Ketika Manusia Dikuasai Algoritma dan Data-data
A
A
A
Apa saja pencapaian manusia dalam beberapa dekade terakhir ini? Lalu apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia di masa depan? Apakah pencapaian-pencapaian tersebut benar-benar membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik?
Di buku ini Yuval Noah Harari mendedahkan prospek kehidupan manusia di masa depan dengan bekal perpaduan pelbagai disiplin ilmu: sejarah, filsafat, dan sains.
Jika pada buku sebelumnya Sapiens Harari berupaya memaparkan dari mana manusia berasal, dalam buku Homo Deus sejarawan penerima gelar Ph.D dari Universitas Oxford pada 2002 ini berupaya menunjukkan ke mana kita, umat manusia, akan pergi.
Harari mengawalinya dengan gambaran tentang bagaimana humanisme penyembahan terhadap manusia telah menaklukkan dunia selama beberapa dekade terakhir. Mungkin ini terdengar baik bagi kemanusiaan.
Namun Harari melihat naiknya humanisme memunculkan persoalan. Imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian menempati posisi puncak dalam agenda umat manusia. Orang berupaya keras mengejar pencapaian lewat beragam temuan canggih di banyak bidang; kesehatan, teknologi kecerdasan buatan hingga rekayasa genetika.
“Namun ketika kita semakin dekat dengan tujuan ini, gejolakgejolak yang ditimbulkan mungkin akan membelokkan kita dari tujuan,” tulisnya (hlm 76). Di bagian pertama, buku ini mengulas mengapa spesies manusia berbeda dari yang lain sehingga kemudian mendominasi planet ini.
Harari melihat, ini karena Sapiens mampu bekerja sama dengan cara yang sangat fleksibel dengan jumlah tak terbatas, hal yang tak mampu dilakukan makhluk lain. Sejarah menunjukkan, kemenangan hampir pasti jatuh kepada mereka yang mampu bekerja sama lebih baik seperti halnya Romawi yang menaklukkan Yunani.
“Sapiens menguasai dunia karena hanya mereka yang bisa menjalin jejaring makna intersubjektif; jejaring hukum, pasukan, entitas, dan tempat-tempat yang eksis sematamata dalam imajinasi mereka,” jelasnya (hlm 172).
Berdasarkan temuan-temuan di bagian pertama tersebut, Harari mengungkap berbagai keganjilan dunia yang telah dibuat manusia dalam milenium terakhir ini. Di antaranya tentang perkembangan mencengangkan dunia teknologi, terutama kekuatan bioteknologi dan algoritma komputer yang berpotensi menciptakan kehidupan yang benar-benar baru yang bahkan bisa mengancam eksistensi manusia sendiri.
Manusia mungkin masih bisa tenang sepanjang mesin hanya mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang murni manual. Manusia bisa fokus pada pekerjaan yang butuh kemampuan kognitif. Namun apa yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir patut membuat manusia waspada.
Harari memberi gambaran bagai mana kini algoritma nonor ganik mulai menya mai atau bahkan melampaui kemampuan algoritma organik. Hal tersebut tergambar dari, misalnya, program pengenalan wajah yang mampu mengidentifikasi orang jauh lebih efisien ketimbang manusia. Atau Deep Blue, robot komputer rancangan IBM, yang mampu menga lah kan juara catur dunia Garry Kasparov.
Agama Tekno
Sains dan teknologi modern menghasilkan temuantemuan canggih yang terlihat membuat kerjakerja manusia menjadi lebih mudah dan efisien, tetapi pada kenyataannya menyimpan ancaman serius.
Harari menjelaskan, penemuan-penemuan canggih bisa jadi akan membelah populasi manusia menjadi dua bagian: massa tak berguna dan segelintir elite manusia yang super terbarukan.
Otoritas bahkan bisa beralih dari manusia ke tangan algoritma-algoritma yang sangat pintar. Saat itu terjadi, menurut Harari, liberalisme akan runtuh dan agama atau ideologi baru yang mungkin berkuasa adalah agama tekno.
