Sate Laler Pantura yang Digemari Buruh Tani hingga Bupati
A
A
A
GRESIK - Laler dalam bahasa Jawa artinya adalah lalat. Tapi, sate laler bukan berarti sate lalat. Sate ini terbuat dari daging kambing. Sate laler ini tidak ada bedanya dengan sate yang lain dalam penyajiannya. Bedanya hanya pada suasana dan karakter penjualnya.
Salah satunya adalah Ahmad Ridhoi Mangkubuwono. Para pelangganya suka memanggil Do’i. Warga RT 14 RW IV Desa Lowayu, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Tumur umurnya baru 33 tahun.
Meski muda, namun Do’i terbilang lihai urusan usaha warung sate. Sate kambing yang dijualnya di Telon Golokan, Kecamatan Sidayu, Gresik. Lokasi itu jalur padat pantura Gresik-Lamongan. Warungnya tidak seperti warung kebanyakan. Cukup bayang atau dipan yang terbuat dari bambu. Kemudian atapnya dari asbes, tanpa dinding di kanan kirinya.
Bayang depan di tempati rombong pikul dari bambu. Lonjoran bambu dibiarkan menjuntai tempat menggantung kambing yang sudah dipotong. Depanya lagi ada tempat membakar sate. Tidak ada lampu terang yang menerangi tempat ini. Cahaya cukup lampu cempluk berkekuatan 2,5 watt.
“Justru itu menjadi ciri khas penjual sate laler. Remang dan biasanya ada obor di tepi jalan, sebagai tanda operasional,” ujar Do’i.
Karakter itu menjadi ciri khas para penjual sate laler di pantura. Mulai dari Gresik kota, Bungah, Sidayu, Panceng, Dukun. Bahkan, hingga di Kecamatan Paciran dan Brondong di Lamongan. Mereka semuanya selalu buka pada malam hari, mulai jam 19.00 WIB dan tutup terkadang hingga dini hari.
“Hampir semua penjual sate laler pantura masih kerabat. Mereka dari Desa Lowayu, Dukun, Gresik. Kalau tidak kerabat ya, minimal pernah menjadi pekerja di warung sate laler,” kata dia.
Disebut sate laler, bukan kemudian lalat yang dibuat sate. Bahan pembuatannya tetap dari daging kambing. Hanya irisan dagingnya lebih kecil dibanding kebanyakan sate kambing atau sapi lainnya.
“Orang-orang yang beli, yang menyebut sate laler. Mungkin bentuk satenya kecil kayak laler,” kata Do’i sambil senyum.
Namanya sate, bumbunya pun sama. Sate laler ini nikmat disajikan dengan bumbu dari racikan kacang, kecap dan ulekan cabai. Namun, untuk sate laler, karena irisannya kecil, satu porsi terdiri atas 20 tusuk, bukan 10 tusuk seperti kebanyakan sate yang biasa dijual. Ditambah nasi, harganya pun murah, yaitu cukup Rp20.000 per porsi.
Selain itu, ada juga gule kaki kambing. Dan yang paling dicari pelanggan adalah tape jeroan yang dioseng-oseng. Selain itu ada lagi sate asinan yang dagingnya diambil dari urat kambing.
Sate asinan inilah yang dicari-cari pelanggan. Sebab, diyakini sate laler jenis asinan ini dapat menambah vitalitas, khususnya para suami. Termasuk diantaranya para ibu muda.
“Katanya sih begitu. Tapi saya emang suka yang asinan. Rasanya kenyal dan enak,” aku Khoirul Bashori, 36, pelanggan warga Cangakan, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik.
Do’i menambahkan, dirinya tidak asal dalam memilih kambing. Dirinya maupun para penjual sate laler lainya memilih kambing muda yang usianya antara 5 bulan hingga setahun.
“Kalau saya feeling saja mana kambing muda yang enak. Biasanya muda dan yang gemuk serta sedap dipandang. Itu biasanya dagingnya enak,” ujar dia.
Kambing-kambing itu dibelinya di Pasar Keliwon Mentaras, Kecamatan Dukun, Gresik dan Pasar Pahing Petiyyin Lamongan. Dengan harga perekornya kisaran Rp1,2 juta, Do’i dalam semalam mampu menghabiskan dua ekor.
Meski diantara para penjual sate laler pantura memiliki karakter dan bahan yang sama, namun masing-masing mempunyai pelanggan fanatik. “Kalau saya lebih suka di sate laler Telon Golokan Do’i. Rasa dagingnya empuk dan renyah,” aku Agus Junaidi Hamzah, 42, warga Perum Alam Bukit Raya (ABR) Kembangan, Kecamatan Kebomas Gresik.
Para pelanggan sate laler pantura memang tidak melulu warga sekitar. Tetapi sudah membumi. Ada buruh tani, para sopir truk tronton dan truk yang melintas. Bahkan, para pejabat seperti anggota DPRD dan Bupati Sambari Halim Radianto.
Hanya, para pejabat ini lebih memilih sate laler pantura yang lokasinya di Alun-alun Sidayu, milik Pak Kasan, yang juga warga Lowayu. “Kalau saya di Alun-alun Sidayu. Biasanya Pak Sambari (Bupati Gresik) juga suka sate laler di situ,” kata dr Asluchul Alif, 37, Dirut RS Fathma Medika.
