Mengeksplorasi Destinasi Wisata Sejarah dan Budaya di Makassar
A
A
A
MAKASSAR - Indonesia memiliki potensi pariwisata yang sangat besar dengan keragaman budaya dan alamnya. Dari sekian banyak destinasi wisata di Indonesia, Makassar menjadi salah satu yang wajib dikunjungi.
Di Makassar, kita bisa mengunjungi sejumlah destinasi wisata dengan segala sejarah dan keunikannya. Pertama, saya bersama tim MNC Media dan MNC Travel akan mengajak Anda untuk mengunjungi sejumlah destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi di Makassar.
Kita akan mengunjungi beberapa destinasi wisata sejarah dan budaya yang ada di Makassar. Pertama, kita mengunjungi Makam Sultan Hasanuddin yang terletak di Katangka, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Memasuki kompleks Makam Sultan Hasanuddin, kita bisa melihat banyak pohon rindang dan beberapa makam Raja-Raja Gowa. Beruntung bagi saya bisa bertemu dengan salah satu pengelola makam Sultan Hasanuddin, Sahrul yang menceritakan sejarah tempat ini.
"Awal mula adanya makam ini diperkirakan tahun 1600an—1700an, karena yang terakhir dimakamkan di sini itu tahun 1700an. Jadi perkiraan tempat ini ada mulai tahun 1600—1700," kata dia.
Kemudian, selain makam Sultan Hasanuddin, ada makam ayah Sultan Hasanuddin, yaitu Sultan Malikussaid. Kemudian, ada ada juga makam kakek Sultan Hasanuddin yaitu Sultan Alaudin Raja Gowa ke-14. Sultan Alaudin juga salah satu Raja Gowa yang pertama masuk Islam.
"Ada juga paman dari Sultan Alaudin yaitu Sultan Abdullah Awwalul Islam. Jadi, Sultan Alaudin dan Abdullah itu yang pertama masuk Islam," ujar Sahrul.
Selanjutnya, ada juga 3 makam putra Sultan Hasanuddin, yakni Sultan Amir Hamzah (Raja Gowa ke-17), Sultan Ali (Raja Gowa ke-18), Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa ke-19) dan Raja Gowa ke-11 yakni Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data' Tu Nibatta.
Satu hal yang menjadi pertanyaan di benak saya ketika melihat Makam Sultan Hasanuddin adalah mengenai ukuran makam. Jika dilihat, makam Sultan Hasanuddin ukurannya lebih kecil dibanding yang lain. Saya pun menanyakannya kepada Sahrul kenapa bisa demikian.
"Kenapa makam Sultan Hasanuddin lebih sederhana? Makam Sultan Hasanuddin lebih kecil daripada yang lain, karena beliau wafat setelah tidak menjadi raja lagi atau sudah turun tahta," tutur Sahrul.
Hal menarik lagi yang bisa kita lihat, hampir semua makam memiliki bangunan yang unik. Makam-makam terlihat seperti bangunan tiimbunan batu, Sahrul mengatakan ini menganut punden berundak.
"Kalau kita bicara kebudayaan atau struktur serta arsitektur makam ini adalah menganut punden berundak yang masih dianut pada saat itu dengan paham Jawa Kuno susun timbun batu punden berundak," jelasnya.
Uniknya lagi, makam berbentuk punden berundak ini di bawahnya seperti lorong yang ternyata memiliki filosofi tersendiri. Menurut Sahrul, lorong tersebut dibuat karena mereka adalah seorang raja, sehingga kita harus tetap merunduk ketika berziarah.
“Ini mempunyai filosofi tersendiri kenapa dibuat seperti ada ruang masuk. Dulu mereka seorang raja, di masa lalu beliau seorang pejuang, untuk melihat langsung makamnya kita harus tetap tunduk. Jadi filosofinya penghargaan terhadap beliau masih ada sampai sekarang,” tutur Sahrul.
Selanjutnya, saya melihat sebuah makam yang ukuran lebih besar dari raja-raja lain yang dimakamkan di kompleks ini. Makamnya berbentuk sebuah kubah besar berwarna putih, dan ternyata merupakan makam Raja Gowa ke-11.
"Makam yang terbesar itu Raja Gowa ke-11, tetapi beliau besar makamnya karena ada 2 makam yang ada di dalam. Jadi, bentuk makam kubah seperti Raja Gowa ke-11 itu karena lebih dari 1 yang ada di dalam dan berdekatan, tidak ada aspek lain," ujar Sahrul.
