Review Film Peppermint
A
A
A
JAKARTA - Sebuah tragedi bisa mengubah diri pribadi seseorang. Apalagi, jika tragedi itu merengut nyawa orang-orang yang mereka cintai. Perubahan pribadi inilah yang diceritakan di Peppermint.
Awalnya, Riley North (Jennifer Gardner) adalah seorang wanita yang hidup bahagia bersama suami dan anaknya, Chris dan Carly. Ketika mereka merayakan ulang tahun Carly di sebuah pasar malam, serombongan penjahat suruhan gembong narkoba Diego Garcia, memberondong mereka. Chris dan Carly tewas, sementara Riley meski mengalami koma selama beberapa waktu, dia tetap hidup.
Setelah sadar dari komanya, Riley dibawa ke kantor polisi untuk mengenali para penyerang suami dan anaknya. Dia berhasil menunjuk tiga orang yang memang menembak suami dan anaknya. Sayang, saat di sidang, dia dinyatakan tidak layak sebagai saksi karena kondisi kesehatannya dan para tersangka pun bebas. Riley pun kecewa.
Lima tahun setelah peristiwa tersebut, Riley kembali dan membalas dendam. Dia menghabisi semua anak buah Diego. Riley nyaris membunuh Diego saat berhasil masuk rumah bos narkoba itu. Sayang, usahanya gagal. Diego dan anak buahnya, dibantu seorang polisi korup, Stanley Carmichael, malah menyerbu kawasan kumuh, tempat Riley tinggal.
Tak ada yang istimewa di film Peppermint ini, kecuali tokohnya yang seorang wanita. Sementara, ceritanya pun banyak lubang di sana sini dan jalan ceritanya pun sangat mudah ditebak. Twist-nya pun sederhana dan hampir tidak mengundang rasa penasaran.
Film ini seolah hanya mau menampilkan seorang wanita yang didera rasa amarah luar biasa dan hanya ingin balas dendam. Sedikit-sedikit, menembak dan menyerang orang. Film sepanjang 102 menit ini terasa hambar, tak ada rasanya.
Chemistry di antara para pemainnya hampir nol. Hanya Jennifer Gardner yang mampu membangun itu kepada pemeran Carly. Sayang, adegannya hanya ada di awal film. Selebihnya, tidak ada.
Peppermint sejatinya adalah proyek comeback Jennifer Gardner. Sayang, sutradara film ini seolah gagal memberikan sebuah film yang lebih dari apa yang dia buat. Totalitas akting Jennifer memang pantas diacungi jempol di sini. Hanya, semua itu bisa menjadi lebih baik lagi asal didukung dengan cerita dan plot film yang lebih bagus.
Awalnya, Riley North (Jennifer Gardner) adalah seorang wanita yang hidup bahagia bersama suami dan anaknya, Chris dan Carly. Ketika mereka merayakan ulang tahun Carly di sebuah pasar malam, serombongan penjahat suruhan gembong narkoba Diego Garcia, memberondong mereka. Chris dan Carly tewas, sementara Riley meski mengalami koma selama beberapa waktu, dia tetap hidup.
Setelah sadar dari komanya, Riley dibawa ke kantor polisi untuk mengenali para penyerang suami dan anaknya. Dia berhasil menunjuk tiga orang yang memang menembak suami dan anaknya. Sayang, saat di sidang, dia dinyatakan tidak layak sebagai saksi karena kondisi kesehatannya dan para tersangka pun bebas. Riley pun kecewa.
Lima tahun setelah peristiwa tersebut, Riley kembali dan membalas dendam. Dia menghabisi semua anak buah Diego. Riley nyaris membunuh Diego saat berhasil masuk rumah bos narkoba itu. Sayang, usahanya gagal. Diego dan anak buahnya, dibantu seorang polisi korup, Stanley Carmichael, malah menyerbu kawasan kumuh, tempat Riley tinggal.
Tak ada yang istimewa di film Peppermint ini, kecuali tokohnya yang seorang wanita. Sementara, ceritanya pun banyak lubang di sana sini dan jalan ceritanya pun sangat mudah ditebak. Twist-nya pun sederhana dan hampir tidak mengundang rasa penasaran.
Film ini seolah hanya mau menampilkan seorang wanita yang didera rasa amarah luar biasa dan hanya ingin balas dendam. Sedikit-sedikit, menembak dan menyerang orang. Film sepanjang 102 menit ini terasa hambar, tak ada rasanya.
Chemistry di antara para pemainnya hampir nol. Hanya Jennifer Gardner yang mampu membangun itu kepada pemeran Carly. Sayang, adegannya hanya ada di awal film. Selebihnya, tidak ada.
Peppermint sejatinya adalah proyek comeback Jennifer Gardner. Sayang, sutradara film ini seolah gagal memberikan sebuah film yang lebih dari apa yang dia buat. Totalitas akting Jennifer memang pantas diacungi jempol di sini. Hanya, semua itu bisa menjadi lebih baik lagi asal didukung dengan cerita dan plot film yang lebih bagus.
(alv)