Menyusuri Eksotisme Toraja dari Upacara Rambu Tuka dan Kuburan Tebing Ke'Te Kesu
A
A
A
TANA TORAJA - Tana Toraja dikenal dengan adat istiadat dan kehidupan tradisional masyarakatnya. Karena adat dan budaya inilah Toraja dikenal sebagai salah satu destinasi wisata yang patut dikunjungi di Sulawesi Selatan.
Salah satu destinasi yang paling sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara adalah Desa Ke'Te Kesu. Desa Ke'Te Kesu merupakan kawasan cagar budaya yang terletak 4 km di bagian tenggara Rantepao. Wisatawan ramai berkunjung biasanya ketika dilaksanakan upacara adat Toraja, di antaranya pemakaman adat atau Rambu Solo dan upacara memasuki rumah adat baru (Rambu Tuka).
Kali ini saya berkesempatan mengunjungi Desa Ke'Te Kesu saat dilaksanakan upacara memasuki rumah adat baru atau Rambu Tuka. Sebanyak 7 Tongkonan (rumah adat Tana Toraja) yang ada di Ke'te Kesu akan ditahbiskan atau disebut Mangrara. Ketujuh Tongkonan tersebut adalah Tongkonan Kesu, Tongkonan To'Kaluku, Tongkonan To' Sendana, Tongkonan Bamba, Tongkonan Tonga, Tongkonan Sepang dan Tongkonan Rura Lompo.
Acaranya dilaksanakan dari pagi hari waktu setempat. Jalan saya dari hotel menuju Ke'Te Kesu sudah padat masyarakat yang berbondong-bondong ingin menghadiri Mangrara. Ribuan kerabat dan keluarga dari 7 Tongkonan tersebut sudah memadati lokasi Ke'Te Kesu.
Di depan gerbang Ke'Te Kesu sudah banyak babi yang akan dipotong saat ritual adat. Babi-babi yang akan menjadi persembahan dimasukkan dalam sejenis keranda bambu yang sudah dipenuhi hiasan. Kemudian, berjalanan menuju Tongkonan, di samping kiri dan kanan sudah ramai ribuan orang yang menyaksikan ritual penyembelihan babi dari bangunan seperti pondok.
Satu per satu babi yang dipersembahkan diarak oleh puluhan orang yang memanggul keranda dengan seruan bahasa Toraja menuju halaman Tongkonan. Setelahnya babi dilepaskan dari keranda untuk disembelih.
Proses penyembelihan dilakukan dengan memanggang babi dengan alat mirip alat steam di atas kompor gas ukuran kecil. Api disemprotkan ke hampir seluruh badan babi, minimal ada 2 orang melakukan proses ini dengan 1 orang memanggang, 1 orang lagi membersihkan bulu babi menggunakan sebilah bambu yang sudah dibelah. Setelah diperkirakan bulu telah rontok, barulah proses penyembelihan babi dimulai.
Setelah menyaksikan prosesi adat, saya mendapat penjelasan mengenai ritual yang dilaksanakan dari perwakilan keluarga 7 Tongkonan, Siwambe' Tingting Kareba Sarungallo. Dia mengatakan bahwa ini merupakan upcara yang dilakukan turun-temurun yang biasanya dilaksanakan satu generasi.
"Jadi kebetulan ini 28 tahun baru dilaksanakan lagi supaya anak-anak dan cucu kami bisa saling berkenalan. Semua rumpun keluarga terwakili di sini, jadi dari 56 generasi yang lalu sampai ke anak saya, " ujarnya di Ke'Te Kesu kepada tim MNC Media.
Untuk hari Jumat, 29 Juni 2018, dikatakan Siwambe' Tingting Kareba Sarungallo adalah acara Ma' Papa, semua rumpun keluarga harus hadir, esok hari dilakukan penutupan atau Ma'Bubung. Dalam acara Ma'Papa sendiri terdapat penyembelihan hewan babi atau kerbau yang menurut Siwambe' Tingting Kareba Sarungallo memiliki makna tersendiri.
