Memahat Kembali Jejak Tionghoa di Indonesia

Minggu, 02 Agustus 2015 - 10:36 WIB
Memahat Kembali Jejak Tionghoa di Indonesia
Memahat Kembali Jejak Tionghoa di Indonesia
A A A
MENJADI etnis minoritas tidak membuat kebudayaan Tionghoa terkubur begitu saja tanpa jejak. Komunitas Jejak Petjinan mencoba mengumpulkan semua yang tertinggal.

Sejatinya, masyarakat Tionghoa tersebar di seluruh pelosok Indonesia, namun tulisan, cerita, foto lama, video, dokumentasi atau artefak sejarah mengenai etnis Tionghoa tidak mudah diperoleh dengan mudah di Indonesia.

Hal ini disebabkan karena banyaknya sumber data yang tidak tercatat maupun terdokumentasi dengan baik. Terletak di salah satu sudut pecinan Surabaya, tepatnya di jalan Bibis No. 3, terdapat sebuah komunitas yang masih sangat peduli atas keberadaan etnis Tionghoa yang masih bisa ditelusuri jejak-jejaknya.

Komunitas ini menyebut dirinya dengan nama Jejak Petjinan. Berbekal dari wawancara dengan orang-orang yang masih menyimpan ingatan atau memori, mencari dokumen dari perpustakaan, dari buku-buku yang ada, serta Koran-koran lama, Jejak Petjinan mengumpulkan semua jejak yang masih tersisa lalu kemudian diabadikan ke dalam bentuk diskusi, acara kegamaan, hingga perayaan atau festival.

Sulitnya mencari informasi kerap dirasakan bagi mereka yang mempunyai garis keturunan Tionghoa maupun yang bukan mengenai budaya Tionghoa menjadi latar belakang terbentuknya Jejak Petjinan.

ìDi keluarga saya juga terjadi, kadang saya jengkel bertanya kepada orang yang lebih tua dan tidak ada yang tahu, itu juga yang membuat saya mulai mencari tahu makna-makna di balik tradisi yang masih dijalankan sampai sekarang.

Dengan latar belakang ingin mengingatkan kepada semua orang bahwa masyarakat Tionghoa juga bagian dari kehidupan berbangsa dan bertanah air Indonesia,î kenang Paulina Mayasari, yang akrab disapa Maya, salah satu pencetus komunitas Jejak Petjinan.

Berawal dari sebuah kegiatan wisata budaya dan sejarah yang dinamakan Melantjong Petjinan Soerabaia (MPS) pada 27 Desember 2009, akhirnya, pada tanggal 21 Februari 2010, Paulina Mayasari, Vitrie Joanita memutuskan untuk membentuk komunitas Jejak Petjinan.

untuk mewadahi aktivitas penelusuran jejak budaya dan sejarah kehidupan Tionghoa di Indonesia. Yang tergabung dalam komunitas ini tak hanya mereka yang berasala dari keturunan Tionghoa. Siapa saja boleh mempelajarinya.

ìKami berharap teman-teman juga berusaha untuk menelusuri jejak budayanya (missal Jawa, Sunda, Batak, Dayak, dsb) masing-masing, supaya makin terlihat betapa indahnya warna warni Indonesia,î tambah Maya.

Meskipun masih ada orang yang belum menerima keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus mempelajari dan menelusuri kembali jejak-jejak etnis China.

Komunitas ini dibentuk sebagai upaya mewadahi serta mengajak banyak orang yang tergerak untuk menelusuri sejarah dan budaya Tionghoa dengan mengingatkan kembali masyarakat etnis Tionghoa akan jejak budaya dan prinsip hidup, kebajikan leluhurnya yang berkembang di Indonesia.

ìKami terus berupaya untuk terus menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat umum akan budaya dan tradisi Tionghoa dengan menjunjung semangat pluralisme.

Dan tidak lupa melestarikan budaya dan tradisi Tionghoa sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia,î jelas Maya. Sejauh ini, Jejak Petjinan telah diapresiasi dengan baik oleh Dinas Pariwisata Surabaya, meskipun belum ada dukungan tetap dari pemerintah.

Selain itu, Jejak Petjinan pernah dapat penghargaan dari forum internasional United Nations Alliance of Civilzations (UNAOC) sebagai satu dari sepuluh inisiatif terinovatif untuk meredakan ketegangan etnis di Indonesia.

Kegiatan utama Jejak Petjinan adalah Melantjong Petjinan Soerabaia. Kegiatan ini mengajak masyarakat untuk melihat kembali kehidupan etnis Tionghoa sehari-hari apakah benar hal-hal kecil yang masih dilakukan itu murni berasal tradisinya sendiri.

Kegiatan?kegiatan lainnya adalah pameran foto bersama, di sini biasanya komunitas ini akan memajang foto peserta ‘Melantjong Petjinan Soerabaia’ dan memberi deskripsi sesuai jejak yang ditelusuri dari foto itu.

Adapula Cangkrukan bareng Jejak Petjinan yang merupakan acara komunitas untuk jalan?jalan ke mana saja, menyaksikan pameran atau sekadar berkumpul dan tidak harus berhubungan dengan budaya Tionghoa.

Lalu ada Kumkum Jejak Petjinan, kegiatan ini merupakan acara perkumpulan yang biasanya dilakukan dalam kemasan seminar atau bedah buku atau pameran. ìKami juga sering mengadakan diskusi?diskusi kecil seperti IK’OL’SAN (Ikutan Ngobrol Santai) yang membahas topik2 berat, tapi dengan situasi dan kondisi yang lebih santai.

Dan juga SKETSA (Sejarah dan Kebudayaan Tionghoa Nusantara) sebuah usaha gerakan pengumpulan data Sejarah dan Kebudayaan Tionghoa Nusantara. Dengan harapan suatu saat nanti bisa menjadi sumber atau pusat informasi yang up to date dan benar tentang Tionghoa di Indonesia, dimana orang bisa mencari tahu apa saja tentang Tionghoa di Indonesia,î papar Maya.

ìDi masa mendatang, kami ingin dari komunitas ini bisa membangun semacam Chinese Indonesian Cultural Centre, semacam pusat kebudayaan bagi etnis Tionghoa,î harapnya. Menurut Maya, yang kebetulan keturunan Tionghoa dan lahir serta besar di Surabaya ini, pelestarian budaya penting karena globalisasi akan membuat batas?batas negara menjadi kabur.

Cepat atau lambat segalanya terlihat sama. Karena itulah kita penting bagi generasi muda untuk mencaritahu dan memahami identitas Indonesia. Kemudian, setelah menemukannya, jangan lupa untuk mempertahankannya.

ìSaya berharap generasi muda di Indonesia mau berusaha untuk mencari identitas dirinya, budaya dan menjaga bagian terbaik darinya supaya tetap menjadi milik dirinya sendiri dan negara ini.î tandas Maya.

Larissa Huda
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6148 seconds (0.1#10.140)