Rania Al-Abdullah, Ratu Paling Digital

Senin, 09 Oktober 2017 - 12:31 WIB
Rania Al-Abdullah, Ratu...
Rania Al-Abdullah, Ratu Paling Digital
A A A
RATU Yordania Rania Al-Abdullah memiliki akun di semua media sosial populer, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, hingga YouTube.

Dengan 5,7 juta pengikut di Twitter, sang ratu rajin menyuarakan isu-isu penting di Timur Tengah, sekaligus memamerkan gaya berpakaiannya yang berkelas. Ratu Rania memang berbeda dari para ratu kebanyakan di dunia.

Saat mereka lebih banyak memilih jalan konvensional untuk menyuarakan perubahan, dia menyodok ke depan dengan memilih media sosial (medsos) sebagai salah satu jalan untuk membawa perubahan di Timur Tengah (Timteng).

Lewat berbagai akun medsosnya, Rania sering menyuarakan isu-isu seputar pendidikan, kesehatan, pemberdayaan komunitas, dialog antarbudaya, masalah kaum muda, hingga ekonomi mikro kepada para pengikutnya.

Dengan bekal pendidikan yang cukup sebagai lulusan Administrasi Bisnis dari Universitas Amerika di Kairo, tak sulit baginya untuk membicarakan berbagai isu. Apalagi, sebelum menikah dengan Raja Yordania Abdullah bin Al-Hussein, dia pernah bekerja di Citibank dan Apple Inc di Amman.

Ditambah penampilannya yang menarik, Rania jelas sangat mudah menarik atensi masyarakat. Bisa dibilang, kemunculan ratu berdarah Palestina kelahiran Kuwait, 31 Agustus 1970 ini sebagai wanita paling menonjol di Yordania cukup tiba-tiba.

Kala itu, kematian Raja Hussein bin Tallal pada tahun 1999 menimbulkan kejutan lain. Mendiang raja tidak mencalonkan adik laki-lakinya, melainkan anak lelakinya, Abdullah II, yang diangkat menjadi raja, dan Rania pun diangkat menjadi ratu.

Sejak saat itu, dia mengambil posisi sebagai panutan bagi para perempuan di Timteng. Dia juga melakukan diplomasi dan menjembatani perbedaan antara Timteng dan Barat hingga Eropa, Amerika Serikat, dan negara lainnya.

Seperti diketahui, negara-negara Timteng kerap diidentikkan dengan berbagai masalah konflik. Namun, Kerajaan Yordania memiliki perbedaan tersendiri. Mereka berada dalam ruang diplomatik yang unik, yakni berputar di antara Timteng dan Barat.

Kerajaan ini cukup punya pandangan moderat tentang berbagai masalah di Timteng, misalnya perselisihan teritorial lama, konflik agama, terorisme, dan arus pengungsi dibandingkan negara Timteng lainnya. Rania mampu menangani semua masalah ini dengan kecerdasannya.

Dia membahasnya dalam bahasa Arab dan Inggris, dengan mengenakan kerudung dan gaun Balmain maxi, di masjid-masjid di Amman, di media internasional seperti CNN, hingga di halaman-halaman majalah hiburan ternama seperti Vogue dan HELLO!. Tak heran jika pada tahun 2011, dia berada di posisi ke-53 dalam daftar wanita paling berkuasa di dunia.

Salah satu terobosan yang dikerjakannya adalah membantu memperjuangkan undang-undang baru yang memungkinkan para ibu di Yordania untuk memberikan kewarganegaraan mereka kepada anak-anak mereka.

Sebelumnya hak ini hanya berlaku untuk para ayah. Dikutip The Sydney Morning Herald, perjuangannya ini adalah bagian dari usaha membantu para pria pengungsi Suriah yang menikah dengan perempuan Yordania.

Ada 330.000 pengungsi yang kerap mendapat kerugian di negara tersebut karena hak sosial dan ekonomi yang terbatas. Dengan perang yang berkecamuk di utara, selatan, timur dan barat, perubahan tersebut merupakan perlindungan penting bagi para pengungsi.

Dalam dunia pendidikan, Rania mendirikan Inisiatif Pendidikan Yordania (Jordan Education Initiative), Akademi Guru Ratu Rania (The Queen Rania Teachers Academy), Madrasati, Edraak, serta menjadi Ketua Kehormatan United Nation Girl’s Education Initiatives.

Tujuannya adalah memperkuat dasar sistem pendidikan Yordania, termasuk memperbaiki kualitas kelas, standar pengajaran, akses komputer, dan keterlibatan keluarga. Dikutip Forbes, dia juga mendirikan organisasi nonprofit Jordan River Foundation pada 1995.

Organisasi ini bermitra dengan perusahaan seperti Citigroup dan Royal Jordanian Airlines untuk menyelamatkan anak-anak yang dilecehkan dan membantu keluarga keluar dari kemiskinan.

Rania juga sempat menulis buku anak-anak The Sandwich Swap pada 2010 yang membahas tentang toleransi lintas budaya dan menjadi New York Times Best Seller. Tahun lalu, dia juga mendapatkan penghargaan Walther Rathenau Prize dari Jerman sebagai pengakuan atas kontribusinya bagi perdamaian dan pengertian antara Timur dan Barat.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1314 seconds (0.1#10.140)