Cinta dan Hidup Anak Remaja
A
A
A
PAPER Townsadalah kombinasi yang menarik antara film coming of age, romansa, misteri, dan road trip.
Lebih menarik lagi karena film ini lahir dari hasil adaptasi novel John Green, yang tahun lalu sukses dengan The Fault in Our Stars, film yang disebut-sebut sebagai film remaja yang tidak biasa. Paper Townspun bisa juga disebut seperti itu. Film yang skenarionya ditulis oleh tim yang sama seperti The Fault(Scott Neustadler dan Michael H Weber) ini bercerita dari sudut pandang seorang anak SMA tahun terakhir bernama Quentin (Nat Wolff).
Pada awal Quentin bercerita tentang konsep sebuah keajaiban yang datang pada semua manusia. ”Ada yang dapat lotre, ada yang bisa mencetak skor saat terakhir. Kalau aku, keajaiban untukku adalah Margo Roth Spielgelman,” ujar Quentin membuka kisahnya. Openingsceneini menggiring penonton untuk percaya bahwa Paper Townsadalah sebuah kisah cinta ala anak remaja, tapi nyatanya tidak. Margo (Cara Delevingne) bagi Quentin adalah sebuah misteri.
Berteman sejak kecil, Quentin selalu terpukau dengan ketertarikan tetangga seberang rumahnya tersebut dengan hal-hal yang berbau misteri dan pelanggaran hukum. Sempat renggang hubungan, suatu malam tiba-tiba Margo mengajak Quentin melakukan petualangan seru. Aksi kelayapan pada malam hari itu membuat Quentin merasa ”hidup” dan menyadari kalau dia jatuh cinta pada Margo.
Esok paginya Margo menghilang dan Quentin merasa ini adalah permainan yang dibuat Margo agar dia mau mencari gadis tersebut. Sutradara Jake Schreier dan tim penulis sangat lihai dalam membawa penonton ke dalam moodyang berbeda-beda. Awalnya film ini punya rasa seperti cerita romansa. Lalu tibatiba beralih ke cerita misteri, komedi, petualangan, hingga berujung ke kisah yang lebih mendalam.
Ada kalanya kita dibawa tertawa melihat tingkah dua sahabat Quentin, Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smith). Ada kalanya juga kita dibuat penasaran, apa sebenarnya yang diinginkan Margo hingga dia membuat orang-orang yang peduli padanya kelimpungan mencarinya? Pertanyaan inilah yang baru terjawab pada akhir film. Sebuah pertanyaan yang jawabannya mengejutkan dan membuat Quentin berpikir ulang tentang apa yang diyakininya selama ini.
Sebuah bagian akhir yang sangat penting, namun sayangnya justru terasa kurang digali lebih mendalam oleh sutradara dan penulis cerita. Bagian inilah yang seharusnya bisa menekankan sekali lagi tentang ciri khas cerita John Green yang berbeda dengan film remaja kebanyakan.
Meski tak sempurna, Paper Towns tetaplah tontonan yang menarik bagi remaja dan mereka yang menyenangi film pertama John Green.
Herita endriana
Lebih menarik lagi karena film ini lahir dari hasil adaptasi novel John Green, yang tahun lalu sukses dengan The Fault in Our Stars, film yang disebut-sebut sebagai film remaja yang tidak biasa. Paper Townspun bisa juga disebut seperti itu. Film yang skenarionya ditulis oleh tim yang sama seperti The Fault(Scott Neustadler dan Michael H Weber) ini bercerita dari sudut pandang seorang anak SMA tahun terakhir bernama Quentin (Nat Wolff).
Pada awal Quentin bercerita tentang konsep sebuah keajaiban yang datang pada semua manusia. ”Ada yang dapat lotre, ada yang bisa mencetak skor saat terakhir. Kalau aku, keajaiban untukku adalah Margo Roth Spielgelman,” ujar Quentin membuka kisahnya. Openingsceneini menggiring penonton untuk percaya bahwa Paper Townsadalah sebuah kisah cinta ala anak remaja, tapi nyatanya tidak. Margo (Cara Delevingne) bagi Quentin adalah sebuah misteri.
Berteman sejak kecil, Quentin selalu terpukau dengan ketertarikan tetangga seberang rumahnya tersebut dengan hal-hal yang berbau misteri dan pelanggaran hukum. Sempat renggang hubungan, suatu malam tiba-tiba Margo mengajak Quentin melakukan petualangan seru. Aksi kelayapan pada malam hari itu membuat Quentin merasa ”hidup” dan menyadari kalau dia jatuh cinta pada Margo.
Esok paginya Margo menghilang dan Quentin merasa ini adalah permainan yang dibuat Margo agar dia mau mencari gadis tersebut. Sutradara Jake Schreier dan tim penulis sangat lihai dalam membawa penonton ke dalam moodyang berbeda-beda. Awalnya film ini punya rasa seperti cerita romansa. Lalu tibatiba beralih ke cerita misteri, komedi, petualangan, hingga berujung ke kisah yang lebih mendalam.
Ada kalanya kita dibawa tertawa melihat tingkah dua sahabat Quentin, Ben (Austin Abrams) dan Radar (Justice Smith). Ada kalanya juga kita dibuat penasaran, apa sebenarnya yang diinginkan Margo hingga dia membuat orang-orang yang peduli padanya kelimpungan mencarinya? Pertanyaan inilah yang baru terjawab pada akhir film. Sebuah pertanyaan yang jawabannya mengejutkan dan membuat Quentin berpikir ulang tentang apa yang diyakininya selama ini.
Sebuah bagian akhir yang sangat penting, namun sayangnya justru terasa kurang digali lebih mendalam oleh sutradara dan penulis cerita. Bagian inilah yang seharusnya bisa menekankan sekali lagi tentang ciri khas cerita John Green yang berbeda dengan film remaja kebanyakan.
Meski tak sempurna, Paper Towns tetaplah tontonan yang menarik bagi remaja dan mereka yang menyenangi film pertama John Green.
Herita endriana
(ars)