Total makam sendiri di kompleks Makam Sultan Hasanuddin ini ada 25 makam, di antaranya 8 raja dan sisanya pengawal kerajaan. Untuk memasuki kompleks Makam Sultan Hasanuddin, pengunjung tidak dipungut biaya dan bisa mengambil foto dan berwisata religi.
Benteng Somba Opu
Perjalanan selanjutnya, saya akan mengajak Anda menyambangi Benteng Somba Opu. Bagi kalian yang baru mendengarnya, Benteng Somba Opu adalah sebuah benteng peninggalan Kesultanan Gowa. Benteng ini dibangun oleh Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna pada abad ke-16.
Jika ingin berkunjung, lokasi Benteng Somba Opu terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasinya masih cukup mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat atau roda dua.
Benteng Somba Opu terbagi oleh 2 kawasan, yakni barat dan timur. Pertama, saya akan mengajak ke kawasan timur. Memasuki kawasan Benteng Somba Opu bagian timur, kita dikelilingi oleh pepohonan rindang di samping kiri dan kanan. Namun, akses jalannya memang tidak mulus, terlebih sehabis hujan, banyak genangan air yang sedikit mengganggu kenyamanan perjalananan.
Sesampainya di Benteng Somba Opu bagian timur, saya langsung disuguhi puluhan Rumah Adat Kabupaten Kota Sulawesi Selatan. Setelah melihat-lihat, saya bertemu dengan salah satu penanggungjawab Benteng Somba Opu bagian timur, Rusli.
Sembari berbincang, Rusli menjelaskan bahwa di Benteng Somba Opu bagian timur terdapat 24 rumah adat kabupaten/kota Sulawesi Selatan.
"Di sini terdapat 24 rumah adat kabupaten/kota Sulawesi Selatan, ada dari Selayar, Pare-Pare, Maros, dan masih banyak lagi, semuanya ada," tuturnya.
Setiap rumah adat memiliki ciri khas masing-masing. Namun, ada arsitektur bangunan rumah adat Sulsel yang sebagian besar sama. "Semua bangunan rumahnya itu berbentuk rumah panggung. Sudah dari zaman dahulunya seperti itu, karena untuk mengantisipasi kalau ada banjir," kata Rusli.
Di sisi lain, satu hal yang patut diperhatikan adalah pelestarian bangunan rumah adat. Banyak rumah adat yang kurang terawat, seperti cat yang mengelupas, beberapa bagian rumah yang terlihat rusak dan kusam. "Dahulu masih bagus, jalanan akses ke sini juga tidak sejelek sekarang, dari tahun 2000an mulai seperti ini," tutur dia.
Untuk perawatan sendiri sebenarnya mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten setiap daerah. Sedangkan untuk akses jalan dan infrastruktur dikatakan Rusli itu mendapat bantuam dari pemerintah pusat. "Karena dahulunya ini mau dijadikan seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, miniatur rumah-rumah adat," kata dia.
Singgah di Museum Karaeng Pattingalloang
Berpindah ke bagian barat kawasan Benteng Somba Opu, di sini kita bisa singgah di Museum Karaeng Pattingalloang. Di halaman depan museum terdapat sebuah meriam hitam berdiri kokoh.
Masuk ke dalam Museum yang terdiri dari 2 lantai ini, saya ditemani oleh salah satu petugas museum, Masruddin. Di sini kita bisa melihat banyak peninggalan sejarah pemerintahan Belanda dan Kerajaan Gowa.
Masruddin menunjukkan sebuah material batu Benteng Somba Opu berbentuk jari-jari yang terbuat dari tanah liat. Lubangnya seperti permainan congklak, dibuatnya dengan ditekan (terra) hiasan yang menggambarkan bahwa masa lalu orang Makassar telah mengenal permainan tersebut. Peninggalan sejarah ini ditemukan pada saat eksavasi tahun 1989.
Kemudian ada material batu Benteng Somba Opu yang juga terbuat dari tanah liat, memiliki ragam hias ikan dan dikerjakan dengan teknik gores. Salah satu mata pencaharian orang Makassar dari dahulu sampai sekarang adalah nelayan untuk memenuhi kehidupannya. Material ini berfungsi sebagai dinding Benteng Somba Opu, ditemukan pada saat eksavasi tahun 1992.
Selanjutnya terdapat koleksi alat musik suling ponco dan lampe. Perbedaannya hanya di ukuran, ponco itu pendek sedangkan lampe lebih panjang.
"Semuanya koleksi museum ini ditemukan di wilayah Benteng Somba Opu saat penggalian dilakukan," ujar Masruddin.
