Memaknai Semangat Hidup dari Nara
A
A
A
SEJAK pentas perdana pada 21 April 2003 di GOR Djarum Kaliputu-Kudus, Teater Djarum terus berproses memberi warna dalam dunia teater Indonesia.
Kemarin sore, bersama Galeri Indonesia Kaya, Teater Djarum mempersembahkan lakon berjudul Nara di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. “Lakon Nara tidak hanya menghibur, juga memiliki banyak pesan moral yang dapat menginspirasi penikmat seni.
Kami harap, lakon yang juga menjadi produksi ke-24 Teater Djarum ini dapat menjadi sajian yang bermanfaat bagi para penikmat seni yang hadir dan dapat menginspirasi para generasi muda Indonesia untuk berkarya,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Ditulis dan disutradarai oleh Asa Jatmiko, selama kurang lebih 60 menit, lakon Nara mengisahkan seorang perempuan sebatang kara bernama Nara yang tinggal di pesisir pantai bersama bocah kecil ceria bernama Gendhuk dan Ibu dari Gendhuk, yang sudah menganggap Nara seperti anak sendiri.
Nara merupakan perempuan cantik, cerdas, pemberani, dan kerap ikut melaut untuk membantu warga pesisir lainnya mencari ikan. Nara dibawa secara paksa ke Kotapraja oleh penguasa pesisir yang bernama Gola.
Tidak terima dipisahkan dengan Nara, Gendhuk dan Ibunya ikut bersama Nara ke Kotapraja. Di Kotapraja segalanya terpenuhi, Nara, Gendhuk, dan Ibu Gendhuk bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa harus berusaha keras.
Namun, kemudahan itu tidak serta-merta mem buat Nara bahagia. Di Kotapraja Nara merasa kemerdekaannya direnggut, karena Nara dijauhkan dari warga pesisir yang ia cinta, suasana pantai, dan ombak yang menjadi sumber keceria annya. Kemudahan-kemudahan tersebut pun hilang ketika Gola tiada.
Nara kini harus membayar pajak kepada Wira, pemimpin baru di Kotapraja. Sebagai sosok yang selalu bersemangat dan berusaha, Nara tidak menyerah. Nara membuka usaha galeri bersama seorang pengusaha bernama Prana.
Kesuksesan bisnis Nara membuat Wira geram dan akhirnya membakar galeri milik Nara. Bukan hanya usahanya yang hilang, Nara juga harus kehilangan Gendhuk, Ibu Gendhuk, dan Prana.
Nara yang merasa putus asa, akhirnya bangkit dengan semangat membara dan memulai semuanya kembali dari awal. “Lakon Nara merupakan simbolisasi dari semangat hidup yang tidak pernah menyerah. Nara yang beradaptasi dengan cara berpikir, budaya, dan gaya hidup yang berbeda dengan apa yang biasa ia rasakan.
Melalui sosok Nara ini, kami ingin mengajak penikmat seni untuk selalu bersemangat, gigih, dan pantang menyerah dalam menghadapi rintangan dan masalah di dalam kehidupan. Seperti api yang menyala, selalu menerangi dan memberi semangat bagi sekitarnya,” ujar Asa Jatmiko.
Kemarin sore, bersama Galeri Indonesia Kaya, Teater Djarum mempersembahkan lakon berjudul Nara di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. “Lakon Nara tidak hanya menghibur, juga memiliki banyak pesan moral yang dapat menginspirasi penikmat seni.
Kami harap, lakon yang juga menjadi produksi ke-24 Teater Djarum ini dapat menjadi sajian yang bermanfaat bagi para penikmat seni yang hadir dan dapat menginspirasi para generasi muda Indonesia untuk berkarya,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Ditulis dan disutradarai oleh Asa Jatmiko, selama kurang lebih 60 menit, lakon Nara mengisahkan seorang perempuan sebatang kara bernama Nara yang tinggal di pesisir pantai bersama bocah kecil ceria bernama Gendhuk dan Ibu dari Gendhuk, yang sudah menganggap Nara seperti anak sendiri.
Nara merupakan perempuan cantik, cerdas, pemberani, dan kerap ikut melaut untuk membantu warga pesisir lainnya mencari ikan. Nara dibawa secara paksa ke Kotapraja oleh penguasa pesisir yang bernama Gola.
Tidak terima dipisahkan dengan Nara, Gendhuk dan Ibunya ikut bersama Nara ke Kotapraja. Di Kotapraja segalanya terpenuhi, Nara, Gendhuk, dan Ibu Gendhuk bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa harus berusaha keras.
Namun, kemudahan itu tidak serta-merta mem buat Nara bahagia. Di Kotapraja Nara merasa kemerdekaannya direnggut, karena Nara dijauhkan dari warga pesisir yang ia cinta, suasana pantai, dan ombak yang menjadi sumber keceria annya. Kemudahan-kemudahan tersebut pun hilang ketika Gola tiada.
Nara kini harus membayar pajak kepada Wira, pemimpin baru di Kotapraja. Sebagai sosok yang selalu bersemangat dan berusaha, Nara tidak menyerah. Nara membuka usaha galeri bersama seorang pengusaha bernama Prana.
Kesuksesan bisnis Nara membuat Wira geram dan akhirnya membakar galeri milik Nara. Bukan hanya usahanya yang hilang, Nara juga harus kehilangan Gendhuk, Ibu Gendhuk, dan Prana.
Nara yang merasa putus asa, akhirnya bangkit dengan semangat membara dan memulai semuanya kembali dari awal. “Lakon Nara merupakan simbolisasi dari semangat hidup yang tidak pernah menyerah. Nara yang beradaptasi dengan cara berpikir, budaya, dan gaya hidup yang berbeda dengan apa yang biasa ia rasakan.
Melalui sosok Nara ini, kami ingin mengajak penikmat seni untuk selalu bersemangat, gigih, dan pantang menyerah dalam menghadapi rintangan dan masalah di dalam kehidupan. Seperti api yang menyala, selalu menerangi dan memberi semangat bagi sekitarnya,” ujar Asa Jatmiko.
(don)