Shopaholic, Waspadai Gejala Depresi!
A
A
A
JAKARTA - Wanita yang kecanduan belanja atau shopaholic harap waspada. Sejumlah periset mengaitkan kecanduan belanja ini dengan gejala depresi dan rendahnya rasa percaya diri pada wanita yang mungkin memanfaatkan belanja sebagai mekanisme pelarian untuk mengatasi perasaan yang tak karuan.
“Teknologi modern telah membuat berbelanja itu menjadi sangat mudah dan nyaman, terutama karena faktor seperti media sosial, kartu kredit, dan advanced marketing,” ungkap penulis kajian itu, Cecile Schou Andreassen, dari University of Bergen, Norwegia, yang dikutip PTI.
Kajian itu memperlihatkan sejumlah tendensi seperti bagaimana orang mengembangkan ketergantungan belanja. “Kecanduan belanja terjadi lebih sering terhadap kelompok demografi tertentu. Lebih dominan wanita, dan biasanya terjadi pada akhir masa remaja dan mulai kea rah dewasa, menurun dengan pertambahan usia,” papar Andreassen.
Riset itu juga menunjukkan bahwa kecanduan belanja terkait pada sifat pribadi utama. “Orang yang memiliki nilai tinggi untuk keterbukaan dan neurotisisme lebih berisiko terkena kecanduan belanja,” ujar Andreassen.
Menurut Andreassen, orang yang ekstrovert biasanya sosial dan mencari sensasi. Mereka mungkin memanfaatkan belanja untuk mengeskpresikan individualitas atau meningkatkan status sosial dan daya tarik personal. “Orang yang neurotik, yang biasanya cemas, depresif, dan sadar diri, mungkin memanfaatkan belanja sebagai sarana mengurangi perasaan negatif mereka,” kata Andreassen.
Sementara, orang yang biasa teliti, menyenangkan dan menyukai rangsangan baru dan intelektual lebih tidak berisiko terkena kecanduan belanja. Orang-orang seperti ini menganggap belanja sebagai aktivitas konvensional yang bertentangan dengan nilai mereka yang sering kali tidak konvensional. Kajian itu juga menunjukkan gejala kecanduan belanja terkait gejala kecanduan narkoba, alkohol dan kecanduan lainnya.
“Teknologi modern telah membuat berbelanja itu menjadi sangat mudah dan nyaman, terutama karena faktor seperti media sosial, kartu kredit, dan advanced marketing,” ungkap penulis kajian itu, Cecile Schou Andreassen, dari University of Bergen, Norwegia, yang dikutip PTI.
Kajian itu memperlihatkan sejumlah tendensi seperti bagaimana orang mengembangkan ketergantungan belanja. “Kecanduan belanja terjadi lebih sering terhadap kelompok demografi tertentu. Lebih dominan wanita, dan biasanya terjadi pada akhir masa remaja dan mulai kea rah dewasa, menurun dengan pertambahan usia,” papar Andreassen.
Riset itu juga menunjukkan bahwa kecanduan belanja terkait pada sifat pribadi utama. “Orang yang memiliki nilai tinggi untuk keterbukaan dan neurotisisme lebih berisiko terkena kecanduan belanja,” ujar Andreassen.
Menurut Andreassen, orang yang ekstrovert biasanya sosial dan mencari sensasi. Mereka mungkin memanfaatkan belanja untuk mengeskpresikan individualitas atau meningkatkan status sosial dan daya tarik personal. “Orang yang neurotik, yang biasanya cemas, depresif, dan sadar diri, mungkin memanfaatkan belanja sebagai sarana mengurangi perasaan negatif mereka,” kata Andreassen.
Sementara, orang yang biasa teliti, menyenangkan dan menyukai rangsangan baru dan intelektual lebih tidak berisiko terkena kecanduan belanja. Orang-orang seperti ini menganggap belanja sebagai aktivitas konvensional yang bertentangan dengan nilai mereka yang sering kali tidak konvensional. Kajian itu juga menunjukkan gejala kecanduan belanja terkait gejala kecanduan narkoba, alkohol dan kecanduan lainnya.
(alv)