Koleksi berikutnya ada uang kertas Republik Indonesia dengan nominal Rp1.000. Pada uang tersebut terdapat nominal angka tahun 1980 Bank Indonesia. Ada pula peninggalan uang logam hasil penggalian di kompleks Benteng Somba Opu.
Selain temuan uang kertas dan logam, terdapat pula peninggalan sejarah berupa senjata. Terdapat pelatuk senjata kuno yang ditemukan saat penggalian pada tahun 1992. Dilanjutkan dengan temuan puluru meriam VOC pada penggalian di tahun yang sama.
Jika ingin lanjut ke lantai 2, kita bisa menaiki tangga kayu. Di lantai 2 terdapat foto-foto raja-raja Kerajaan Gowa dan beberapa alat musik khas Sulawesi Selatan.
Ziarah ke Makam Pangeran Diponegoro
Perjalanan berikutnya saya mengunjungi kompleks Makam Pangeran Diponegoro di Jalan Pangeran Diponegoro, Melayu, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kali ini perjalanan saya bersama dengan rombongan Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan, Soni Sumarsono.
Sebelum memasuki komplekss makam, kita disambut oleh pintu gerbang yang terlihat seperti gapura tapi berukuran lebih kecil. Dari pintu gerbang ini kita sudah bisa melihat hamparan makam yang berjumlah 66.
Selanjutnya, rombongan disambut oleh generasi ke-5 Pangeran Diponegoro yang sekaligus juru kunci makam, R Hamzah Diponegoro. Sambil mendampingi Pj Gubernur Soni Sumarsono dan istrinya, Tri Rahayu, Hamzah menjelaskan tentang kompleks makam.
"Ini 2 makam yang ukurannya besar berdampingan adalah makam Pangeran Diponegoro dan istri beliau, RA Ratu Ratna Ningsih," kata dia.
Kemudian, Hamzah sedikit menceritakan kepada Soni Sumarsono dan Tri Rahayu bahwa awalnya tak ada masyarakat yang tahu bila Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Benteng Fort Rotterdam.
Setelah Pangeran Diponegoro meninggal dunia, baru masyarakat mengetahui bila ada Pangeran Diponegoro yang hidup dalam pengasingan selama 21 tahun di Makassar. "Kemudian anak cucunya menikah dengan orang Bugis, setelahnya tinggal di Makassar," ujar dia.
Selanjutnya, selain ada makam Pangeran Diponegoro dan Ratu Ratna Ningsih, kita juga bisa melihat 25 makam dengan ukuran sedang dan 39 makam yang ukuran kecil. Emam di antaranya merupakan makam anak dari Pangeran Diponegoro, sisanya adalah 30 makam cucu, 19 makam cicit dan 9 makam pengikut Pangeran Diponegoro.
Setelah mendengarkan cerita Hamzah, Tri Rahayu menyempatkan diri memberikan air kembang ke makam Pangeran Diponegoro dan Ratu Ratna Ningsih beserta anak-anaknya.
Setelahnya rombongan Penjabat Gubernur Soni Sumarsono menyempatkan diri untuk beribadah Salat Dzuhur di Musala kompleks Makam Pangeran Diponegoro. Kemudian ramah tamah di pendopo yang berada di samping musola.
Fort Roterdam
Destinasi wisata selanjutnya yang patut dikunjungi di Makassar adalah Fort Rotterdam. Lokasinya berada di pinggir Pantai Losari sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bangunannya mungkin sudah tidak terlihat seperti sebuah benteng, namun ada beberapa bangunan di kompleks Fort Rotterdam.
Jika dibaca dari namanya, mungkin kita mengira Fort Rotterdam merupakan bangunan peninggalan Belanda. Namun, Jane, pemandu wisata yang menemani saya berkeliling di Fort Rotterdam, meluruskan anggapan tersebut.
"Ini merupakan situs sejarah peninggalan Kerajaan Gowa, karena sering banyak yang rancu karena namanya Fort Rotterdam dikiranya peninggalan Belanda, padahal bangunannya dibangun oleh Kerajaan Gowa," papar dia.
Setelah mendengar penjelasan Jane, saya diajak masuk ke Museum La Galigo yang berada di kompleks Fort Rotterdam. Museum ini dibangun pada tahun 1938, awalnya bernama Celebes Museum. Namun, para cendikiawan pada tahun 1966 menggant namanya menjadi Museum La Galigo dengan dua pertimbangan.
"Secara mitos kita punya kisah klasik sastra terpanjang Mahabrata, itu kisah La Galigo serta asal usul suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan," tutur Jane.
