Refleksi Diri Pada Intimasi Dua Wajah Karakter Perempuan
A
A
A
BANDUNG - Sebuah hasil karya yang indah dari guratan kuas seorang seniman muda yang akhirnya terbebas dari kejenuhan proses akademik yang selalu mengukungnya meminta penjelasan ilmiah terhadap apa yang dilakukannya. Ada sebuah ekspresi yang lebih subtil tentang pengenalan diri dalam setiap wajah wanita yang ia lukis.
Kecerian, perjumpaan, kecanggungan, pendekatan yang intens dalam sebuah percakapan, monolog diri, semua itu ia curahkan dalam sebuah lukisan diatas kanvas dan kertas yang ia pamerkan di dua tempat sekaligus.
Jabbar Muhammad, seniman muda ini memilih Salian Art dan Omnispace di Kota Bandung sebagai dua tempat memamerkan karya-karya lukisnya, ini merupakan pertama kalinya bagi jabar memamerkan dua karya lukis dengan teknik yang berbeda di dua tempat yang berbeda pula.
Namun begitu, keakraban yang intim dalam sebuah karya menjadi penghubung kedua tempat tersebut. Dua tempat ini dipilih bukan tanpa alasan, tentu saja alasan teknis menjadi pertimbangan penting bagi Jabbar dalam pameran tunggalnya itu.
“Pertimbangan dua tempat menjadi sangat seksi buat saya,” kata Jabbar di Omnispace, Jalan Ciumbuleuit, beberapa waktu lalu. Karya Jabbar ini di lukis pada dua media yang berbeda yakni diatas kertas dan kanvas. Tentu materi yang digunakan pun menjadi pertimbangan mengingat kondisi cuaca dan ruangan di dua tempat itu juga berbeda.
Salian yang bertempat di jalan Sersan Bajuri memiliki ruang galeri Karakter yang terbuka dengan kondisi cuaca yang lebih dingin dan lembab, hal tersebut dinilai cocok bagi penempatan karya lukisnya yang diatas kanvas.
Alasannya mengapa karya lukis yang diatas kertas tak ia tempatkan bersama di Salian, karena udara lembab tak bersahabat bagi kertas, hal itu akan membuat kertas berkeriput dan akan mengganggu karya itu sendiri. Tentu potensi ruangan di masing-masing galery ini menjadi pertimbangan bagi Jabbar untuk mencapai apa yang diinginkannya dalam pameran tunggal tersebut.
“Saya liat Salian dengan temboknya yang putih dan panjang membuat saya berpikir bahwa saya harus membuat karya yang masif dan mega. Sementara di Omnispace, saya lebih dulu intim dengan karya cat air. Saya lihat ruangan ini bisa menjadi sangat senyap dan intimasi tersendiri untuk menampilkan karya saya disini,” jelasnya.
Proses sampai pada akhirnya menemukan seri karya lukis ini, menurutnya, harus melalui proses kontemplasi yang cukup panjang. Jabbar mengaku harus memutar otak lebih keras hingga akhirnya menemukan karya yang pas jatuh pada kata ‘Anima’ di tahun 2012.
Dalam tulisan Kurator Riffandi Priatna yang terpajang dalam pameran ini menyebutkan bahwa Anima sendiri mengacu pada istilah yang digunakan Carl Jung pada bidang psikologi untuk menjelaskan sisi feminim pada kepribadian pria. Berasal dari kata latin yang berarti pikiran atau jiwa. Anima bekerja pada sisi bawah sadar manusia dan ditujukan kedalam diri manusia tersebut.
“Penamaan Anima muncul dari tengah perbincangan. Tadinya saya mau namain Eve itu tingkat tinggi dari pengenalan perempuan. Tapi saya tidak ingin mengilustrasikan sesuatu karena saya harus. Tapi dari pendekatan dengan orang lain,” Jelas Jabbar.
Tadinya, lanjut Jabbar, setiap kanvas diberikan sebuah nama, tapi dirinya tak ingin membuat identitas baru dalam karya-karyanya itu, karena menurutnya, dengan nama yang sama dengan penomoran itu jadi persepsi yang berbeda. “Jadi saya tentukan untuk membuatnya anonim,” pungkasnya.
Sementara itu pada pengerjaannya, Jabbar merasa cukup bimbang lantaran tak mendapatkan makna diri sendiri dalam mengerjakan karya seninya dalam arti seni dalam ranah personal. Ada kejenuhan saat menjalankan proses akademik di jurusan Seni Rupa dengan tuntutan akademis dan tugas yang selalu harus sempurna.
“Setiap saya menjalankan proses akademik di seni rupa, saya mendapati bahwa seluruh yang saya lakukan harus ada penjelasan ilmiah, itu sedikit mengikis intuisi dan sensitifitas saya terhadap empati. Saya jadi terlalu logis untuk semua hal padahal tidak semua hal itu harus dijelaskan dengan science,” tuturnya.
Pertanyaan mendasar muncul pada diri Jabbar, seperti siapa dirinya sebagai diri sendiri dan seniman? Yang pada akhirnya membuatnya sulit untuk berbasa basi dengan orang lain, meski ada keinginan untuk berbicara secara acak dan tak penting dengan orang lain.
