Perfeksionis Bisa Ganggu Kesehatan Mental
A
A
A
JAKARTA - Perfeksionisme atau keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna untuk mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik ataupun non-materi ternyata bisa mempengaruhi kesehatan mental.
Peneliti Thomas Curran dari University of Bath, Inggris menggambarkan perbedaan generasi kelompok dalam perfeksionisme.
Peneliti mengartikan perfeksionisme sebagai keinginan irasional yang harus dicapai bersama dengan mengkritik diri sendiri dan orang lain. Penelitian ini melibatkan 41.641 mahasiswa dari beberapa negara dari 146 sampel mulai 1980 sampai 2016.
Dilansir Hindustan Times, dalam penelitian ini, peneliti fokus pada tiga jenis perfeksionisme, di antaranya pada diri sendiri untuk menjadi sempurna, berorientasi secara sosial untuk mendapatkan pujian dari orang lain serta berorientasi pada orang lain yang menempatkan standar tidak realistis.
Hasilnya ditemukan mahasiswa baru memiliki tingkat perfeksionisme yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Selama penelitian berlangsung, tingkat kesempurnaan yang berorientasi pada diri sendiri meningkat 10%, secara sosial 33% dan 16% untuk menempatkan standar tidak realistis kepada orang lain.
Curran menilai, kenaikan ini didukung oleh banyak hal. Salah satunya, penggunaan media sosial sebagai menyempurnakan diri yang membuat mereka ingin lebih unggul dibandingkan orang lain. Hal ini mempengaruhi penampilan serta pendidikan. Contohnya, banyak mahasiswa yang menyempurnakan nilai mereka untuk dibandingkan dengan temannya.
Akibat meningkatnya rasa perfeksionisme, mahasiswa pun menjadi saling bersaing demi tampil sempurna dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi dan pendidikan.
“Perfeksionisme menjadi sebuah kebutuhan yang kuat bagi kaum muda untuk berusaha dalam mencapai kehidupan modern,” papar Curran.
Namun, jika perfeksionisme terus mengalami peningkatan, sementara tidak bisa memenuhinya, kondisi ini bisa membuat sebagian orang mengalami masalah pada kesehatan mental. Tak tanggung-tanggung kondisi ini bisa memicu depresi hingga bunuh diri.
Peneliti Thomas Curran dari University of Bath, Inggris menggambarkan perbedaan generasi kelompok dalam perfeksionisme.
Peneliti mengartikan perfeksionisme sebagai keinginan irasional yang harus dicapai bersama dengan mengkritik diri sendiri dan orang lain. Penelitian ini melibatkan 41.641 mahasiswa dari beberapa negara dari 146 sampel mulai 1980 sampai 2016.
Dilansir Hindustan Times, dalam penelitian ini, peneliti fokus pada tiga jenis perfeksionisme, di antaranya pada diri sendiri untuk menjadi sempurna, berorientasi secara sosial untuk mendapatkan pujian dari orang lain serta berorientasi pada orang lain yang menempatkan standar tidak realistis.
Hasilnya ditemukan mahasiswa baru memiliki tingkat perfeksionisme yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Selama penelitian berlangsung, tingkat kesempurnaan yang berorientasi pada diri sendiri meningkat 10%, secara sosial 33% dan 16% untuk menempatkan standar tidak realistis kepada orang lain.
Curran menilai, kenaikan ini didukung oleh banyak hal. Salah satunya, penggunaan media sosial sebagai menyempurnakan diri yang membuat mereka ingin lebih unggul dibandingkan orang lain. Hal ini mempengaruhi penampilan serta pendidikan. Contohnya, banyak mahasiswa yang menyempurnakan nilai mereka untuk dibandingkan dengan temannya.
Akibat meningkatnya rasa perfeksionisme, mahasiswa pun menjadi saling bersaing demi tampil sempurna dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi dan pendidikan.
“Perfeksionisme menjadi sebuah kebutuhan yang kuat bagi kaum muda untuk berusaha dalam mencapai kehidupan modern,” papar Curran.
Namun, jika perfeksionisme terus mengalami peningkatan, sementara tidak bisa memenuhinya, kondisi ini bisa membuat sebagian orang mengalami masalah pada kesehatan mental. Tak tanggung-tanggung kondisi ini bisa memicu depresi hingga bunuh diri.
(tdy)