Pada zaman Hindia-Belanda, Museum La Galigo merupakan gudang senjata dan penyimpanan rempah-rempah, lalu sekarang menjadi museum. Kini, museum telah direvitalisasi agar lebih menarik dikunjungi.
"Ini adalah museum umum, di sini kita menampilkan sejarah dan budaya Sulawesi Selatan. Museum ini kami revitalisasi agar lebih menarik bagi pengunjung, di antaranya ada 6 ruang pamer bertema," papar Jane.
Pertama, Jane mengajak melihat Ruang Lintas Peradaban dan Sejarah. Di sini terdapat koleksi peralatan-peralatan manusia purba prasejarah. Ada batu-batuan yang digunakan manusia sebelum tahun 80 Masehi. Kemudian, ada peralatan-peralatan zaman mesolitikum masih pra-aksara. "Mereka belum mengenal tulisan, jadi disimbolkan dengan tanda-tanda lukisan di goa-goa," ujar Jane.
Selanjutnya ada zaman batu baru, di mana manusia mulai mengenal tulisan, yakni pada tahun 20 Sebelum Masehi. Manusia pada saat itu juga sudah mulai mengenal cara berpakaian dari bahan kulit kayu dan batu ika.
Kemudian masih banyak koleksi-koleksi yang dipamerkan di ruang pamer lain di Museum La Galigo. Misalnya peninggalan dari Kerajaan Bone yaitu replika Sembangeng Pulaweng yang artinya selempang emas. Selempang emas ini terbuat dari perak sepuh emas berbentuk rantai. Kedua ujungnya terdapat bentuk medali bertuliskan bahasa Belanda sebagai tanda penghormatan kerajaan Belanda kepada Arung Palakka.
Kemudian ada replika La Tea Riduni atau alameng, sarung dan hulunya berlapis emas. Setiap raja yang mangkat dikebumikan bersama alameng ini. Selalu muncul di atas makam dan bercahaya terang benderang, hal inilah sehingga disebut La Tea Riduni karena tidak berkenan untuk dikebumikan.
Selanjutnya ada replika Keris La Makkawa yang disebut juga Tappi Tatarapeng. Keris ini sangat berbisa sehingga sekali tergores dalam sekejap akan meninggal atau dalam bahasa bugis disebut Makkawa. Pada masa kerajaan keris ini dipergunakan oleh Arung Palakka.
Lalu, ada koleksi senjata tajam suku Bugis. Orang Bugis Makassar memiliki semboyan bukan seorang Bugis kalau tidak memiliki badik dan bukan laki-laki kalau tidak memiliki badik. Nah, di sini ada koleksi senjata tajam seperti badik, keris, tombak dan parang yang merupakan hasil Panre bessi (Bugis) atau Pade'de bassi (Makassar), bagi suku Toraja pembuat parang disebut To'Mantappa Labok.
Pandai besi adalah orang yang memiliki ilmu dan kekuatan gaib. Tidak hanya memiliki kemampuan menempa besi menjadi senjata tajam, tetapi apa yang tampak pada sebuah senjata tajam seperti tanda-tanda khusus, urat-urat besi dan pamor merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tertentu.
Bagi orang Bugis badik bentuknya kecil dari kawaii biasa, besi pipih berwarna hitam dan dibuat dari bahan pilihan dan memiliki pamor. Sedangkan pada suku Makassar dikenal dengan Badik Taeng dengan ciri khas kale (bilah) pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa (ujung) runcing.
Kemudian, parang atau la'bo Bagi suku Toraja merupakan senjata tajam khas yang dipergunakan untuk menjaga diri dan dipakai sehari-hari untuk memotong kayu dan lain-lain. Sedangkan, tombak bagi suku Bugis Makassar berfungsi sebagai benda kebesaran kerajaan, digunakan pula untuk berburu hewan.
Masih banyak lagi yang bisa kita temui di Museum La Galigo, seperti miniatur rumah adat Suku Toraja, pakaian-pakaian adat Sulawesi Selatan serta miniatur kapal pinisi.
Sementara itu, pihak MNC Travel yang bersama Okezone mengeksplorasi sejumlah destinasi wisata menilai Makassar memiliki potensi wisata yang cukup besar. Bahkan, Makassar juga bisa berperan besar turut menyumbang kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) bagi Indonesia.
"Banyak sekali potensi wisata budaya dan sejarah seperti Makam Hassanudin, Benteng Somba Opu, Makam Pangeran Diponegoro, dan Fort Rotterdam. Indonesia memiliki potensi wisata yang besar, tidak menutup kemungkinan mencapai target 20 juta kunjungan wisman di tahun 2019," beber Head of Marketing MNC Travel, Diana Ring.
