Depresi Itu Penyakit Serius, Bukan Hanya Soal Suasana Hati
A
A
A
JAKARTA - Prevalensi gangguan depresi di dunia mencapai 3—8% di mana 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20—50 tahun. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum sadar akan gejala depresi.
Padahal, depresi merupakan sebuah penyakit. Ketua PP PDSKJI, Dr. Eka Viora SpKJ menjelaskan, bahwa depresi merupakan sebuah penyakit yang awam ditemukan, bukan sekadar kondisi suasana hati atau mood yang sedang dirasakan oleh seseorang.
"Depresi itu penyakit. Penyakit yang awam dijumpai. Jadi bukan karena kelemahan atau mereka tidak beriman. Ini penyakit yang serius," papar Dr. Eka saat diskusi media di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
Masih adanya stigma, membuat pasien depresi kerap dinilai sebagai sosok yang lemah, tidak memiliki keinginan yang kuat hingga tidak beriman. Pada dasarnya, kondisi tersebut merupakan gejala depresi yang tidak disadari dan bisa menyerang siapa saja.
"Di masyarakat, masih banyak orang yang sudah menunjukkan tanda tapi orang di sekitarnya malah bilang 'kamu nggak beriman, kamu kok males'. Padahal mereka depresi. Ucapan seperti itu malah buat mereka semakin depresi. Depresi dimulai di usia muda dan anak-anak juga bisa alami depresi," ujar dia.
Bahkan, tingginya kasus depresi membuat World Health Organization (WHO) menyatakan depresi sebagai bukan kesehatan semata melainkan sebagai kesehatan masyarakat. Berdasarkan data WHO, depresi berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Kendati demikian, depresi bisa disembuhkan.
"Tahun 2030 depresi akan memimpin di urutan ke dua dan tiga beban penyakit dini. Pertama masih dipimpin oleh penyakit HIV/AIDS. Depresi bisa diobati, karena itu keluarga perlu tahu gejalanya," tutur dia.
Padahal, depresi merupakan sebuah penyakit. Ketua PP PDSKJI, Dr. Eka Viora SpKJ menjelaskan, bahwa depresi merupakan sebuah penyakit yang awam ditemukan, bukan sekadar kondisi suasana hati atau mood yang sedang dirasakan oleh seseorang.
"Depresi itu penyakit. Penyakit yang awam dijumpai. Jadi bukan karena kelemahan atau mereka tidak beriman. Ini penyakit yang serius," papar Dr. Eka saat diskusi media di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (18/5/2017).
Masih adanya stigma, membuat pasien depresi kerap dinilai sebagai sosok yang lemah, tidak memiliki keinginan yang kuat hingga tidak beriman. Pada dasarnya, kondisi tersebut merupakan gejala depresi yang tidak disadari dan bisa menyerang siapa saja.
"Di masyarakat, masih banyak orang yang sudah menunjukkan tanda tapi orang di sekitarnya malah bilang 'kamu nggak beriman, kamu kok males'. Padahal mereka depresi. Ucapan seperti itu malah buat mereka semakin depresi. Depresi dimulai di usia muda dan anak-anak juga bisa alami depresi," ujar dia.
Bahkan, tingginya kasus depresi membuat World Health Organization (WHO) menyatakan depresi sebagai bukan kesehatan semata melainkan sebagai kesehatan masyarakat. Berdasarkan data WHO, depresi berada pada urutan keempat penyakit di dunia. Kendati demikian, depresi bisa disembuhkan.
"Tahun 2030 depresi akan memimpin di urutan ke dua dan tiga beban penyakit dini. Pertama masih dipimpin oleh penyakit HIV/AIDS. Depresi bisa diobati, karena itu keluarga perlu tahu gejalanya," tutur dia.
(alv)