"Hari ini hanya untuk pemotogan hewan, dalam artian babi dan kerbau diberikan kepada mereka yang mempunyai jabatan dan masyarakat. Kalau jumlah babi itu tergantung dari ekonomi keluarga, kira-kira hari ini ada sekitar 600 ekor. Sementara, kalau Anda melihat dalam membangunan Tongkonan itu kira-kira 700 juta untuk 1 Tongkonan, tapi biaya upacaranya lebih mahal," papar dia.
Upacara Rambu Tuka juga dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintah setempat, salah satu Bupati Toraja Utara, Kalatiku Paembonan. Dia mengatakan bahwa upacara adat Mangrara adalah upacara puncak peresmian Tongkonan yang dalam tradisi orang Toraja sangat dihormati dan disakralkan karena jarang terjadi.
"Hanya setiap sebuah rumah Tongkonan selesai dibuat dan dikunjungi seluruh rumpun keluarga datang dari dalam dan luar negeri untuk menyatakan kegembiraan sekaligus upaya mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam keluarga Toraja," kata Kalatiku Paembonan.
Karena itulah, menurut Kalatiku Paemboan, upacara yang biasa disebut Rambu Tuka ini selalu mendapat tempat bagian terpenting dalam kebudayaan Toraja dan dipelihara. Bagi Kalatiku Paemboan, pemerintah berkepentingan memeliharanya, karena Toraja Utara sebagai daerah wisata akan benar-benar lengkap sebagai sebuah daerah tujuan wisata apabila upacara-upacara adat seperti Mangrara tetap dipelihara.
Oleh sebab itu, Kalatiku Paembonan mengatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Toraja Utara mengkondisikan sedemikian rupa, sehingga acara seperti Rambu Tuka berlangsung dengan sangat baik. Hal ini tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membawa kesan baik bagi seluruh keluarga dan wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke daerah Toraja Utara.
Tongkonan Ke'Te Kesu adalah salah satu idola bagi objek wisata Toraja yang terlengkap. Karena, sebuah Tongkonan itu harus ada Tongkonan, lumbung, sawah, kebun, hutan, dan ada tempat kuburannya.
"Karena itu, Toraja Utara selalu memiliki kebanggaan memiliki Ke'Te di sini untuk selalu dipresentasikan kepada siapapun yang mencintai daerah-daerah tujuan wisata seperti ini," ucap Kalatiku Paembonan.
Karena itu, Pemeritah Kabupaten Toraja Utara telah mengupayakan promosi dan mengkomunikasikan kepada berbagai pihak mengenai acara-acara upacara adat yang akan berlangsung di Toraja. "Jadi, jajaran kami dari Dinas pariwisata dan Kominfo itu sudah mengkomunikasi kepada siapapun juga, baik melalui website maupun media sosial dan juga situs resmi mengenai acara upacara-upacara adat yang akan berlangsung," tutur Kalatiku Paembonan.
Upacara adat di Toraja memang menjadi salah satu daya tarik wisata yang dapat menyedot kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan Toraja pada khususnya. Terlebih, Pemerintah Indonesia memiliki target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2019.
Dalam hal tersebut, Kalatiku Paembonan optimistis Toraja Utara mampu turut menyumbangkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. "Pemerintah Indonesia telah menargetkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2019. Kami bertekad mengambil 10 persen untuk berpartisipasi dalam hal itu," paparnya.
Sementara itu, MNC Travel yang menemani tim MNC Media berkunjung ke Ke'Te Kesu sangat mengaggumi kekayaan adat istiadat masyarakat Toraja. Begitu pun dengan sambutan masyarakat setempat kepada para pendatang yang begitu hangat.
"Masih sangat kental sekali adat istiadat masyarakat Toraja, bahkan untuk pembangunan rumah punya tata cara sendiri untuk memenuhi syarat adat mereka. Kami sangat senang sekali disambut bupati Torut, penjabat pemerintah setempat dan masyarakat dengan hangat," tutur Head of Marketing MNC Travel, Diana Ring.