Di Makassar, kita bisa mengunjungi sejumlah destinasi wisata dengan segala sejarah dan keunikannya. Pertama, saya bersama tim MNC Media dan MNC Travel akan mengajak Anda untuk mengunjungi sejumlah destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi di Makassar.
Kita akan mengunjungi beberapa destinasi wisata sejarah dan budaya yang ada di Makassar. Pertama, kita mengunjungi Makam Sultan Hasanuddin yang terletak di Katangka, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Memasuki kompleks Makam Sultan Hasanuddin, kita bisa melihat banyak pohon rindang dan beberapa makam Raja-Raja Gowa. Beruntung bagi saya bisa bertemu dengan salah satu pengelola makam Sultan Hasanuddin, Sahrul yang menceritakan sejarah tempat ini.
"Awal mula adanya makam ini diperkirakan tahun 1600an—1700an, karena yang terakhir dimakamkan di sini itu tahun 1700an. Jadi perkiraan tempat ini ada mulai tahun 1600—1700," kata dia.
Kemudian, selain makam Sultan Hasanuddin, ada makam ayah Sultan Hasanuddin, yaitu Sultan Malikussaid. Kemudian, ada ada juga makam kakek Sultan Hasanuddin yaitu Sultan Alaudin Raja Gowa ke-14. Sultan Alaudin juga salah satu Raja Gowa yang pertama masuk Islam.
"Ada juga paman dari Sultan Alaudin yaitu Sultan Abdullah Awwalul Islam. Jadi, Sultan Alaudin dan Abdullah itu yang pertama masuk Islam," ujar Sahrul.
Selanjutnya, ada juga 3 makam putra Sultan Hasanuddin, yakni Sultan Amir Hamzah (Raja Gowa ke-17), Sultan Ali (Raja Gowa ke-18), Sultan Abdul Jalil (Raja Gowa ke-19) dan Raja Gowa ke-11 yakni Taji Barani Daeng Marompa Karaeng Data' Tu Nibatta.
Satu hal yang menjadi pertanyaan di benak saya ketika melihat Makam Sultan Hasanuddin adalah mengenai ukuran makam. Jika dilihat, makam Sultan Hasanuddin ukurannya lebih kecil dibanding yang lain. Saya pun menanyakannya kepada Sahrul kenapa bisa demikian.
"Kenapa makam Sultan Hasanuddin lebih sederhana? Makam Sultan Hasanuddin lebih kecil daripada yang lain, karena beliau wafat setelah tidak menjadi raja lagi atau sudah turun tahta," tutur Sahrul.
Hal menarik lagi yang bisa kita lihat, hampir semua makam memiliki bangunan yang unik. Makam-makam terlihat seperti bangunan tiimbunan batu, Sahrul mengatakan ini menganut punden berundak.
"Kalau kita bicara kebudayaan atau struktur serta arsitektur makam ini adalah menganut punden berundak yang masih dianut pada saat itu dengan paham Jawa Kuno susun timbun batu punden berundak," jelasnya.
Uniknya lagi, makam berbentuk punden berundak ini di bawahnya seperti lorong yang ternyata memiliki filosofi tersendiri. Menurut Sahrul, lorong tersebut dibuat karena mereka adalah seorang raja, sehingga kita harus tetap merunduk ketika berziarah.
“Ini mempunyai filosofi tersendiri kenapa dibuat seperti ada ruang masuk. Dulu mereka seorang raja, di masa lalu beliau seorang pejuang, untuk melihat langsung makamnya kita harus tetap tunduk. Jadi filosofinya penghargaan terhadap beliau masih ada sampai sekarang,” tutur Sahrul.
Selanjutnya, saya melihat sebuah makam yang ukuran lebih besar dari raja-raja lain yang dimakamkan di kompleks ini. Makamnya berbentuk sebuah kubah besar berwarna putih, dan ternyata merupakan makam Raja Gowa ke-11.
"Makam yang terbesar itu Raja Gowa ke-11, tetapi beliau besar makamnya karena ada 2 makam yang ada di dalam. Jadi, bentuk makam kubah seperti Raja Gowa ke-11 itu karena lebih dari 1 yang ada di dalam dan berdekatan, tidak ada aspek lain," ujar Sahrul.
Total makam sendiri di kompleks Makam Sultan Hasanuddin ini ada 25 makam, di antaranya 8 raja dan sisanya pengawal kerajaan. Untuk memasuki kompleks Makam Sultan Hasanuddin, pengunjung tidak dipungut biaya dan bisa mengambil foto dan berwisata religi.
