap para akademisi terkait isu BPA ini, Zainal mengatakan itu menunjukkan bahwa pihak-pihak yang berusaha menjatuhkan produk-produk berbahan Polikarbonat itu sudah kalah dalam pertarungan argumen ilmiahnya. “Itu menunjukkan orang-orang itu sudah kalah di pertarungan ilmiah, sehingga banyak membuat berita-berita hoaks,” tuturnya.
Zainal menyampaikan bahwa para ilmuwan dan akademisi itu memiliki kredibilitas yang tidak mungkin ada yang meragukan. “Kita kan punya kredibilitas. Tapi sekarang dunia kan bisa bebas membuat berita. Tapi masyarakat juga nanti yang akan menilai mana yang benar mana yang hoaks,” tukasnya.
Dia juga menegaskan bahwa dalam membuat kebijakan terkait kemasan itu, BPOM selalu meminta tanggapan dari para pakar, termasuk soal pelabelan BPA ini. “Kita sudah sampaikan ke BPOM pendapat kita, kenapa orang lain yang sama sekali tidak terkait masalah ini yang jadi ribut,” ucapnya.
Terkait pelabelan BPA ini, Zainal meminta agar itu tidak hanya diberlakukan kepada satu produk pangan saja, tapi untuk semua produk pangan. “BPOM harus fair juga terkait pelabelan itu, karena makanan dan minuman kan tidak cuma galon. Ini ada aturannya BPOM-nya yang menyebutkan bahwa jaminan keamanan pangan itu dilakukan pada semua produk pangan,” ujarnya.
Menurut Zainal, pelabelan itu secara scientific tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon aman untuk digunakan. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan BPOM juga sudah terbukti bahwa migrasi BPA dalam galon itu masih dalam batas aman atau jauh di bawah ambang batas aman yang sudah ditetapkan BPOM. Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman.
Tidak hanya Zainal, ahli teknologi pangan yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dedi Fardiaz, juga menyampaikan hal yang sama. Karena menurutnya, tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. “Disana semua jelas sekali dipaparkan,” katanya.
Peraturan itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.
Khusus yang terkait BPA, dia mengatakan BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain yang disebut TDI (tolerable daily intake). Di mana, sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).
Pada pertengahan tahun lalu, kata Dedi, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap AMDK berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam airnya. “Setelah dihitung ternyata paparannya itu jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman,” ujarnya.
“Kami memang ahli di bidang itu (BPA), kami bicara sebagai ahli. Dan saya tegaskan bahwa kami tidak pernah menerima apapun dari pihak lain terhadap apa yang kami sampaikan ke publik. Tudingan itu sudah bersifat subversif dan bisa dibawa ke pengadilan,” kata Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB). Ahmad Zainal Abidin.
Menurutnya, kalau pakar bicara mengenai BPA itu sesuatu hal yang wajar. “Tapi kalau orang dari perkumpulan seperti FMCG ini yang sama sekali tidak mengerti tentang BPA terus ngomong tentang BPA dan malah mengajari kami para pakarnya, itu yang harus diragukan. Orang seperti ini yang patut dicurigai sudah ditunggangi pihak tertentu, bukan kami,” kata Zainal.
Zainal menegaskan bahwa dirinya memberikan pernyataan tentang PC (Polikarbonat) dan PET itu tidak asal bunyi, tapi ada dasar ilmiahnya. “Pendapat-pendapat selain yang disampaikan para pakar ilmiah mengenai BPA itu kan sudah disebutkan Kemenkominfo dan BPOM juga sebagai hoaks karena tidak disupport oleh data-data ilmiah,” tukasnya.
Baca Juga
Dengan melontarkan tudingan yang tidak benar terhadap para akademisi terkait isu BPA ini, Zainal mengatakan itu menunjukkan bahwa pihak-pihak yang berusaha menjatuhkan produk-produk berbahan Polikarbonat itu sudah kalah dalam pertarungan argumen ilmiahnya. “Itu menunjukkan orang-orang itu sudah kalah di pertarungan ilmiah, sehingga banyak membuat berita-berita hoaks,” tuturnya.
Zainal menyampaikan bahwa para ilmuwan dan akademisi itu memiliki kredibilitas yang tidak mungkin ada yang meragukan. “Kita kan punya kredibilitas. Tapi sekarang dunia kan bisa bebas membuat berita. Tapi masyarakat juga nanti yang akan menilai mana yang benar mana yang hoaks,” tukasnya.
Dia juga menegaskan bahwa dalam membuat kebijakan terkait kemasan itu, BPOM selalu meminta tanggapan dari para pakar, termasuk soal pelabelan BPA ini. “Kita sudah sampaikan ke BPOM pendapat kita, kenapa orang lain yang sama sekali tidak terkait masalah ini yang jadi ribut,” ucapnya.
Terkait pelabelan BPA ini, Zainal meminta agar itu tidak hanya diberlakukan kepada satu produk pangan saja, tapi untuk semua produk pangan. “BPOM harus fair juga terkait pelabelan itu, karena makanan dan minuman kan tidak cuma galon. Ini ada aturannya BPOM-nya yang menyebutkan bahwa jaminan keamanan pangan itu dilakukan pada semua produk pangan,” ujarnya.
Menurut Zainal, pelabelan itu secara scientific tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon aman untuk digunakan. Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan BPOM juga sudah terbukti bahwa migrasi BPA dalam galon itu masih dalam batas aman atau jauh di bawah ambang batas aman yang sudah ditetapkan BPOM. Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman.
Tidak hanya Zainal, ahli teknologi pangan yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dedi Fardiaz, juga menyampaikan hal yang sama. Karena menurutnya, tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. “Disana semua jelas sekali dipaparkan,” katanya.
Peraturan itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirene (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.
Khusus yang terkait BPA, dia mengatakan BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain yang disebut TDI (tolerable daily intake). Di mana, sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).
Pada pertengahan tahun lalu, kata Dedi, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap AMDK berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam airnya. “Setelah dihitung ternyata paparannya itu jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman,” ujarnya.
(hri)