Merasakan Sensasi Huma di Atas Lembah Maderan

Senin, 05 November 2018 - 14:34 WIB
Merasakan Sensasi Huma...
Merasakan Sensasi Huma di Atas Lembah Maderan
A A A
“DUSCHE ist fertig, dusche ist fertig!” Teriakan bahwa kamar mandi sudah siap, menggema di bangunan berdinding batu menjelang senja. Saya yang sedang menyiapkan sleeping bag, di antara kasur berdebu, berhenti sejenak.

“Kalau sudah begini, bekerja sembilan jam pun oke,” imbuh pemilik teriakan, seorang laki-laki kekar berkebangsaan Polandia. Dia langsung menyeret saya ke sebuah ruangan sempit, yang dibatasi “kelambu”, yang terbuat dari terpal bekas.

“Cobalah, cobalah, kamu belum mandikan,” katanya, setengah memerintah. Air yang mengucur dari shower, terasa hangat. Mandi? Tidaklah yaw. Saya juga baru semalam berada di sini, dan seharian hanya utak-atik kamera, atau menerbangkan drone saja.

Dia, laki laki Polandia itu, sudah sepekan berada di sini. Dan tiap hari harus bekerja memeras keringat. Jika tak mandi, kami seperti tidur bersama unta. Air shower memang hangat, namun di luar dinding itu, suhu sudah melorot ke titik 5 derajat Celsius.

Menjelang malam, bisa makin turun, bahkan minus. Kami memang berada di tempat yang tidak biasa, khususnya ketinggiannya, yakni 2.337 meter di atas permukaan laut (mdpl). Selemparan batu dari bangunan ini, lidah gletser Hufihirn sudah bisa dijamah.

Lelehan air gletser itu membentuk air terjun, lalu jadi sungai kecil, dan akhirnya mengalir deras ke Lembah Maderan, Provinsi Uri. Terakhir akan menuju ke Telaga Lucerne yang tenang di Swiss Tengah.

Jika beruntung, dari tempat ini bisa menyaksikan sekawanan Bartgeier, burung kondor raksasa, yang sayapnya jika dibentangkan mencapai tiga meter. Makan apa burung kondor raksasa ini? Di atas kami cuma dinding batu, kerakal, pasir, salju atau gletser. Rusa, kelinci, tikus, rubah, atau ular? Ah, ular hanya dua macam di Swiss, dan tak akan kerasan hingga di tempat sedingin ini.

“Semuanya, termasuk manusia,” kata pekerja yang lain. “Tapi jika sudah jadi bangkai,” tambahnya. Burung raksasa itu ditangkarkan di kebun binatang Arth Goldau, juga Swiss Tengah, lalu dilepaskan di lembah ini.

Mereka yang biasanya hidup berpasangan akan mengais bangkai binatang yang muncul ketika salju meleleh. Tak hanya dagingnya, tapi juga tulangnya. Saya kerap melihat ke langit jadinya. Dan sesekali terus bergerak agar tidak dikira bangkai.

“Jangan khawatir, burung ini sangat pemalu dengan manusia,” kata yang lain. Ya, kami berada di Lembah Maderan, tepatnya di Hufihutte, Huma Hufi. Bukan untuk melepas lelah, sebagaimana umumnya huma di atas pucuk Alpen, tapi untuk memperbaikinya.

Tepatnya, menyelamatkannya. Letaknya yang jauh dari mana-mana, memaksa orang yang akan ke sini harus berjalan kaki 4,5 jam. Bukan jalan aspal mulus, tapi menanjak dan penuh bebatuan. Musim panas, asal kuat napasnya, sangat nyaman. Berjalan di antara padang rumput, di antara sapi-sapi gemuk Swiss.

Atau menapak jalan berbatu sambil mendengar gemuruh Sungai Maderan dan menatap biru muda air Danau Hueffi. Musim dingin, siap-siap tertimbun longsoran salju. Hanya peski free rider yang biasanya kemari pada musim dingin. Mereka itu siap tertimbun salju, ya biar saja jalan kemari.

15 orang malam itu berada di huma ini. Malamnya tidur berserakan, di atas kasur berdebu dengan sleeping bag membungkusnya. Terdengar ada yang mendengkur, tapi lamalama dengkuran itu lenyap ditelan dingin malam. Siangnya, bekerja keras. Ada yang memasang solar cell , mengecat tembok, atau membetulkan aliran kabel.

Dua emak-emak, yakni Maggie dan Rita, bertugas menyiapkan makanan. Bagaimana kami, terutama alatalat bangunan, dari batu, semen, baut, hingga kaca, bisa mengangkutnya sampai ke tempat jin buang anak ini? “Diangkut helikopter,” kata Ralph Notzli, kepala proyek.