Agama tekno, menurutnya, terdiri atas dua jenis utama, yaitu teknohumanisme dan agama data. Teknohumanisme menganggap kehendak manusia adalah hal paling penting sehingga mendorong orang mengembangkan teknologi yang bisa mengendalikan dan mendesain ulang kehendak.
Namun begitu kendali tersebut tercapai, tekno-humanisme tak akan tahu apa yang harus dilakukan. “Karena manusia yang sakral akan menjadi produk desainer biasa” (hlm 422).
Untuk menghindari jebakan ini, menurut Harari, manusia harus yakin bahwa kehendak dan pengalaman manusia adalah sumber tertinggi otoritas dan makna. Namun kini ada hal yang mulai menggantikan keinginan dan pengalaman sebagai sumber makna dan otoritas, yakni informasi.
“Agama baru yang paling menarik adalah dataisme, yang memuja bukan tuhan, bukan manusia ia menyembah data,” tulis Harari. Dataisme mendeklarasikan bahwa alam semesta terdiri atas aliran data.
Di sini manusia semata-mata hanya dipandang sebagai alat untuk menciptakan “Internet-Segala-Hal” sistem pemrosesan data yang mengendalikan segalanya (hlm 438).
Berdasarkan semua yang diuraikan di buku ini, Harari berkesimpulan bahwa dunia sedang mengalami proses di mana sains sedang memusatkan diri pada satu dogma: orga nisme adalah algoritma dan ke hi dupan adalah pemrosesan data.
Kecerdasan sedang berpisah dari kesadaran dan algoritma non-kesadaran mungkin akan mengenal kita secara lebih baik daripada kita sendiri. Memang, argumentasi-argumentasi Harari masih “sekadar” kemungkinan dan seakan masih jauh.
Namun jika kita melihat masa depan umat manusia dalam jangka panjang, paparan-paparan Harari yang ada di buku ini cukup mencemaskan. Kita seakan diajak memikirkan kembali tentang bagaimana mestinya menjalani kehidupan ini.
“Jika Anda tak suka dengan sebagian dari kemungkinan ini, Anda dipersilakan berpikir dan berperilaku dengan cara yang baru agar dapat mencegah kemungkinan tertentu di sini menjadi nyata,” tandas Harari.
Di buku ini Yuval Noah Harari mendedahkan prospek kehidupan manusia di masa depan dengan bekal perpaduan pelbagai disiplin ilmu: sejarah, filsafat, dan sains.
Jika pada buku sebelumnya Sapiens Harari berupaya memaparkan dari mana manusia berasal, dalam buku Homo Deus sejarawan penerima gelar Ph.D dari Universitas Oxford pada 2002 ini berupaya menunjukkan ke mana kita, umat manusia, akan pergi.
Harari mengawalinya dengan gambaran tentang bagaimana humanisme penyembahan terhadap manusia telah menaklukkan dunia selama beberapa dekade terakhir. Mungkin ini terdengar baik bagi kemanusiaan.
Namun Harari melihat naiknya humanisme memunculkan persoalan. Imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian menempati posisi puncak dalam agenda umat manusia. Orang berupaya keras mengejar pencapaian lewat beragam temuan canggih di banyak bidang; kesehatan, teknologi kecerdasan buatan hingga rekayasa genetika.
“Namun ketika kita semakin dekat dengan tujuan ini, gejolakgejolak yang ditimbulkan mungkin akan membelokkan kita dari tujuan,” tulisnya (hlm 76). Di bagian pertama, buku ini mengulas mengapa spesies manusia berbeda dari yang lain sehingga kemudian mendominasi planet ini.
Harari melihat, ini karena Sapiens mampu bekerja sama dengan cara yang sangat fleksibel dengan jumlah tak terbatas, hal yang tak mampu dilakukan makhluk lain. Sejarah menunjukkan, kemenangan hampir pasti jatuh kepada mereka yang mampu bekerja sama lebih baik seperti halnya Romawi yang menaklukkan Yunani.
“Sapiens menguasai dunia karena hanya mereka yang bisa menjalin jejaring makna intersubjektif; jejaring hukum, pasukan, entitas, dan tempat-tempat yang eksis sematamata dalam imajinasi mereka,” jelasnya (hlm 172).
