Nikmatnya Menyeduh Kopi Perkebunan Kolonial Karanganyar

Senin, 17 September 2018 - 13:08 WIB
Nikmatnya Menyeduh Kopi Perkebunan Kolonial Karanganyar
Nikmatnya Menyeduh Kopi Perkebunan Kolonial Karanganyar
A A A
SELURUHpohon kopi yang tumbuh di perkebunan Karanganyar, Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, berjenis robusta.

Kopi-kopi itu, kata Nur Indah, pemandu wisata kopi Karanganyar, menyebar di tanah seluas 250 hektare (ha). Meski ada sedikit tanaman durian dan ketela, 200 ha di antaranya murni diperuntukkan kebun kopi.

“Sedangkan sisanya, yakni 50 hektare, disulap menjadi agrowisata kopi,” kata Indah. Jika terpelihara dengan baik, tiap hektare mampu menghasilkan 1.000-1.500 kg biji robusta, bahkan sampai 2.000 kg untuk sekali panen.

Mengapa robusta? Mengapa bukan arabika yang di pasar kopi dunia lebih memiliki “sentimen” ekonomi? Ketinggian tanah, yakni 1.000 meter di atas permukaan laut, menjadi faktor utama, Kemudian, menyatunya abu vulkanis Gunung Kelud membuat lapisan tanah perkebunan Karanganyar kaya akan unsur hara (organik). Faktor lainnya soal ketahanan hama.

Menghadapi kekejaman penyakit karat daun, kopi robusta terbukti lebih kebal. Robusta juga lebih tahan banting menahan siksaan panas kemarau, curah hujan tinggi, serta terpaan angin kencang, berbeda dengan varietas kopi arabika, liberika, atau excelsa yang daya tahannya lebih ringkih.

“Sampai sekarang perkebunan kopi ini masih berproduksi dengan baik,” ujar Indah. Perkebunan Karanganyar memiliki suasana kolonial yang masih kental. Mulai pintu masuk yang dijaga petugas tiket yang berpakaian ala opsir Belanda, aura “penjajahan” sudah terasa.

Apalagi, sejumlah bangunan tua masih terpelihara dengan baik. Terlihat tulisan bahasa Belanda, De Karanganjar Koffieplantage Blitar, NV Harta Mulia, terpahat besar di dinding gedung kuno bergaya art deco. Dari lantai, model arsitektur, hingga genting belum pernah diganti. Konstruksinya masih asli.

Gedung itu terbagi atas tiga ruang dengan masing-masing pintu dan jendela berjajar memanjang. Dua lampu antik tampak menempel di ujung dinding. Selain penerang, lentera berterali logam dan berpijar suram itu juga berfungsi sebagai hiasan.

“Ini dulunya kantor administrasi perkebunan kopi. Sampai sekarang masih berfungsi sama,” tutur Indah. Di ujung kantor “maskapai dagang kopi” itu terdapat secuil taman.

Sebuah bangku besi gaya retro dan pagupon (rumah merpati) yang bersandar pada pohon mengingatkan kita pada model taman kota negara Eropa. Indah tidak berhenti bercerita. Dia menunjukkan sebuah bangunan yang disebutnya Loji.

Di sebuah kamar berarsitektur lawas, Indah memperlihatkan sejumlah perkakas Proklamator RI Soekarno, mulai topi polka, mebeler, hiasan dinding, hingga lukisan wanita yang salah satunya karya pelukis Basuki Abdullah. Ada juga perabot hasil menang lelang Hotel Indonesia.

“Ketika berkunjung ke Blitar, Bung Karno pernah tidur di kamar ini,” kata Indah. Di sebelah kamar yang pernah ditiduri Bung Karno terdapat sebuah kamar lain penuh perkakas peninggalan mendiang Denny Moch Roshadi. Semua barang pribadinya lengkap, termasuk lembaran surat. Denny adalah bekas sinder perkebunan kopi Karanganyar pada era prakemerdekaan.

Sejak 1960, dia membeli seluruh saham perkebunan dan mendirikan PT Harta yang pada 1983 ditambahkan kata Mulia di ujungnya (PT Harta Mulia). Praktis seluruh perkebunan, mulai pengelolaan tanaman, produksi kopi, hingga bisnis, sepenuhnya wewenang Denny.

Aristokrat kelahiran Ponorogo itu tutup usia pada 1983. Denny meninggalkan istri dan sejumlah anak, salah satunya mantan Bupati Blitar Herry Noegroho. Bekas orang paling penting di Kabupaten Blitar itulah yang kini bertanggung jawab atas pengelolaan perkebunan kopi Karanganyar. “Tanah perkebunan kopi ini berstatus HGU (hak guna usaha). Setiap 30 tahun sekali diperbarui,” ujar Indah.

Di tengah penjelasan cerita sejarah perkebunan, di pojok ruang rumah Loji terlihat seorang pemuda asing sedang bermain piano tua. Pemuda asal Belanda. Dari ketukan tuts yang beberapa kali gagal merangkai nada terdengar potongan refrain lagu nasional.

“Dia warga negara Belanda yang sedang belajar kopi di sini,” kata Indah. Tidak hanya warga negara Belanda, ada juga warga Austria, Belgia, dan sekitarnya. Sudah sepekan lebih mereka belajar meracik dan menyeduh kopi.

Mereka juga belajar bercocok tanam dan merawat tanaman kopi. Di perkebunan kopi Karanganyar yang baru dibuka pada 2016 (sebagai wisata) itu juga tersedia Museum Blitaran. Isinya benda-benda kuno, perangkat gamelan, termasuk batik dan lukisan terkait Blitar.

Ada juga Museum Pusaka, museum purnabakti yang didedikasikan untuk Herry Noegroho selama dua periode memimpin Kabupaten Blitar. Pengelola wisata juga menyediakan food centre dan kafe dengan sejumlah biji kopi Nusantara.

Bagi yang ingin berkeliling perkebunan, tersedia mobil Jeep dan ATV. Untuk track pendek atau berdurasi sekitar 30 menit, cukup merogoh kocek Rp100.000. Sedangkan untuk track panjang yang mendekati Gunung Kelud, banderol sewa Jeep Rp300.000. Perkebunan kopi Karanganyar juga menyediakan penginapan dengan tarif Rp200.000 per malam.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1842 seconds (0.1#10.140)