Proses komunikasi langsung dan pendekatan secara intens itulah yang menghubungkan dirinya dengan karyanya saat ini. Tak ada makna dan imbas apapun bagi dirinya dan orang lain saat membuat potret diri, namun imbas itu baru dirasa ada saat melakukan interaksi dengan orang lain.
Kecerian, perjumpaan, kecanggungan, pendekatan yang intens dalam sebuah percakapan, monolog diri, semua itu ia curahkan dalam sebuah lukisan diatas kanvas dan kertas yang ia pamerkan di dua tempat sekaligus.
Jabbar Muhammad, seniman muda ini memilih Salian Art dan Omnispace di Kota Bandung sebagai dua tempat memamerkan karya-karya lukisnya, ini merupakan pertama kalinya bagi jabar memamerkan dua karya lukis dengan teknik yang berbeda di dua tempat yang berbeda pula.
Namun begitu, keakraban yang intim dalam sebuah karya menjadi penghubung kedua tempat tersebut. Dua tempat ini dipilih bukan tanpa alasan, tentu saja alasan teknis menjadi pertimbangan penting bagi Jabbar dalam pameran tunggalnya itu.
“Pertimbangan dua tempat menjadi sangat seksi buat saya,” kata Jabbar di Omnispace, Jalan Ciumbuleuit, beberapa waktu lalu. Karya Jabbar ini di lukis pada dua media yang berbeda yakni diatas kertas dan kanvas. Tentu materi yang digunakan pun menjadi pertimbangan mengingat kondisi cuaca dan ruangan di dua tempat itu juga berbeda.
Salian yang bertempat di jalan Sersan Bajuri memiliki ruang galeri Karakter yang terbuka dengan kondisi cuaca yang lebih dingin dan lembab, hal tersebut dinilai cocok bagi penempatan karya lukisnya yang diatas kanvas.
Alasannya mengapa karya lukis yang diatas kertas tak ia tempatkan bersama di Salian, karena udara lembab tak bersahabat bagi kertas, hal itu akan membuat kertas berkeriput dan akan mengganggu karya itu sendiri. Tentu potensi ruangan di masing-masing galery ini menjadi pertimbangan bagi Jabbar untuk mencapai apa yang diinginkannya dalam pameran tunggal tersebut.
“Saya liat Salian dengan temboknya yang putih dan panjang membuat saya berpikir bahwa saya harus membuat karya yang masif dan mega. Sementara di Omnispace, saya lebih dulu intim dengan karya cat air. Saya lihat ruangan ini bisa menjadi sangat senyap dan intimasi tersendiri untuk menampilkan karya saya disini,” jelasnya.
Proses sampai pada akhirnya menemukan seri karya lukis ini, menurutnya, harus melalui proses kontemplasi yang cukup panjang. Jabbar mengaku harus memutar otak lebih keras hingga akhirnya menemukan karya yang pas jatuh pada kata ‘Anima’ di tahun 2012.
Dalam tulisan Kurator Riffandi Priatna yang terpajang dalam pameran ini menyebutkan bahwa Anima sendiri mengacu pada istilah yang digunakan Carl Jung pada bidang psikologi untuk menjelaskan sisi feminim pada kepribadian pria. Berasal dari kata latin yang berarti pikiran atau jiwa. Anima bekerja pada sisi bawah sadar manusia dan ditujukan kedalam diri manusia tersebut.
“Penamaan Anima muncul dari tengah perbincangan. Tadinya saya mau namain Eve itu tingkat tinggi dari pengenalan perempuan. Tapi saya tidak ingin mengilustrasikan sesuatu karena saya harus. Tapi dari pendekatan dengan orang lain,” Jelas Jabbar.
Tadinya, lanjut Jabbar, setiap kanvas diberikan sebuah nama, tapi dirinya tak ingin membuat identitas baru dalam karya-karyanya itu, karena menurutnya, dengan nama yang sama dengan penomoran itu jadi persepsi yang berbeda. “Jadi saya tentukan untuk membuatnya anonim,” pungkasnya.
Sementara itu pada pengerjaannya, Jabbar merasa cukup bimbang lantaran tak mendapatkan makna diri sendiri dalam mengerjakan karya seninya dalam arti seni dalam ranah personal. Ada kejenuhan saat menjalankan proses akademik di jurusan Seni Rupa dengan tuntutan akademis dan tugas yang selalu harus sempurna.
“Setiap saya menjalankan proses akademik di seni rupa, saya mendapati bahwa seluruh yang saya lakukan harus ada penjelasan ilmiah, itu sedikit mengikis intuisi dan sensitifitas saya terhadap empati. Saya jadi terlalu logis untuk semua hal padahal tidak semua hal itu harus dijelaskan dengan science,” tuturnya.
Pertanyaan mendasar muncul pada diri Jabbar, seperti siapa dirinya sebagai diri sendiri dan seniman? Yang pada akhirnya membuatnya sulit untuk berbasa basi dengan orang lain, meski ada keinginan untuk berbicara secara acak dan tak penting dengan orang lain.
Proses komunikasi langsung dan pendekatan secara intens itulah yang menghubungkan dirinya dengan karyanya saat ini. Tak ada makna dan imbas apapun bagi dirinya dan orang lain saat membuat potret diri, namun imbas itu baru dirasa ada saat melakukan interaksi dengan orang lain.
(sbn)