Review Film The Gift: Mencari Cinta dalam Gelap
A
A
A
SUTRADARA Hanung Bramantyo (akhirnya) kembali lagi dengan kelihaian yang membuat namanya pertama kali dilirik sebagai sutradara potensial; kemampuan menggarap drama kehidupan dengan eksplorasi karakter kuat.
Sedari awal mempromosikan film ini, Hanung sudah mengatakan bahwa The Gift adalah film yang personal baginya. Oleh rumah produksi Seven Sunday Films, sutradara 42 tahun ini diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengatur pemain dan semesta dalam film ini. Nyatanya, Hanung memang tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia langsung membawa latar cerita ke tempat yang paling diakrabinya, Yogyakarta. Dia bahkan memulainya dengan narasi yang sedikit romantis tentang kota kelahirannya itu, melalui mulut karakter utamanya, Tiana (Ayushita).
Hanung mengibaratkan Yogya sebagai "kota yang aromanya seperti kayu tua yang divernis". Serba tua, serba penuh kenangan, serba mampu memberikan inspirasi. Dengan semesta seperti ini, kita lalu dibawa pelan-pelan untuk mengenal Tiana, novelis yang kembali ke Yogyakarta untuk mencari inspirasi demi menulis novelnya. Dia memilih tinggal agak menyepi, di sebuah rumah tua dengan pintu kayu dan lantai keramik antik.
Rumah disewanya penuh, tapi ada satu bagian rumah yang tidak boleh dimasuki. "Itu tempat tinggalnya anak jenderal, yang punya rumah ini," kata pria santun yang mengantar Tiana berkeliling rumah.
Momen-momen dalam film lantas membuat Tiana harus berurusan dengan si anak jenderal. Seorang pria tunanetra yang sinis dan minim simpati, Harun (Reza Rahadian). Dari sini, mengalunlah sebuah drama tentang masa lalu yang belum termaafkan, tentang kenyamanan hidup dalam gelap dan bayang semu, serta cinta yang menyelusup tanpa bisa dikendalikan.
Sebagai sebuah film, The Gift menemukan sinar terangnya tiap kali Tiana dan Harun berinteraksi. Pada saat pertemuan pertama kali mereka dalam momen sarapan, hingga saat mereka menemukan kenyataan bahwa keduanya punya latar belakang masa lalu yang sama, membuat kita akan mudah bersimpati pada mereka.
Hanung, yang belakangan lebih asyik membuat film supermelodrama, kembali hadir dengan kemampuannya mengolah dialog-dialog sederhana tapi penuh kedalaman, seperti yang pernah dilakukan saat menggarap Brownies (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2005), hingga Perahu Kertas (2012). Dengan dialog yang tepat sasaran, Hanung dan penulis skenario Ifan Ismail secara diam-diam mampu menunjukkan kepada penonton karakter dan kepedihan-kepedihan hidup yang dialami Tiana dan Harun. Tak ada melodrama berlebihan seperti yang pernah dilakukan Hanung dalam Ayat-Ayat Cinta, atau Ifan dalam Ayat-Ayat Cinta 2.
Emosi yang terbawa hingga ke penonton justru dibangun dari dialog dan adegan sederhana tapi kuat. Keasyikan menonton interaksi keduanya juga dikuatkan dengan visual indah penuh metafora dan simbol. Misalnya saat Harun menyerahkan kunci gembok yang membatasi ruang mereka, sahabat Tiana yang bernama Bona, atau tiap kali Tiana memejamkan matanya untuk bisa merasakan pancaindranya bekerja.
Tentu saja, semua momen tersebut bisa bekerja dan berdampak maksimal pada penonton berkat akting Reza dan Ayushita. Reza sekali lagi membuktikan dia adalah aktor muda terbaik Indonesia hingga saat ini. Kemampuannya menerjemahkan karakter jauh dibandingkan aktor-aktor muda saat ini.
Sayangnya, keapikan cerita yang sudah dibangun sejak awal perlahan menghilang saat karakter Arie (Dion Wiyoko) datang. Pria yang sudah lama mengincar cinta Tiana ini membuat bangunan cerita sederhana nan kuat berubah menjadi melodrama yang nyaris klise. Memang tidak bisa dibilang bahwa kehadiran Arie membuat film ini menjadi buruk, tapi dia membuat The Gift gagal menyelesaikan kisahnya sebagai sebuah perenungan dan perjuangan keluar dari gelap dan masa lalu.