Benteng Somba Opu
Perjalanan selanjutnya, saya akan mengajak Anda menyambangi Benteng Somba Opu. Bagi kalian yang baru mendengarnya, Benteng Somba Opu adalah sebuah benteng peninggalan Kesultanan Gowa. Benteng ini dibangun oleh Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna pada abad ke-16.
Jika ingin berkunjung, lokasi Benteng Somba Opu terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasinya masih cukup mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat atau roda dua.
Benteng Somba Opu terbagi oleh 2 kawasan, yakni barat dan timur. Pertama, saya akan mengajak ke kawasan timur. Memasuki kawasan Benteng Somba Opu bagian timur, kita dikelilingi oleh pepohonan rindang di samping kiri dan kanan. Namun, akses jalannya memang tidak mulus, terlebih sehabis hujan, banyak genangan air yang sedikit mengganggu kenyamanan perjalananan.
Sesampainya di Benteng Somba Opu bagian timur, saya langsung disuguhi puluhan Rumah Adat Kabupaten Kota Sulawesi Selatan. Setelah melihat-lihat, saya bertemu dengan salah satu penanggungjawab Benteng Somba Opu bagian timur, Rusli.
Sembari berbincang, Rusli menjelaskan bahwa di Benteng Somba Opu bagian timur terdapat 24 rumah adat kabupaten/kota Sulawesi Selatan.
"Di sini terdapat 24 rumah adat kabupaten/kota Sulawesi Selatan, ada dari Selayar, Pare-Pare, Maros, dan masih banyak lagi, semuanya ada," tuturnya.
Setiap rumah adat memiliki ciri khas masing-masing. Namun, ada arsitektur bangunan rumah adat Sulsel yang sebagian besar sama. "Semua bangunan rumahnya itu berbentuk rumah panggung. Sudah dari zaman dahulunya seperti itu, karena untuk mengantisipasi kalau ada banjir," kata Rusli.
Di sisi lain, satu hal yang patut diperhatikan adalah pelestarian bangunan rumah adat. Banyak rumah adat yang kurang terawat, seperti cat yang mengelupas, beberapa bagian rumah yang terlihat rusak dan kusam. "Dahulu masih bagus, jalanan akses ke sini juga tidak sejelek sekarang, dari tahun 2000an mulai seperti ini," tutur dia.
Untuk perawatan sendiri sebenarnya mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten setiap daerah. Sedangkan untuk akses jalan dan infrastruktur dikatakan Rusli itu mendapat bantuam dari pemerintah pusat. "Karena dahulunya ini mau dijadikan seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, miniatur rumah-rumah adat," kata dia.
Singgah di Museum Karaeng Pattingalloang
Berpindah ke bagian barat kawasan Benteng Somba Opu, di sini kita bisa singgah di Museum Karaeng Pattingalloang. Di halaman depan museum terdapat sebuah meriam hitam berdiri kokoh.
Masuk ke dalam Museum yang terdiri dari 2 lantai ini, saya ditemani oleh salah satu petugas museum, Masruddin. Di sini kita bisa melihat banyak peninggalan sejarah pemerintahan Belanda dan Kerajaan Gowa.
Masruddin menunjukkan sebuah material batu Benteng Somba Opu berbentuk jari-jari yang terbuat dari tanah liat. Lubangnya seperti permainan congklak, dibuatnya dengan ditekan (terra) hiasan yang menggambarkan bahwa masa lalu orang Makassar telah mengenal permainan tersebut. Peninggalan sejarah ini ditemukan pada saat eksavasi tahun 1989.
Kemudian ada material batu Benteng Somba Opu yang juga terbuat dari tanah liat, memiliki ragam hias ikan dan dikerjakan dengan teknik gores. Salah satu mata pencaharian orang Makassar dari dahulu sampai sekarang adalah nelayan untuk memenuhi kehidupannya. Material ini berfungsi sebagai dinding Benteng Somba Opu, ditemukan pada saat eksavasi tahun 1992.
Selanjutnya terdapat koleksi alat musik suling ponco dan lampe. Perbedaannya hanya di ukuran, ponco itu pendek sedangkan lampe lebih panjang.
"Semuanya koleksi museum ini ditemukan di wilayah Benteng Somba Opu saat penggalian dilakukan," ujar Masruddin.
Koleksi berikutnya ada uang kertas Republik Indonesia dengan nominal Rp1.000. Pada uang tersebut terdapat nominal angka tahun 1980 Bank Indonesia. Ada pula peninggalan uang logam hasil penggalian di kompleks Benteng Somba Opu.