Kuburan Tebing Toraja Ke'Te Kesu
Mengunjungi Ke'Te Kesu di Toraja Utara kurang lengkap jika tidak menyambangi kuburan batu. Terkesan horor memang ketika pertama kali mendengarnya, tapi jika sudah melihatnya sendiri, pasti akan takjub.
Lokasinya di belakang Ke'Te Kesu Rantepao, kira-kira jaraknya 100 meter dari Tongkonan tempat upacara yang saya datangi tadi, kita bisa menyusuri jalanan yang disiapkan untuk menuju area pemakaman. Saat saya berkunjung, gerimis namun terdapat sinar matahari menemani para turis yang hendak melihat pemakaman
Tidak lama, pandangan mata kita langsung tertuju pada sebuah bukit yang menjulang megah. Terdapat anak tangga yang mengantar kita menuju ke atas. Tapi, sebelum menaiki anak tangga, pandangan saya tertuju kepada sebuah bangunan yang mirip seperti rumah kayu.
Ternyata rumah tersebut digunakan sebagai tempat pemakaman yang orang Toraja bilang itu Patane. Bagian depannya terdapat ukiran batu cukup besar yang menyerupai matahari terbit. Tapi, kita tidak bisa masuk ke dalam Patane tersebut, karena kondisinya memang tertutup. Kita hanya bisa melihatnya dari luarnya yang megah.
Dikatakan oleh turis lokal yang merupakan orang asli Toraja, Levi, Patane memang tidak boleh sembarangan dibuka. Ada waktu-waktu khusus Patane boleh dibuka katanya. "Patane biasanya hanya dibuka waktu ada jenazah mau dikubur, kemudian harus setelah panen," ucapnya.
Meninggalkan bangunan Patane, saya menaiki anak tangga dengan cukup hati-hati, karena gerimis membuatnya sedikit licin untuk ditapaki. Baru awal menaiki anak tangga, kita langsung disuguhkan dengan beberapa peti yang diletakkan menggantung pada tebing. Beberapa peti bentuknya menyerupai perahu dengan sejumlah tengkorak di atasnya.
Pemandangan yang membuat mata terpana bagaimana betapa kentalnya adat istiadat dan tradisi dari leluhur yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Toraja. Terus menaiki anak tangga. kita masih belum dibuat berhenti melihat pemandangan sekeliling. Puluhan tulang belulang berserakan beserta tengkoraknya di peti yang sudah hancur.
Tulang belulang dan tengkorak memang menjadi pemandangan yang umum saat kita menaiki anak tangga. Hampir di setiap bebatuan tebing terlihat tulang belulang dan tengkorak berserakan dibiarkan begitu saja.
Lanjut menaiki anak tangga, saya berhenti karena terkejut melihat ada sebuah lorong atau goa yang tertutup dengan teralis besi. Saya terkejut bukan kepalang karena di dalamnya terdapat beberapa patung atau boneka yang menyerupai manusia. Patung-patung menyerupai manusia ini juga memakai baju. Paling mencolok adalah patung seorang nenek karena dia memakai baju berwarna ungu.
Meninggalkan patung-patung menyerupai manusia di dalam goa yang ditutup teralis besi, kita bisa melanjutkan menaiki anak tangga. Sampai di ujung anak tangga, terdapat sebuah goa yang dari luar jika kita melongok ke dalam terlihat gelap.
Di dalam goa, kita bisa melihat terdapat seperti sebuah makam dengan beberapa tengkorak dan tulang belulang. Memandang lurus dari bibir goa, kita bisa melihat beberapa peti diletakkan menumpuk menggantung di antara dinding goa. Di bawah peti-peti menggantung tersebut seperti terdapat sebuah lorong jalan yang gelap, tapi saya tidak sempat menyusurinya.
