Waspadai Dampak Resistensi Antibiotik

Selasa, 18 Agustus 2015 - 09:15 WIB
Waspadai Dampak Resistensi Antibiotik
Waspadai Dampak Resistensi Antibiotik
A A A
Angka kematian akibat kekebalan terhadap7 antimikroba kian meningkat di Indonesia. Infeksi resistensi tersebut disebabkan penyalahgunaan antibiotik. Pasien pun diharapkan lebih kritis dalam bertanya sekaligus melek kesehatan.

Antibiotik bukanlah obat dewa seperti yang digadang-gadangkan. Pasalnya, resistensi antibiotik telah menyebabkan permasalahan serius di tingkat global dan menjadi salah satu tantangan terbesar dalam dunia kesehatan. Penggunaan antibiotik yang tidak bijak berujung pada kematian. Pada tahun 2013 silam berdasarkan riset yang dilakukan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) terhadap enam rumah sakit di Tanah Air, angka kasus infeksi akibat bakteri kebal pada antibiotik mencapai 50%.

Meski sampai saat ini belum ada data yang akurat, studi dari Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang bekerja sama dengan World Health Organisation (WHO) menunjukkan bahwa angka kematian akibat infeksi resistensi antimikroba meningkat di Indonesia. Dalam seminar “Cegah Resistensi Antibiotik” di Jakarta, beberapa waktu lalu, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dr Hari Paraton SpOG(K) mengatakan, dari populasi Thailand yang sejumlah 70 juta, sebanyak 38.000 di antaranya meninggal akibat kuman resistensi.

Karena itu, asumsi kematian akibat penyakit resistensi antibiotik di Indonesia kurang lebih 130.000 per tahun. Indonesia memang menjadi salah satu negara di Asia dengan risiko besar resistensi antimikroba. Antibiotik berasal dari kata antidan bios (hidup, kehidupan). Jadi, antibiotik merupakan zat yang dapat membunuh atau melemahkan suatu makhluk hidup, yaitu mikro organisme (jasad renik), seperti bakteri dan parasit/jamur.

Antibiotik tidak dapat membunuh virus karena virus memang bukan barang hidup. Ia tidak dapat berkembang biak secara mandiri dan membutuhkan materi genetik dari sel pejamu, misalnya sel tubuh manusia untuk berkembang biak. Nyatanya masih banyak terjadi dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik untuk bayi dan balita yang hanya sakit flu karena virus. Memang, gejala yang menyertai flu kadang membuat orang tua panik, seperti demam, batuk, dan pilek.

Padahal, antibiotik tidak mempercepat apalagi melumpuhkan virus flu. Resistensi antibiotik menyebabkan banyak kuman atau bakteri penyebab penyakit kini tak mampu lagi disembuhkan dengan obat antibiotik biasa. Karena itu, dr Purnamawati S Pujiarto SpAK MMPed menganjurkan agar pasien banyak memperkaya ilmu soal kesehatan dan kritis bertanya kepada dokter seputar kegunaan dan efek samping obat yang diresepkan.

“Sebagai pasien, kita juga harus pintar. Harus tahu penyakit apa saja yang butuh antibiotik dan mana yang tidak. Jangan hanya demam sedikit, batuk atau pilek, lalu diberi antibiotik menurut saja,” kata penasihat Yayasan Orang Tua Peduli ini. Dia juga menegaskan untuk menghentikan kebiasaan mengonsumsi antibiotik pada penyakit ringan. “Kalau sudah tahu bahaya resistensi obat, maka jangan sembarangan mengonsumsinya.

Tidak semua bakteri di tubuh kita jahat. Ada juga bakteri baik yang dibutuhkan tubuh. Kalau tidak sakit atau mengonsumsi antibiotik tidak tepat, berarti bakteri baiknya juga hilang sehingga kekebalan tubuh bisa menurun,” imbuh Purnamawati. Ada beberapa penyakit yang sebenarnya tidak membutuhkan penggunaan antibiotik. ”Batuk, pilek, diare, dan luka-luka kecil itu tidak perlu pakai antibiotik. Lalu, operasi payudara untuk mengambil benjolan, tinggal dijahit kembali tanpa menggunakan antibiotik enggak apa-apa,” kata Hari.

Dia menuturkan, sekitar 70%-80% penyakit di dunia karena virus. Pemberian antibiotik terhadap penyakit karena virus tidak berdampak membunuh virus itu sendiri. Menurut dr Hari, biarkan saja tubuh panas dingin selama lima hari. Minum parasetamol bila perlu, tanpa membutuhkan antibiotik. Di tempat yang sama, pewakilan WHO untuk Indonesia, Dr Khancit Limpakarnjanarat, mengatakan, resistensi antibiotik bisa dicegah.

Caranya tentu saja dengan mengubah kebiasaan berobat yang selama ini sangat bergantung pada antibiotik. Penyebab munculnya resistensi antibiotik adalah mutasi bakteri atau kuman penyakit. Mutasi ini terjadi karena dua hal, pertama adalah penyalahgunaan antibiotik dan kedua adalah penggunaan antibiotik berlebihan.

Karena itu, menurut Khancit, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini. Resistensi antibiotik bukan hanya masalah milik pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Kesehatan, namun dokter, organisasi profesi, hingga masyarakat juga harus terlibat.

Sri noviarni
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7937 seconds (0.1#10.140)