Air Minum Tercemar Sebabkan Penyakit Berbahaya
A
A
A
Hingga saat ini, kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat masih dalam taraf rendah. Masyarakat tak sadar air yang dikonsumsi tercemar, baik oleh bakteri patogen maupun limbah, yang berujung pada gangguan kesehatan, seperti kerusakan ginjal, impotensi, hingga kanker.
Seperti disebutkan oleh Dr Ir Firdaus Ali MSc selaku pendiri dan pimpinan Indonesia Water Institute, sampai sekarang baru 29% masyarakat Indonesia yang dapat mengakses air bersih melalui perpipaan. Jauh di bawah target pemerintah untuk 2019, yaitu 60%. Bukan hanya itu, kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat pun masih dalam taraf mengkhawatirkan.
Namun, masyarakat selama ini tidak menyadari air yang dikonsumsi tercemar, baik oleh bakteri patogen maupun limbah yang mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun) seperti timbal. Apalagi saat ini makin banyak bakteri dan virus serta bahan kimia beracun yang terbawa air dan menyebabkan penyakit berbahaya.
Mengonsumsi air berkualitas buruk dapat meningkatkan risiko penyakit yang diakibatkan oleh kuman dalam air (waterborne diseases) seperti kolera, rotavirus, diare, tifus, sakit kuning, polio, dan lainnya. Fakta mengenai waterborne diseasesterungkap melalui penelitian diare rotavirus yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung pada 2010.
Disebutkan, rotavirus yang ditularkan melalui air yang tidak higienis menimbulkan angka kematian tertinggi yang sering dijumpai pada balita laki-laki. Air bisa menjadi media pengantar penyakit tak menular yang diakibatkan oleh B3. Masa laten dalam dosis kecil berkepanjangan, dampaknya sangat luas.
Mulai dari kanker, kerusakan ginjal, kelainan endokrin (produksi hormon) di usia lansia yang juga dapat terjadi pada usia muda dan bayi sejak dalam kandungan. “Logam berat ini dideposit di organ tubuh misalnya Cd (kadmium) pada tulang atau ginjal, timbal di gigi, dan beberapa bahan kimia yang berisiko menyebabkan endocrine disrupting compoundpada sistem hormonal,
” kata pakar kesehatan lingkungan dan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof dr Umar Fahmi Achmadi MPH PhD dalam acara Pureit: Solusi Air Minum Higienis dan Hemat Untuk Keluarga Indonesiadi Jakarta beberapa waktu lalu.
Zat logam berat merupakan salah satu yang terberat ketika menempati tubuh. Selain sulit terdeteksi, zat ini masuk lewat makanan dan air, kemudian meninggalkan deposit di lemak atau tulang. Air tak layak konsumsi pun dapat menimbulkan masalah lain, seperti impotensi atau disfungsi ereksi pada laki-laki.
Untuk itu, dia menekankan agar masyarakat bisa memilah sumber air yang memang baik. Misalnya bagi warga yang menggunakan air sungai, sudah sepatutnya tidak mencemari sungai dengan berbagai macam limbah, terutama limbah rumah tangga. Dia melanjutkan, sumber air yang biasa dikonsumsi seperti air PAM atau air dalam kemasan belum tentu higienis.
Menurut dia, air yang bersumber dari tanah yang pernah mengalami proses penambangan misalnya, termasuk tak layak konsumsi. “Kita pakai sumber air yang kita olah, tapi sumber airnya dari mana? Kalau ada pertambangan dan tidak diproses lagi, akan berpotensi mencemari (air) dengan merkuri misalnya,” imbuh Umar.
Angka hemodialisa atau cuci darah yang semakin meningkat, menurut Umar, juga bisa disebabkan pencemaran logam berat dan zat kimia melalui air. Namun, belum ada penelitian mendalam untuk membuktikannya. Sejauh ini penelitianpenelitian yang ada hanya fokus kepada mikroorganisme. Sulit merujuk ke bahan kimia tertentu penyebab hemodialisa karena sifatnya yang bercampur.
Padahal, angka hemodialisa sedang meningkat dan banyak terjadi di perkotaan bila merujuk pada data BPJS. Menurut Umar, zat kimia yang bersifat koktail atau bercampur memang sulit untuk diteliti satu per satu karena jumlahnya ribuan. Kecuali, bila langsung spesifik ingin meneliti zat kimia tertentu. Maka itu hendaknya masyarakat mengetahui kriteria air minum yang layak konsumsi.
