Mahasiswa Indonesia Gelar Water Film Screening Pertama di Taiwan

Selasa, 27 Desember 2016 - 01:03 WIB
Mahasiswa Indonesia...
Mahasiswa Indonesia Gelar Water Film Screening Pertama di Taiwan
A A A
TAIWAN - Richad Yanato, mahasiswa Indonesia di Taiwan sukses menggelar water film screening pertama di Kampus National Yunlin University of Science and Technology (Yuntech) Taiwan. Film pendek berjudul The Cries of Sea ini pun mendapat apresiasi.

Pagelaran water film screening ini yang pertama kali dihelat di kalangan mahasiswa di Taiwan ini ini terbilang unik karena biasanya screening film dilakukan di media layar lebar atau di ruangan teater.

Tay Jou Lin, salah seorang sutradara film dokumenter di Taiwan mengatakan film ini merupakan karya yang unik. Pasalnya, belum pernah ada mahasiswa Indonesia yang menggali cerita tentang kisah ABK Indonesia di Taiwan.

"Tidak heran jika film ini mendapat beberapa penghargaan. Ini juga merupakan salah satu masalah yang cukup serius dan harus diselesaikan," kata Tay Jou dalam keterangan tertulisnya.

Water film screening merupakan rangkaian dari acara The Cries of Sea Photo Exhibition and Film Screening yang berlangsung di kampus Yuntech pada 25 - 30 Desember mendatang. Selain pemutaran film di indoor dan outdoor, acara yang berlangsung selama 6 hari tersebut juga memamerkan 17 foto kisah para ABK.

"Saya ingin membuat sesuatu yang lebih spesial untuk menarik perhatian warga Taiwan ataupun internasional untuk menyaksikan film dokumenter ini. Tujuannya agar mereka dapat lebih memahami tentang masalah yang dihadapi oleh teman-teman ABK di Taiwan," kata Richad.

Adrian Irnanda, pengunjung acara mengatakan pemutaran film ini merupakan cara yang unik. Pengunjung diajak menonton film di depan danau dengan projektor yang menembak ke layar air.

"Selama ini saya hanya melihat film di televisi, prjector ataupun bioskop. Kali ini saya melihat sesuatu yang baru dengan menyaksikan pemutaran film yang dilakukan di tengah danau," ujarnya.

The Cries of Sea merupakan film dokumenter yang menceritakan tentang kisah ABK LG (letter of guarantee) yang bekerja di kapal Taiwan. Para ABK itu harus bekerja selama 6-36 bulan di perairan Afrika dan Argentina dengan gaji USD300 per bulan.

Uang tersebut masih harus dipotong biaya agensi sebesar USD150 per bulan untuk biaya penempatan kerja selama satu tahun pertama dan USD100 per bulan hingga selesai kontrak sebagai uang jaminan. Sehingga di tahun pertama mereka hanya menerima USD50 atau sekitar Rp600.000 per bulan.

Di samping bekerja dengan gaji kecil, film karya mahasiswa S2 jurusan desain tersebut juga menceritakan tentang ABK yang hak-haknya terabaikan. Mereka juga tidak memiliki jaminan asuransi kesehatan apabila terjadi kecelakaan kerja atau sedang sakit.

"Menurut data dari KDEI (Kantor Dagang Ekonomi Indonesia) Taipei, setiap tahunnya terdapat sekitar 3,000 ABK LG asal Indonesia di Taiwan. Ini merupakan jumlah yang besar. Sebagai salah satu pahlawan devisa, kesejahteraan dan jaminan kesehatan mereka merupakan tanggung jawab dari pemerintah Indonesia," lanjut Richard.

Film berdurasi 17 menit yang diproduksi pada 2013 ini telah mendapatkan 3 penghargaan di kompetisi bergensi skala nasional Taiwan yaitu, juara 1 kategori film dokumenter di 2nd legend Film Festival, special jury prize di Youth Film Festival dan juara 3 di New Taipei City Labor Bureau Micro Film Award.
(tdy)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8455 seconds (0.1#10.140)