Selain temuan uang kertas dan logam, terdapat pula peninggalan sejarah berupa senjata. Terdapat pelatuk senjata kuno yang ditemukan saat penggalian pada tahun 1992. Dilanjutkan dengan temuan puluru meriam VOC pada penggalian di tahun yang sama.
Jika ingin lanjut ke lantai 2, kita bisa menaiki tangga kayu. Di lantai 2 terdapat foto-foto raja-raja Kerajaan Gowa dan beberapa alat musik khas Sulawesi Selatan.
Ziarah ke Makam Pangeran Diponegoro
Perjalanan berikutnya saya mengunjungi kompleks Makam Pangeran Diponegoro di Jalan Pangeran Diponegoro, Melayu, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kali ini perjalanan saya bersama dengan rombongan Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan, Soni Sumarsono.
Sebelum memasuki komplekss makam, kita disambut oleh pintu gerbang yang terlihat seperti gapura tapi berukuran lebih kecil. Dari pintu gerbang ini kita sudah bisa melihat hamparan makam yang berjumlah 66.
Selanjutnya, rombongan disambut oleh generasi ke-5 Pangeran Diponegoro yang sekaligus juru kunci makam, R Hamzah Diponegoro. Sambil mendampingi Pj Gubernur Soni Sumarsono dan istrinya, Tri Rahayu, Hamzah menjelaskan tentang kompleks makam.
"Ini 2 makam yang ukurannya besar berdampingan adalah makam Pangeran Diponegoro dan istri beliau, RA Ratu Ratna Ningsih," kata dia.
Kemudian, Hamzah sedikit menceritakan kepada Soni Sumarsono dan Tri Rahayu bahwa awalnya tak ada masyarakat yang tahu bila Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Benteng Fort Rotterdam.
Setelah Pangeran Diponegoro meninggal dunia, baru masyarakat mengetahui bila ada Pangeran Diponegoro yang hidup dalam pengasingan selama 21 tahun di Makassar. "Kemudian anak cucunya menikah dengan orang Bugis, setelahnya tinggal di Makassar," ujar dia.
Selanjutnya, selain ada makam Pangeran Diponegoro dan Ratu Ratna Ningsih, kita juga bisa melihat 25 makam dengan ukuran sedang dan 39 makam yang ukuran kecil. Emam di antaranya merupakan makam anak dari Pangeran Diponegoro, sisanya adalah 30 makam cucu, 19 makam cicit dan 9 makam pengikut Pangeran Diponegoro.
Setelah mendengarkan cerita Hamzah, Tri Rahayu menyempatkan diri memberikan air kembang ke makam Pangeran Diponegoro dan Ratu Ratna Ningsih beserta anak-anaknya.
Setelahnya rombongan Penjabat Gubernur Soni Sumarsono menyempatkan diri untuk beribadah Salat Dzuhur di Musala kompleks Makam Pangeran Diponegoro. Kemudian ramah tamah di pendopo yang berada di samping musola.
Fort Roterdam
Destinasi wisata selanjutnya yang patut dikunjungi di Makassar adalah Fort Rotterdam. Lokasinya berada di pinggir Pantai Losari sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bangunannya mungkin sudah tidak terlihat seperti sebuah benteng, namun ada beberapa bangunan di kompleks Fort Rotterdam.
Jika dibaca dari namanya, mungkin kita mengira Fort Rotterdam merupakan bangunan peninggalan Belanda. Namun, Jane, pemandu wisata yang menemani saya berkeliling di Fort Rotterdam, meluruskan anggapan tersebut.
"Ini merupakan situs sejarah peninggalan Kerajaan Gowa, karena sering banyak yang rancu karena namanya Fort Rotterdam dikiranya peninggalan Belanda, padahal bangunannya dibangun oleh Kerajaan Gowa," papar dia.
Setelah mendengar penjelasan Jane, saya diajak masuk ke Museum La Galigo yang berada di kompleks Fort Rotterdam. Museum ini dibangun pada tahun 1938, awalnya bernama Celebes Museum. Namun, para cendikiawan pada tahun 1966 menggant namanya menjadi Museum La Galigo dengan dua pertimbangan.
"Secara mitos kita punya kisah klasik sastra terpanjang Mahabrata, itu kisah La Galigo serta asal usul suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan," tutur Jane.
Pada zaman Hindia-Belanda, Museum La Galigo merupakan gudang senjata dan penyimpanan rempah-rempah, lalu sekarang menjadi museum. Kini, museum telah direvitalisasi agar lebih menarik dikunjungi.
