Waspada! Kelelahan sebagai Indikasi Aritmia

Jum'at, 26 Januari 2018 - 09:00 WIB
Waspada! Kelelahan sebagai...
Waspada! Kelelahan sebagai Indikasi Aritmia
A A A
JAKARTA - Merasa kelelahan setelah beraktivitas, tentu hal ini wajar. Namun, akan menjadi tidak wajar bila rasa lelah itu sering Anda rasakan dan berlangsung lebih dari sehari, bahkan dalam kurun waktu seminggu.

Bisa jadi itu adalah gejala aritmia. “Semua penyakit umumnya dicirikan dengan kelelahan, tetapi 20% di antaranya gejala aritmia, yaitu kelainan irama jantung yang tidak reguler,” ujar dr Dicky Armein Hanafy SpJP (K) FIHA dalam acara Overview dan Outlook tentang Penyakit Aritmia di Indonesia Tahun 2018 di RS Harapan Kita, Rabu (24/1/2018).

Gejala lain yang mungkin dirasakan, seperti jantung berdebar, rasa sakit atau nyeri pada dada, pusing, sering buang air kecil, bahkan pingsan. Apabila ada dua atau tiga dari gejala ini yang Anda rasakan, ada baiknya segera berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut.

Tidak main-main, aritmia merupakan penyakit yang bisa merenggut nyawa, seperti yang dialami pemerhati kuliner Tanah Air, Bondan Winarno, pada pengujung tahun lalu. Sebagai gambaran, jantung bekerja terus-menerus karena otomatisitas sistem listrik.

Sistem listrik jantung terdiri atas generator listrik alamiah, yaitu nodus sinoatrial (SA) dan jaringan konduksi listrik dari atrium ke ventrikel. Gangguan pada pembentukan dan atau penjalaran impuls listrik ini menimbulkan penyakit aritmia.

Dengan kata lain, aritmia adalah irama yang bukan berasal dari nodus SA atau irama yang tidak teratur, sekalipun berasal dari nodus SA atau frekuensi kurang dari 60 kali/menit (sinus bradikardi) atau lebih dari 100 kali/menit (sinus takikardi).

Berdebar adalah gejala tersering aritmia, tetapi spektrum gejala aritmia cukup luas, mulai berdebar, keleyengan, pingsan, stroke, bahkan kematian mendadak. Dari segi kecepatannya, aritmia terbagi menjadi dua garis besar; bradiaritmia, detak jantung terlalu lambat dengan perhitungan 60 kali per menit (kpm), dan takiaritmia, detak jantung terlalu cepat lebih dari 100 kpm.

Aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrial (AF). Prevalensi AF di Indonesia sebesar 2,2 juta orang, dan 40% di antaranya mengalami stroke. Maka itu, Ketua Indonesia Heart Rhytm Society (InaHRS) tersebut menyarankan kepada masyarakat agar selalu waspada, mengingat aritmia dapat menyebabkan stroke lima kali lebih tinggi dibanding gangguan kesehatan lainnya.

“Jangan lupa lakukan Menari (meraba nadi sendiri) minimal sekali sehari setiap bangun tidur,” ucap dr Dicky. Caranya dengan meraba nadi di pergelangan tangan menggunakan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Cari posisi yang tepat sampai denyut nadi bisa dirasakan.

Setelah denyut nadi terasa, mulailah menghitung berapa kali nadi berdenyut dalam waktu 10 detik. Denyut nadi normal per 10 detik sebanyak 6-7 denyutan. Adapun denyut nadi tiap 1 menit bagi orang yang sehat dan bugar akan menghasilkan 60-95 denyutan. Angka ini termasuk normal.

Sebaliknya, jika denyut nadi berada di atas 10, harus diwaspadai. Segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Menari adalah cara mudah mendeteksi kelainan irama jantung. Sementara itu, pada kesempatan yang sama, dr Agung Fabian Chandra negara SpJP (K), ketua panitia kampanye fibrilasi atrium (FA) 2017 mengatakan, “Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering didapatkan di klinik.

Tidak jarang stroke merupakan manifestasi klinis pertama dari FA. Prevalensi FA mencapai 1%-2% dan akan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang,” ungkap dr Agung. Di Indonesia ada sekitar 2,2 juta orang menderita FA. Sekitar 40% dari jumlah ini berisiko mengalami stroke apabila tidak segera mendapatkan penanganan medis.

Lebih jauh, pemerataan pelayanan aritmia di Indonesia masih perlu ditingkatkan agar kemajuan di bidang aritmia secara global juga dapat dinikmati pasien-pasien di Indonesia secara lebih luas. Pemerataan layanan tersebut mencakup beberapa bidang, terutama ketersediaan SDM, mengingat masih minimnya jumlah dokter subspesialis aritmia di Indonesia serta ketersediaan alat yang diperlukan di layanan kesehatan.

Di samping itu, kepedulian petugas kesehatan, pemangku kepentingan, serta edukasi masyarakat tentang penyakit ini masih sangat perlu ditingkatkan. Tata laksana yang juga tepat diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. (Sri Noviarni)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2484 seconds (0.1#10.140)