Berdasarkan temuan-temuan di bagian pertama tersebut, Harari mengungkap berbagai keganjilan dunia yang telah dibuat manusia dalam milenium terakhir ini. Di antaranya tentang perkembangan mencengangkan dunia teknologi, terutama kekuatan bioteknologi dan algoritma komputer yang berpotensi menciptakan kehidupan yang benar-benar baru yang bahkan bisa mengancam eksistensi manusia sendiri.
Manusia mungkin masih bisa tenang sepanjang mesin hanya mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang murni manual. Manusia bisa fokus pada pekerjaan yang butuh kemampuan kognitif. Namun apa yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir patut membuat manusia waspada.
Harari memberi gambaran bagai mana kini algoritma nonor ganik mulai menya mai atau bahkan melampaui kemampuan algoritma organik. Hal tersebut tergambar dari, misalnya, program pengenalan wajah yang mampu mengidentifikasi orang jauh lebih efisien ketimbang manusia. Atau Deep Blue, robot komputer rancangan IBM, yang mampu menga lah kan juara catur dunia Garry Kasparov.
Agama Tekno
Sains dan teknologi modern menghasilkan temuantemuan canggih yang terlihat membuat kerjakerja manusia menjadi lebih mudah dan efisien, tetapi pada kenyataannya menyimpan ancaman serius.
Harari menjelaskan, penemuan-penemuan canggih bisa jadi akan membelah populasi manusia menjadi dua bagian: massa tak berguna dan segelintir elite manusia yang super terbarukan.
Otoritas bahkan bisa beralih dari manusia ke tangan algoritma-algoritma yang sangat pintar. Saat itu terjadi, menurut Harari, liberalisme akan runtuh dan agama atau ideologi baru yang mungkin berkuasa adalah agama tekno.
Agama tekno, menurutnya, terdiri atas dua jenis utama, yaitu teknohumanisme dan agama data. Teknohumanisme menganggap kehendak manusia adalah hal paling penting sehingga mendorong orang mengembangkan teknologi yang bisa mengendalikan dan mendesain ulang kehendak.
Namun begitu kendali tersebut tercapai, tekno-humanisme tak akan tahu apa yang harus dilakukan. “Karena manusia yang sakral akan menjadi produk desainer biasa” (hlm 422).
Untuk menghindari jebakan ini, menurut Harari, manusia harus yakin bahwa kehendak dan pengalaman manusia adalah sumber tertinggi otoritas dan makna. Namun kini ada hal yang mulai menggantikan keinginan dan pengalaman sebagai sumber makna dan otoritas, yakni informasi.
“Agama baru yang paling menarik adalah dataisme, yang memuja bukan tuhan, bukan manusia ia menyembah data,” tulis Harari. Dataisme mendeklarasikan bahwa alam semesta terdiri atas aliran data.
Di sini manusia semata-mata hanya dipandang sebagai alat untuk menciptakan “Internet-Segala-Hal” sistem pemrosesan data yang mengendalikan segalanya (hlm 438).
Berdasarkan semua yang diuraikan di buku ini, Harari berkesimpulan bahwa dunia sedang mengalami proses di mana sains sedang memusatkan diri pada satu dogma: orga nisme adalah algoritma dan ke hi dupan adalah pemrosesan data.
Kecerdasan sedang berpisah dari kesadaran dan algoritma non-kesadaran mungkin akan mengenal kita secara lebih baik daripada kita sendiri. Memang, argumentasi-argumentasi Harari masih “sekadar” kemungkinan dan seakan masih jauh.
Namun jika kita melihat masa depan umat manusia dalam jangka panjang, paparan-paparan Harari yang ada di buku ini cukup mencemaskan. Kita seakan diajak memikirkan kembali tentang bagaimana mestinya menjalani kehidupan ini.
“Jika Anda tak suka dengan sebagian dari kemungkinan ini, Anda dipersilakan berpikir dan berperilaku dengan cara yang baru agar dapat mencegah kemungkinan tertentu di sini menjadi nyata,” tandas Harari.
(don)