Sedari awal mempromosikan film ini, Hanung sudah mengatakan bahwa The Gift adalah film yang personal baginya. Oleh rumah produksi Seven Sunday Films, sutradara 42 tahun ini diberi kebebasan sepenuhnya untuk mengatur pemain dan semesta dalam film ini. Nyatanya, Hanung memang tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia langsung membawa latar cerita ke tempat yang paling diakrabinya, Yogyakarta. Dia bahkan memulainya dengan narasi yang sedikit romantis tentang kota kelahirannya itu, melalui mulut karakter utamanya, Tiana (Ayushita).
Hanung mengibaratkan Yogya sebagai "kota yang aromanya seperti kayu tua yang divernis". Serba tua, serba penuh kenangan, serba mampu memberikan inspirasi. Dengan semesta seperti ini, kita lalu dibawa pelan-pelan untuk mengenal Tiana, novelis yang kembali ke Yogyakarta untuk mencari inspirasi demi menulis novelnya. Dia memilih tinggal agak menyepi, di sebuah rumah tua dengan pintu kayu dan lantai keramik antik.
Rumah disewanya penuh, tapi ada satu bagian rumah yang tidak boleh dimasuki. "Itu tempat tinggalnya anak jenderal, yang punya rumah ini," kata pria santun yang mengantar Tiana berkeliling rumah.
Momen-momen dalam film lantas membuat Tiana harus berurusan dengan si anak jenderal. Seorang pria tunanetra yang sinis dan minim simpati, Harun (Reza Rahadian). Dari sini, mengalunlah sebuah drama tentang masa lalu yang belum termaafkan, tentang kenyamanan hidup dalam gelap dan bayang semu, serta cinta yang menyelusup tanpa bisa dikendalikan.
Sebagai sebuah film, The Gift menemukan sinar terangnya tiap kali Tiana dan Harun berinteraksi. Pada saat pertemuan pertama kali mereka dalam momen sarapan, hingga saat mereka menemukan kenyataan bahwa keduanya punya latar belakang masa lalu yang sama, membuat kita akan mudah bersimpati pada mereka.
Hanung, yang belakangan lebih asyik membuat film supermelodrama, kembali hadir dengan kemampuannya mengolah dialog-dialog sederhana tapi penuh kedalaman, seperti yang pernah dilakukan saat menggarap Brownies (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Jomblo (2005), hingga Perahu Kertas (2012). Dengan dialog yang tepat sasaran, Hanung dan penulis skenario Ifan Ismail secara diam-diam mampu menunjukkan kepada penonton karakter dan kepedihan-kepedihan hidup yang dialami Tiana dan Harun. Tak ada melodrama berlebihan seperti yang pernah dilakukan Hanung dalam Ayat-Ayat Cinta, atau Ifan dalam Ayat-Ayat Cinta 2.
Emosi yang terbawa hingga ke penonton justru dibangun dari dialog dan adegan sederhana tapi kuat. Keasyikan menonton interaksi keduanya juga dikuatkan dengan visual indah penuh metafora dan simbol. Misalnya saat Harun menyerahkan kunci gembok yang membatasi ruang mereka, sahabat Tiana yang bernama Bona, atau tiap kali Tiana memejamkan matanya untuk bisa merasakan pancaindranya bekerja.
Tentu saja, semua momen tersebut bisa bekerja dan berdampak maksimal pada penonton berkat akting Reza dan Ayushita. Reza sekali lagi membuktikan dia adalah aktor muda terbaik Indonesia hingga saat ini. Kemampuannya menerjemahkan karakter jauh dibandingkan aktor-aktor muda saat ini.
Sayangnya, keapikan cerita yang sudah dibangun sejak awal perlahan menghilang saat karakter Arie (Dion Wiyoko) datang. Pria yang sudah lama mengincar cinta Tiana ini membuat bangunan cerita sederhana nan kuat berubah menjadi melodrama yang nyaris klise. Memang tidak bisa dibilang bahwa kehadiran Arie membuat film ini menjadi buruk, tapi dia membuat The Gift gagal menyelesaikan kisahnya sebagai sebuah perenungan dan perjuangan keluar dari gelap dan masa lalu.
(amm)