Ibu yang Alami Depresi Perinatal Berisiko Pengaruhi Anak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi perinatal memiliki risiko 70% lebih tinggi terkena depresi pada masa remaja dan dewasa. Hal ini diungkapkan melalui studi baru yang diterbitkan di JAMA Network Open.
(Baca juga: Kenali Gejala Serangan Jantung karena Bisa Berakibat Fatal )
Dalam studi tersebut, para peneliti di Inggris dan Amerika Utara memeriksa data yang dikumpulkan dari hampir 16.000 pasangan ibu-anak. Di mana anak-anak yang terlibat dalam penelitian ini berusia 12 tahun ke atas.
Seperti dilansir Healthline, hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja perempuan memiliki risiko depresi 6% lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang ibunya mengalami depresi perinatal.
Studi ini menunjukkan bahwa penelitian tambahan tentang mekanisme penularan risiko depresi dan penilaian pengurangan risiko postinterventional dapat membuka jalan bagi strategi baru untuk mengurangi risiko gangguan depresi selama kehamilan.
"Depresi perinatal tidak cukup dibicarakan dan masih ada banyak stigma yang melekat padanya," kata Dr. Roseann Capanna-Hodge, seorang psikolog dan pakar kesehatan mental anak-anak yang berbasis di Connecticut dan New York.
Depresi perinatal mengacu pada episode depresi selama kehamilan (depresi antenatal) atau dalam waktu 12 bulan setelah kehamilan (depresi pascanatal). Gangguan suasana hati ini berkisar dari ringan hingga parah dan dapat disembuhkan, menurut National Institute of Mental Health.
"Kami melukis gambar bahwa memiliki bayi yang baru lahir adalah sinar matahari dan mawar, tetapi 60-80% ibu baru akan mengalami baby blues dan 10-20% akan mengalami depresi pascapersalinan secara klinis," jelas Capanna-Hodge.
"Untuk ibu baru, mereka merasa bersalah karena sedih setelah memiliki bayi yang sangat mereka inginkan dan beberapa ibu bahkan mungkin tidak mengenali depresi mereka," tambahnya.
(Baca juga: Tips Kehamilan Aman di Masa Pandemi COVID-19 )
Capanna-Hodge memaparkan bahwa penelitian telah menunjukkan kualitas interaksi ibu dan seberapa sensitif seorang ibu terhadap respons anak, memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan otak.
"Lebih khusus lagi, penelitian telah menunjukkan bahwa ketika bayi mencoba untuk terlibat dengan seorang ibu yang menunjukkan pengaruh yang datar dan tidak memberikan cara yang responsif terhadap interaksi bayi, menyebabkan bayi tertekan," paparnya.
Selain itu, depresi ibu diketahui mengganggu perkembangan regulasi emosi bayi. "Meta analisis saat ini melangkah lebih jauh dan menunjukkan implikasi jangka panjang dari depresi perinatal pada kesehatan mental anak," pungkasnya.
Lihat Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Kunjungi NTT, Ajak Masyarakat Kawal Penggunaan Internet pada Anak
(Baca juga: Kenali Gejala Serangan Jantung karena Bisa Berakibat Fatal )
Dalam studi tersebut, para peneliti di Inggris dan Amerika Utara memeriksa data yang dikumpulkan dari hampir 16.000 pasangan ibu-anak. Di mana anak-anak yang terlibat dalam penelitian ini berusia 12 tahun ke atas.
Seperti dilansir Healthline, hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja perempuan memiliki risiko depresi 6% lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang ibunya mengalami depresi perinatal.
Studi ini menunjukkan bahwa penelitian tambahan tentang mekanisme penularan risiko depresi dan penilaian pengurangan risiko postinterventional dapat membuka jalan bagi strategi baru untuk mengurangi risiko gangguan depresi selama kehamilan.
"Depresi perinatal tidak cukup dibicarakan dan masih ada banyak stigma yang melekat padanya," kata Dr. Roseann Capanna-Hodge, seorang psikolog dan pakar kesehatan mental anak-anak yang berbasis di Connecticut dan New York.
Depresi perinatal mengacu pada episode depresi selama kehamilan (depresi antenatal) atau dalam waktu 12 bulan setelah kehamilan (depresi pascanatal). Gangguan suasana hati ini berkisar dari ringan hingga parah dan dapat disembuhkan, menurut National Institute of Mental Health.
"Kami melukis gambar bahwa memiliki bayi yang baru lahir adalah sinar matahari dan mawar, tetapi 60-80% ibu baru akan mengalami baby blues dan 10-20% akan mengalami depresi pascapersalinan secara klinis," jelas Capanna-Hodge.
"Untuk ibu baru, mereka merasa bersalah karena sedih setelah memiliki bayi yang sangat mereka inginkan dan beberapa ibu bahkan mungkin tidak mengenali depresi mereka," tambahnya.
(Baca juga: Tips Kehamilan Aman di Masa Pandemi COVID-19 )
Capanna-Hodge memaparkan bahwa penelitian telah menunjukkan kualitas interaksi ibu dan seberapa sensitif seorang ibu terhadap respons anak, memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan otak.
"Lebih khusus lagi, penelitian telah menunjukkan bahwa ketika bayi mencoba untuk terlibat dengan seorang ibu yang menunjukkan pengaruh yang datar dan tidak memberikan cara yang responsif terhadap interaksi bayi, menyebabkan bayi tertekan," paparnya.
Selain itu, depresi ibu diketahui mengganggu perkembangan regulasi emosi bayi. "Meta analisis saat ini melangkah lebih jauh dan menunjukkan implikasi jangka panjang dari depresi perinatal pada kesehatan mental anak," pungkasnya.
Lihat Juga: Menkomdigi Meutya Hafid Kunjungi NTT, Ajak Masyarakat Kawal Penggunaan Internet pada Anak
(nug)