"Ini adalah museum umum, di sini kita menampilkan sejarah dan budaya Sulawesi Selatan. Museum ini kami revitalisasi agar lebih menarik bagi pengunjung, di antaranya ada 6 ruang pamer bertema," papar Jane.
Pertama, Jane mengajak melihat Ruang Lintas Peradaban dan Sejarah. Di sini terdapat koleksi peralatan-peralatan manusia purba prasejarah. Ada batu-batuan yang digunakan manusia sebelum tahun 80 Masehi. Kemudian, ada peralatan-peralatan zaman mesolitikum masih pra-aksara. "Mereka belum mengenal tulisan, jadi disimbolkan dengan tanda-tanda lukisan di goa-goa," ujar Jane.
Selanjutnya ada zaman batu baru, di mana manusia mulai mengenal tulisan, yakni pada tahun 20 Sebelum Masehi. Manusia pada saat itu juga sudah mulai mengenal cara berpakaian dari bahan kulit kayu dan batu ika.
Kemudian masih banyak koleksi-koleksi yang dipamerkan di ruang pamer lain di Museum La Galigo. Misalnya peninggalan dari Kerajaan Bone yaitu replika Sembangeng Pulaweng yang artinya selempang emas. Selempang emas ini terbuat dari perak sepuh emas berbentuk rantai. Kedua ujungnya terdapat bentuk medali bertuliskan bahasa Belanda sebagai tanda penghormatan kerajaan Belanda kepada Arung Palakka.
Kemudian ada replika La Tea Riduni atau alameng, sarung dan hulunya berlapis emas. Setiap raja yang mangkat dikebumikan bersama alameng ini. Selalu muncul di atas makam dan bercahaya terang benderang, hal inilah sehingga disebut La Tea Riduni karena tidak berkenan untuk dikebumikan.
Selanjutnya ada replika Keris La Makkawa yang disebut juga Tappi Tatarapeng. Keris ini sangat berbisa sehingga sekali tergores dalam sekejap akan meninggal atau dalam bahasa bugis disebut Makkawa. Pada masa kerajaan keris ini dipergunakan oleh Arung Palakka.
Lalu, ada koleksi senjata tajam suku Bugis. Orang Bugis Makassar memiliki semboyan bukan seorang Bugis kalau tidak memiliki badik dan bukan laki-laki kalau tidak memiliki badik. Nah, di sini ada koleksi senjata tajam seperti badik, keris, tombak dan parang yang merupakan hasil Panre bessi (Bugis) atau Pade'de bassi (Makassar), bagi suku Toraja pembuat parang disebut To'Mantappa Labok.
Pandai besi adalah orang yang memiliki ilmu dan kekuatan gaib. Tidak hanya memiliki kemampuan menempa besi menjadi senjata tajam, tetapi apa yang tampak pada sebuah senjata tajam seperti tanda-tanda khusus, urat-urat besi dan pamor merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tertentu.
Bagi orang Bugis badik bentuknya kecil dari kawaii biasa, besi pipih berwarna hitam dan dibuat dari bahan pilihan dan memiliki pamor. Sedangkan pada suku Makassar dikenal dengan Badik Taeng dengan ciri khas kale (bilah) pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa (ujung) runcing.
Kemudian, parang atau la'bo Bagi suku Toraja merupakan senjata tajam khas yang dipergunakan untuk menjaga diri dan dipakai sehari-hari untuk memotong kayu dan lain-lain. Sedangkan, tombak bagi suku Bugis Makassar berfungsi sebagai benda kebesaran kerajaan, digunakan pula untuk berburu hewan.
Masih banyak lagi yang bisa kita temui di Museum La Galigo, seperti miniatur rumah adat Suku Toraja, pakaian-pakaian adat Sulawesi Selatan serta miniatur kapal pinisi.
Sementara itu, pihak MNC Travel yang bersama Okezone mengeksplorasi sejumlah destinasi wisata menilai Makassar memiliki potensi wisata yang cukup besar. Bahkan, Makassar juga bisa berperan besar turut menyumbang kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) bagi Indonesia.
"Banyak sekali potensi wisata budaya dan sejarah seperti Makam Hassanudin, Benteng Somba Opu, Makam Pangeran Diponegoro, dan Fort Rotterdam. Indonesia memiliki potensi wisata yang besar, tidak menutup kemungkinan mencapai target 20 juta kunjungan wisman di tahun 2019," beber Head of Marketing MNC Travel, Diana Ring.
(alv)