Terlepas dari itu, kita telah dibuat takjub dengan kekayaan adat-istiadat yang masih dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat Toraja. Pesatnya perkembangan zaman dan teknologi modern, tradisi masyarakat Toraja tidak akan pernah terkubur oleh waktu.
Salah satu destinasi yang paling sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara adalah Desa Ke'Te Kesu. Desa Ke'Te Kesu merupakan kawasan cagar budaya yang terletak 4 km di bagian tenggara Rantepao. Wisatawan ramai berkunjung biasanya ketika dilaksanakan upacara adat Toraja, di antaranya pemakaman adat atau Rambu Solo dan upacara memasuki rumah adat baru (Rambu Tuka).
Kali ini saya berkesempatan mengunjungi Desa Ke'Te Kesu saat dilaksanakan upacara memasuki rumah adat baru atau Rambu Tuka. Sebanyak 7 Tongkonan (rumah adat Tana Toraja) yang ada di Ke'te Kesu akan ditahbiskan atau disebut Mangrara. Ketujuh Tongkonan tersebut adalah Tongkonan Kesu, Tongkonan To'Kaluku, Tongkonan To' Sendana, Tongkonan Bamba, Tongkonan Tonga, Tongkonan Sepang dan Tongkonan Rura Lompo.
Acaranya dilaksanakan dari pagi hari waktu setempat. Jalan saya dari hotel menuju Ke'Te Kesu sudah padat masyarakat yang berbondong-bondong ingin menghadiri Mangrara. Ribuan kerabat dan keluarga dari 7 Tongkonan tersebut sudah memadati lokasi Ke'Te Kesu.
Di depan gerbang Ke'Te Kesu sudah banyak babi yang akan dipotong saat ritual adat. Babi-babi yang akan menjadi persembahan dimasukkan dalam sejenis keranda bambu yang sudah dipenuhi hiasan. Kemudian, berjalanan menuju Tongkonan, di samping kiri dan kanan sudah ramai ribuan orang yang menyaksikan ritual penyembelihan babi dari bangunan seperti pondok.
Satu per satu babi yang dipersembahkan diarak oleh puluhan orang yang memanggul keranda dengan seruan bahasa Toraja menuju halaman Tongkonan. Setelahnya babi dilepaskan dari keranda untuk disembelih.
Proses penyembelihan dilakukan dengan memanggang babi dengan alat mirip alat steam di atas kompor gas ukuran kecil. Api disemprotkan ke hampir seluruh badan babi, minimal ada 2 orang melakukan proses ini dengan 1 orang memanggang, 1 orang lagi membersihkan bulu babi menggunakan sebilah bambu yang sudah dibelah. Setelah diperkirakan bulu telah rontok, barulah proses penyembelihan babi dimulai.
Setelah menyaksikan prosesi adat, saya mendapat penjelasan mengenai ritual yang dilaksanakan dari perwakilan keluarga 7 Tongkonan, Siwambe' Tingting Kareba Sarungallo. Dia mengatakan bahwa ini merupakan upcara yang dilakukan turun-temurun yang biasanya dilaksanakan satu generasi.
"Jadi kebetulan ini 28 tahun baru dilaksanakan lagi supaya anak-anak dan cucu kami bisa saling berkenalan. Semua rumpun keluarga terwakili di sini, jadi dari 56 generasi yang lalu sampai ke anak saya, " ujarnya di Ke'Te Kesu kepada tim MNC Media.
Untuk hari Jumat, 29 Juni 2018, dikatakan Siwambe' Tingting Kareba Sarungallo adalah acara Ma' Papa, semua rumpun keluarga harus hadir, esok hari dilakukan penutupan atau Ma'Bubung. Dalam acara Ma'Papa sendiri terdapat penyembelihan hewan babi atau kerbau yang menurut Siwambe' Tingting Kareba Sarungallo memiliki makna tersendiri.