Minimal, imbuh Ralph, tiga kali sepekan ada helikopter yang mendarat di sini. Jika lupa membawa baut, kata Ralph, akan repot. “Jadi semua direncanakan dengan matang,” imbuhnya. Urusanperencanaan, Swisslah pakarnya. Huffihutte, nama humaini, sudahdigadang-gadang akandibongkarsejaktigatahun silam.

Dari rapat internal Schweizer Alpen Club(SAC), Klub Alpen Swiss, hingga perizinan dari Pemda Uri, mulai dijalankan. Anggarannya tak kecil, SAC mematok biaya 1,3 juta Swiss franch, setara Rp2,1 triliun. Waktunya dari Juni hingga September. Di luar bulan itu, tidak memungkinkan. Jika bukan karena salju masih menumpuk, juga akan keburu salju turun lagi.

KORAN SINDO berada di sini karena juga anggota SAC. Wartawan lain, baik televisi, radio atau portal, biasanya datang pagi, pulang sore, diangkut helikopter. Saya memilih menginap. The Golden Hours biasanya memang terjadi menjelang senja. Di pucuk Alpen ini The Golden Hours berlangsung cepat.

Tiba-tiba langit memerah ketika matahari merapat ke peraduan. Lalu kabut merayap cepat, membungkus kami dalam kegelapan, sekaligus kedinginan. Tapi karena rata-rata pekerja di sini adalah pendaki gunung, cuaca yang mendadak berubah bukan persoalan besar. Jaket siap membungkus jika kabut atau hujan, atau salju datang. Jika matahari penuh, kembali hanya berkaus oblong, yang membuat otot-otot kekar itu menyeruak keluar.

Sebagian, saya mengenal mereka, sebagian lain, wajah baru. Tapi, seperti pepatah, sesama sopir jangan mendahului, sesama pendaki pun demikian. Warna kulit dipersamakan dengan pengalaman. Jadilah dalam waktu singkat kami akrab.

Rata-rata pekerja itu usianya di atas 65 tahun, pensiunan. Tapi karena otot terlatih naik-turun gunung, kakek-kakek itu masih kekar. Saya seperti bekerja bersama serdadu Viking. Jalan naik-turun berbatu, sambil memanggul pipa PVC, dilalui mereka seperti jalan aspal. Dan gancu, linggis pun beradu dengan batu, membentuk aliran sungai kecil, lalu masuk ke pipa PVC.

“Kalau di sana airnya sedikit, kalau malam beku. Dan kami di pondok tak ada air. Jadi, salurannya kami pindah ke sini, airnya lebih banyak. Berdoa saja tidak beku,” kata Rene, mandor para pekerja. Jika air jadi beku, kerja keras itu, naik-turun jalan berbatu, tak ada gunanya.

“Ya kita cari akal lagi, bagaimana agar tak beku,” katanya, sambil menatap ke atas. Ke atas itu adalah lidah gletser Huffihirn, yang ujungnya meleleh, membentuk air terjun, anak sungai. Ada anak sungai kecil, ada yang agak besar.

Kami memilih yang besar agar jika malam tiba, airnya tetap berair, bukan menjadi es. Separuh dibayar penuh, separuhnya lagi pekerja sukarela. Urs Mischler, misalnya, pensiunan tukang listrik ini memilih menjadi pekerja sukarela.

“Hanya dapat makan dan tidur. Uang bukan lagi persoalan bagi kami. SAC itu rumah kami,” katanya. Huma Hueffi bukan sembarang huma. Sejarahnya tak hanya menancap di Lembah Maderan, tapi juga seluruh Swiss, khususnya bagi SAC. Dibangun pertama kali pada tahun 1873 silam, ketika Indonesia masih dijajah Belanda.

Inilah huma pertama SAC, yang kini sudah memiliki ratusan huma serupa. Pada 1899 dibongkar, sekaligus membangun yang baru, yang tak jauh dari tempat semula. Pada 1937 direnovasi. Dan kini direnovasi kembali. Atapnya dicopot, dipasang baru, plus papan tenaga surya.

Dinding digerus, lantai dikerok. Jendela dilepas. Hanya dinding batu, ciri khas huma ini, dibiarkan seperti semula. Listrik, sebagaimana diteriakkan laki-laki Polandia itu, kini mengalir lancar. Tak hanya dari papan tenaga surya, juga pembangkit tenaga listrik mini, yang turbinnya digerakkan dari aliran air gletser, yang kami pasang dengan susah payah.

Barak tidur, yang semula 47, dijadikan 37 saja. Untuk lebih kenyamanan. Dapur kinclong , juga ruang makan. Huma di atas Lembah Maderan ini akan dibuka untuk umum pada musim panas 2019.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1000 seconds (0.1#10.140)