Tidak Daur Ulang lebih Tidak Bermoral dari Nonton Pornografi
A
A
A
LOS ANGELES - Meskipun kini lebih banyak remaja dan pemuda beranjak dewasa yang menonton pornografi dari sebelumnya.
Tapi secara mencolok, sebagian besar dari mereka ternyata berpikir bahwa mengabaikan lingkungan lebih tidak bermoral ketimbang melihat pornografi, sebuah studi yang menarik telah mengungkap fakta tersebut.
Menurut Barna Group, sebuah organisasi penelitian non-profit yang berbasis di Amerika Serikat. Para pemuda di sana tampaknya memiliki sikap moral yang berbeda terhadap pornografi.
Hanya sepertiga dari responden pemuda berusia 13-24 tahun yang meyakini, kalau melihat gambar-gambar porno adalah selalu atau biasanya salah (32 persen), dibandingkan dengan lebih dari setengah orang dewasa yang lebih tua (54 persen).
"Sekitar seperempatnya mengatakan, membaca konten erotis (27 persen) atau menonton secara eksplisit di TV atau film tentang adegan seksual (24 persen) adalah perbuatan tidak bermoral,” kata temuan tadi menunjukkan.
"Tindakan yang dapat berdampak negatif terhadap peringkat lingkungan lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda. Dan terutama, remaja berpikir ‘tidak melakukan daur ulang’ akan lebih tidak bermoral ketimbang tindakan yang berkaitan dengan pornografi," kata para peneliti.
Remaja dan dewasa muda yang tak acuh, juga mengungkapkan bagaimana, dan seberapa sering, mereka berbicara dengan teman-teman mereka tentang pornografi.
Sepertiga dari responden yang berusia 18 sampai 24 tahun (34 persen) dan satu dari enam remaja (18 persen), mengatakan mereka berbicara tentang pornografi sangat sering atau kadang-kadang dengan teman-teman mereka.
Di antara mereka yang chatting dengan teman-teman mereka soal pornografi, setengah diantara yang melakukannya, menerima (36 persen) atau bahkan mendorong, dengan cara gembira (16 persen).
"Tampaknya ada pergeseran generasi penting yang tengah berlangsung dalam bagaimana pornografi dianggap, secara moral, dalam budaya kita," ujar Roxanne Stone, editor-in-chief di Barna Group dan salah satu analis utama studi tersebut.
Untuk mencapai kesimpulan ini, Barna Group melakukan lima survei online untuk studi "Fenomena Pornografi" yang mengambil sampel total dari 3.771 peserta.
Menurut para peneliti, smartphone, tablet dan laptop telah merevolusi cara orang menemukan gambar seksual secara eksplisit.
Dan dibutuhkan sedikit usaha untuk menemukan konten porno dari aplikasi seperti snapchat dan Instagram.
"Bahkan media mainstream juga disusupi dengan gambar seksual dan ide - salah satunya, tengok saja iklan komersial Axe di AS, lalu sebuah prime time yang menampilkan Miley Cyrus atau reality show seperti The Bachelor saat memasuki tahap keputusan," tambahnya.
Sebuah "pornification" dari budaya populer, berarti generasi muda tengah memasuki masa ekosistem budaya hiperseksual.
Mereka, pada gilirannya, cenderung lebih terbuka untuk eksperimen seksual dan mengekspresikan diri - menyebabkan penerimaan sosial lebih lanjut dari konten seksual eksplisit.
"Pergeseran ini sangat penting ketika datang ke pilihan pribadi mengenai penggunaan pornografi. Tapi sikap ini dan preferensi terhadap porno di kalangan generasi muda perlu memperhitungkan konteks sosial dan budaya yang lebih luas," para penulis mencatat.
Tapi secara mencolok, sebagian besar dari mereka ternyata berpikir bahwa mengabaikan lingkungan lebih tidak bermoral ketimbang melihat pornografi, sebuah studi yang menarik telah mengungkap fakta tersebut.
Menurut Barna Group, sebuah organisasi penelitian non-profit yang berbasis di Amerika Serikat. Para pemuda di sana tampaknya memiliki sikap moral yang berbeda terhadap pornografi.
Hanya sepertiga dari responden pemuda berusia 13-24 tahun yang meyakini, kalau melihat gambar-gambar porno adalah selalu atau biasanya salah (32 persen), dibandingkan dengan lebih dari setengah orang dewasa yang lebih tua (54 persen).
"Sekitar seperempatnya mengatakan, membaca konten erotis (27 persen) atau menonton secara eksplisit di TV atau film tentang adegan seksual (24 persen) adalah perbuatan tidak bermoral,” kata temuan tadi menunjukkan.
"Tindakan yang dapat berdampak negatif terhadap peringkat lingkungan lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda. Dan terutama, remaja berpikir ‘tidak melakukan daur ulang’ akan lebih tidak bermoral ketimbang tindakan yang berkaitan dengan pornografi," kata para peneliti.
Remaja dan dewasa muda yang tak acuh, juga mengungkapkan bagaimana, dan seberapa sering, mereka berbicara dengan teman-teman mereka tentang pornografi.
Sepertiga dari responden yang berusia 18 sampai 24 tahun (34 persen) dan satu dari enam remaja (18 persen), mengatakan mereka berbicara tentang pornografi sangat sering atau kadang-kadang dengan teman-teman mereka.
Di antara mereka yang chatting dengan teman-teman mereka soal pornografi, setengah diantara yang melakukannya, menerima (36 persen) atau bahkan mendorong, dengan cara gembira (16 persen).
"Tampaknya ada pergeseran generasi penting yang tengah berlangsung dalam bagaimana pornografi dianggap, secara moral, dalam budaya kita," ujar Roxanne Stone, editor-in-chief di Barna Group dan salah satu analis utama studi tersebut.
Untuk mencapai kesimpulan ini, Barna Group melakukan lima survei online untuk studi "Fenomena Pornografi" yang mengambil sampel total dari 3.771 peserta.
Menurut para peneliti, smartphone, tablet dan laptop telah merevolusi cara orang menemukan gambar seksual secara eksplisit.
Dan dibutuhkan sedikit usaha untuk menemukan konten porno dari aplikasi seperti snapchat dan Instagram.
"Bahkan media mainstream juga disusupi dengan gambar seksual dan ide - salah satunya, tengok saja iklan komersial Axe di AS, lalu sebuah prime time yang menampilkan Miley Cyrus atau reality show seperti The Bachelor saat memasuki tahap keputusan," tambahnya.
Sebuah "pornification" dari budaya populer, berarti generasi muda tengah memasuki masa ekosistem budaya hiperseksual.
Mereka, pada gilirannya, cenderung lebih terbuka untuk eksperimen seksual dan mengekspresikan diri - menyebabkan penerimaan sosial lebih lanjut dari konten seksual eksplisit.
"Pergeseran ini sangat penting ketika datang ke pilihan pribadi mengenai penggunaan pornografi. Tapi sikap ini dan preferensi terhadap porno di kalangan generasi muda perlu memperhitungkan konteks sosial dan budaya yang lebih luas," para penulis mencatat.
(sbn)