"Hari ini hanya untuk pemotogan hewan, dalam artian babi dan kerbau diberikan kepada mereka yang mempunyai jabatan dan masyarakat. Kalau jumlah babi itu tergantung dari ekonomi keluarga, kira-kira hari ini ada sekitar 600 ekor. Sementara, kalau Anda melihat dalam membangunan Tongkonan itu kira-kira 700 juta untuk 1 Tongkonan, tapi biaya upacaranya lebih mahal," papar dia.
Upacara Rambu Tuka juga dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintah setempat, salah satu Bupati Toraja Utara, Kalatiku Paembonan. Dia mengatakan bahwa upacara adat Mangrara adalah upacara puncak peresmian Tongkonan yang dalam tradisi orang Toraja sangat dihormati dan disakralkan karena jarang terjadi.
"Hanya setiap sebuah rumah Tongkonan selesai dibuat dan dikunjungi seluruh rumpun keluarga datang dari dalam dan luar negeri untuk menyatakan kegembiraan sekaligus upaya mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam keluarga Toraja," kata Kalatiku Paembonan.
Karena itulah, menurut Kalatiku Paemboan, upacara yang biasa disebut Rambu Tuka ini selalu mendapat tempat bagian terpenting dalam kebudayaan Toraja dan dipelihara. Bagi Kalatiku Paemboan, pemerintah berkepentingan memeliharanya, karena Toraja Utara sebagai daerah wisata akan benar-benar lengkap sebagai sebuah daerah tujuan wisata apabila upacara-upacara adat seperti Mangrara tetap dipelihara.
Oleh sebab itu, Kalatiku Paembonan mengatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Toraja Utara mengkondisikan sedemikian rupa, sehingga acara seperti Rambu Tuka berlangsung dengan sangat baik. Hal ini tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membawa kesan baik bagi seluruh keluarga dan wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke daerah Toraja Utara.
Tongkonan Ke'Te Kesu adalah salah satu idola bagi objek wisata Toraja yang terlengkap. Karena, sebuah Tongkonan itu harus ada Tongkonan, lumbung, sawah, kebun, hutan, dan ada tempat kuburannya.
"Karena itu, Toraja Utara selalu memiliki kebanggaan memiliki Ke'Te di sini untuk selalu dipresentasikan kepada siapapun yang mencintai daerah-daerah tujuan wisata seperti ini," ucap Kalatiku Paembonan.
Karena itu, Pemeritah Kabupaten Toraja Utara telah mengupayakan promosi dan mengkomunikasikan kepada berbagai pihak mengenai acara-acara upacara adat yang akan berlangsung di Toraja. "Jadi, jajaran kami dari Dinas pariwisata dan Kominfo itu sudah mengkomunikasi kepada siapapun juga, baik melalui website maupun media sosial dan juga situs resmi mengenai acara upacara-upacara adat yang akan berlangsung," tutur Kalatiku Paembonan.
Upacara adat di Toraja memang menjadi salah satu daya tarik wisata yang dapat menyedot kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan Toraja pada khususnya. Terlebih, Pemerintah Indonesia memiliki target 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2019.
Dalam hal tersebut, Kalatiku Paembonan optimistis Toraja Utara mampu turut menyumbangkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. "Pemerintah Indonesia telah menargetkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2019. Kami bertekad mengambil 10 persen untuk berpartisipasi dalam hal itu," paparnya.
Sementara itu, MNC Travel yang menemani tim MNC Media berkunjung ke Ke'Te Kesu sangat mengaggumi kekayaan adat istiadat masyarakat Toraja. Begitu pun dengan sambutan masyarakat setempat kepada para pendatang yang begitu hangat.
"Masih sangat kental sekali adat istiadat masyarakat Toraja, bahkan untuk pembangunan rumah punya tata cara sendiri untuk memenuhi syarat adat mereka. Kami sangat senang sekali disambut bupati Torut, penjabat pemerintah setempat dan masyarakat dengan hangat," tutur Head of Marketing MNC Travel, Diana Ring.