Salah satunya adalah Ahmad Ridhoi Mangkubuwono. Para pelangganya suka memanggil Do’i. Warga RT 14 RW IV Desa Lowayu, Kecamatan Dukun, Gresik, Jawa Tumur umurnya baru 33 tahun.
Meski muda, namun Do’i terbilang lihai urusan usaha warung sate. Sate kambing yang dijualnya di Telon Golokan, Kecamatan Sidayu, Gresik. Lokasi itu jalur padat pantura Gresik-Lamongan. Warungnya tidak seperti warung kebanyakan. Cukup bayang atau dipan yang terbuat dari bambu. Kemudian atapnya dari asbes, tanpa dinding di kanan kirinya.
Bayang depan di tempati rombong pikul dari bambu. Lonjoran bambu dibiarkan menjuntai tempat menggantung kambing yang sudah dipotong. Depanya lagi ada tempat membakar sate. Tidak ada lampu terang yang menerangi tempat ini. Cahaya cukup lampu cempluk berkekuatan 2,5 watt.
“Justru itu menjadi ciri khas penjual sate laler. Remang dan biasanya ada obor di tepi jalan, sebagai tanda operasional,” ujar Do’i.
Karakter itu menjadi ciri khas para penjual sate laler di pantura. Mulai dari Gresik kota, Bungah, Sidayu, Panceng, Dukun. Bahkan, hingga di Kecamatan Paciran dan Brondong di Lamongan. Mereka semuanya selalu buka pada malam hari, mulai jam 19.00 WIB dan tutup terkadang hingga dini hari.
“Hampir semua penjual sate laler pantura masih kerabat. Mereka dari Desa Lowayu, Dukun, Gresik. Kalau tidak kerabat ya, minimal pernah menjadi pekerja di warung sate laler,” kata dia.
Disebut sate laler, bukan kemudian lalat yang dibuat sate. Bahan pembuatannya tetap dari daging kambing. Hanya irisan dagingnya lebih kecil dibanding kebanyakan sate kambing atau sapi lainnya.
“Orang-orang yang beli, yang menyebut sate laler. Mungkin bentuk satenya kecil kayak laler,” kata Do’i sambil senyum.
Namanya sate, bumbunya pun sama. Sate laler ini nikmat disajikan dengan bumbu dari racikan kacang, kecap dan ulekan cabai. Namun, untuk sate laler, karena irisannya kecil, satu porsi terdiri atas 20 tusuk, bukan 10 tusuk seperti kebanyakan sate yang biasa dijual. Ditambah nasi, harganya pun murah, yaitu cukup Rp20.000 per porsi.
Selain itu, ada juga gule kaki kambing. Dan yang paling dicari pelanggan adalah tape jeroan yang dioseng-oseng. Selain itu ada lagi sate asinan yang dagingnya diambil dari urat kambing.
Sate asinan inilah yang dicari-cari pelanggan. Sebab, diyakini sate laler jenis asinan ini dapat menambah vitalitas, khususnya para suami. Termasuk diantaranya para ibu muda.
“Katanya sih begitu. Tapi saya emang suka yang asinan. Rasanya kenyal dan enak,” aku Khoirul Bashori, 36, pelanggan warga Cangakan, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik.
Do’i menambahkan, dirinya tidak asal dalam memilih kambing. Dirinya maupun para penjual sate laler lainya memilih kambing muda yang usianya antara 5 bulan hingga setahun.
“Kalau saya feeling saja mana kambing muda yang enak. Biasanya muda dan yang gemuk serta sedap dipandang. Itu biasanya dagingnya enak,” ujar dia.
Kambing-kambing itu dibelinya di Pasar Keliwon Mentaras, Kecamatan Dukun, Gresik dan Pasar Pahing Petiyyin Lamongan. Dengan harga perekornya kisaran Rp1,2 juta, Do’i dalam semalam mampu menghabiskan dua ekor.
Meski diantara para penjual sate laler pantura memiliki karakter dan bahan yang sama, namun masing-masing mempunyai pelanggan fanatik. “Kalau saya lebih suka di sate laler Telon Golokan Do’i. Rasa dagingnya empuk dan renyah,” aku Agus Junaidi Hamzah, 42, warga Perum Alam Bukit Raya (ABR) Kembangan, Kecamatan Kebomas Gresik.
Para pelanggan sate laler pantura memang tidak melulu warga sekitar. Tetapi sudah membumi. Ada buruh tani, para sopir truk tronton dan truk yang melintas. Bahkan, para pejabat seperti anggota DPRD dan Bupati Sambari Halim Radianto.
Hanya, para pejabat ini lebih memilih sate laler pantura yang lokasinya di Alun-alun Sidayu, milik Pak Kasan, yang juga warga Lowayu. “Kalau saya di Alun-alun Sidayu. Biasanya Pak Sambari (Bupati Gresik) juga suka sate laler di situ,” kata dr Asluchul Alif, 37, Dirut RS Fathma Medika.
(alv)