Sri noviarni
Seperti disebutkan oleh Dr Ir Firdaus Ali MSc selaku pendiri dan pimpinan Indonesia Water Institute, sampai sekarang baru 29% masyarakat Indonesia yang dapat mengakses air bersih melalui perpipaan. Jauh di bawah target pemerintah untuk 2019, yaitu 60%. Bukan hanya itu, kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat pun masih dalam taraf mengkhawatirkan.
Namun, masyarakat selama ini tidak menyadari air yang dikonsumsi tercemar, baik oleh bakteri patogen maupun limbah yang mengandung B3 (bahan berbahaya dan beracun) seperti timbal. Apalagi saat ini makin banyak bakteri dan virus serta bahan kimia beracun yang terbawa air dan menyebabkan penyakit berbahaya.
Mengonsumsi air berkualitas buruk dapat meningkatkan risiko penyakit yang diakibatkan oleh kuman dalam air (waterborne diseases) seperti kolera, rotavirus, diare, tifus, sakit kuning, polio, dan lainnya. Fakta mengenai waterborne diseasesterungkap melalui penelitian diare rotavirus yang dilakukan di RS Hasan Sadikin Bandung pada 2010.
Disebutkan, rotavirus yang ditularkan melalui air yang tidak higienis menimbulkan angka kematian tertinggi yang sering dijumpai pada balita laki-laki. Air bisa menjadi media pengantar penyakit tak menular yang diakibatkan oleh B3. Masa laten dalam dosis kecil berkepanjangan, dampaknya sangat luas.
Mulai dari kanker, kerusakan ginjal, kelainan endokrin (produksi hormon) di usia lansia yang juga dapat terjadi pada usia muda dan bayi sejak dalam kandungan. “Logam berat ini dideposit di organ tubuh misalnya Cd (kadmium) pada tulang atau ginjal, timbal di gigi, dan beberapa bahan kimia yang berisiko menyebabkan endocrine disrupting compoundpada sistem hormonal,
” kata pakar kesehatan lingkungan dan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof dr Umar Fahmi Achmadi MPH PhD dalam acara Pureit: Solusi Air Minum Higienis dan Hemat Untuk Keluarga Indonesiadi Jakarta beberapa waktu lalu.
Zat logam berat merupakan salah satu yang terberat ketika menempati tubuh. Selain sulit terdeteksi, zat ini masuk lewat makanan dan air, kemudian meninggalkan deposit di lemak atau tulang. Air tak layak konsumsi pun dapat menimbulkan masalah lain, seperti impotensi atau disfungsi ereksi pada laki-laki.
Untuk itu, dia menekankan agar masyarakat bisa memilah sumber air yang memang baik. Misalnya bagi warga yang menggunakan air sungai, sudah sepatutnya tidak mencemari sungai dengan berbagai macam limbah, terutama limbah rumah tangga. Dia melanjutkan, sumber air yang biasa dikonsumsi seperti air PAM atau air dalam kemasan belum tentu higienis.
Menurut dia, air yang bersumber dari tanah yang pernah mengalami proses penambangan misalnya, termasuk tak layak konsumsi. “Kita pakai sumber air yang kita olah, tapi sumber airnya dari mana? Kalau ada pertambangan dan tidak diproses lagi, akan berpotensi mencemari (air) dengan merkuri misalnya,” imbuh Umar.
Angka hemodialisa atau cuci darah yang semakin meningkat, menurut Umar, juga bisa disebabkan pencemaran logam berat dan zat kimia melalui air. Namun, belum ada penelitian mendalam untuk membuktikannya. Sejauh ini penelitianpenelitian yang ada hanya fokus kepada mikroorganisme. Sulit merujuk ke bahan kimia tertentu penyebab hemodialisa karena sifatnya yang bercampur.
Padahal, angka hemodialisa sedang meningkat dan banyak terjadi di perkotaan bila merujuk pada data BPJS. Menurut Umar, zat kimia yang bersifat koktail atau bercampur memang sulit untuk diteliti satu per satu karena jumlahnya ribuan. Kecuali, bila langsung spesifik ingin meneliti zat kimia tertentu. Maka itu hendaknya masyarakat mengetahui kriteria air minum yang layak konsumsi.
Sri noviarni
(bbg)