Kuburan Tebing Toraja Ke'Te Kesu
Mengunjungi Ke'Te Kesu di Toraja Utara kurang lengkap jika tidak menyambangi kuburan batu. Terkesan horor memang ketika pertama kali mendengarnya, tapi jika sudah melihatnya sendiri, pasti akan takjub.
Lokasinya di belakang Ke'Te Kesu Rantepao, kira-kira jaraknya 100 meter dari Tongkonan tempat upacara yang saya datangi tadi, kita bisa menyusuri jalanan yang disiapkan untuk menuju area pemakaman. Saat saya berkunjung, gerimis namun terdapat sinar matahari menemani para turis yang hendak melihat pemakaman
Tidak lama, pandangan mata kita langsung tertuju pada sebuah bukit yang menjulang megah. Terdapat anak tangga yang mengantar kita menuju ke atas. Tapi, sebelum menaiki anak tangga, pandangan saya tertuju kepada sebuah bangunan yang mirip seperti rumah kayu.
Ternyata rumah tersebut digunakan sebagai tempat pemakaman yang orang Toraja bilang itu Patane. Bagian depannya terdapat ukiran batu cukup besar yang menyerupai matahari terbit. Tapi, kita tidak bisa masuk ke dalam Patane tersebut, karena kondisinya memang tertutup. Kita hanya bisa melihatnya dari luarnya yang megah.
Dikatakan oleh turis lokal yang merupakan orang asli Toraja, Levi, Patane memang tidak boleh sembarangan dibuka. Ada waktu-waktu khusus Patane boleh dibuka katanya. "Patane biasanya hanya dibuka waktu ada jenazah mau dikubur, kemudian harus setelah panen," ucapnya.
Meninggalkan bangunan Patane, saya menaiki anak tangga dengan cukup hati-hati, karena gerimis membuatnya sedikit licin untuk ditapaki. Baru awal menaiki anak tangga, kita langsung disuguhkan dengan beberapa peti yang diletakkan menggantung pada tebing. Beberapa peti bentuknya menyerupai perahu dengan sejumlah tengkorak di atasnya.
Pemandangan yang membuat mata terpana bagaimana betapa kentalnya adat istiadat dan tradisi dari leluhur yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Toraja. Terus menaiki anak tangga. kita masih belum dibuat berhenti melihat pemandangan sekeliling. Puluhan tulang belulang berserakan beserta tengkoraknya di peti yang sudah hancur.
Tulang belulang dan tengkorak memang menjadi pemandangan yang umum saat kita menaiki anak tangga. Hampir di setiap bebatuan tebing terlihat tulang belulang dan tengkorak berserakan dibiarkan begitu saja.
Lanjut menaiki anak tangga, saya berhenti karena terkejut melihat ada sebuah lorong atau goa yang tertutup dengan teralis besi. Saya terkejut bukan kepalang karena di dalamnya terdapat beberapa patung atau boneka yang menyerupai manusia. Patung-patung menyerupai manusia ini juga memakai baju. Paling mencolok adalah patung seorang nenek karena dia memakai baju berwarna ungu.
Meninggalkan patung-patung menyerupai manusia di dalam goa yang ditutup teralis besi, kita bisa melanjutkan menaiki anak tangga. Sampai di ujung anak tangga, terdapat sebuah goa yang dari luar jika kita melongok ke dalam terlihat gelap.
Di dalam goa, kita bisa melihat terdapat seperti sebuah makam dengan beberapa tengkorak dan tulang belulang. Memandang lurus dari bibir goa, kita bisa melihat beberapa peti diletakkan menumpuk menggantung di antara dinding goa. Di bawah peti-peti menggantung tersebut seperti terdapat sebuah lorong jalan yang gelap, tapi saya tidak sempat menyusurinya.
Terlepas dari itu, kita telah dibuat takjub dengan kekayaan adat-istiadat yang masih dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat Toraja. Pesatnya perkembangan zaman dan teknologi modern, tradisi masyarakat Toraja tidak akan pernah terkubur oleh waktu.
(alv)