Interpretasi Seniman Muda atas Sejarah

Minggu, 09 Desember 2018 - 12:39 WIB
Interpretasi Seniman Muda atas Sejarah
Interpretasi Seniman Muda atas Sejarah
A A A
JAKARTA - Sejumlah seniman muda berkumpul memamerkan karya terbaiknya yang merupakan interpretasi atas sejarah yang artistik lewat pameran exi(s)t 2018.

Pameran bertema From Another Time ini mengajak kita terutama generasi milenial untuk memahami karya seni dengan torehan grafis indah dan kemasan kekinian.

Sebagai acara tahunan dia.lo.gue artspace, program ini bertujuan memberi kesempatan bagi seniman muda bertalenta yang berdomisili di Jakarta untuk berpartisipasi dalam rangkaian lokakarya, diskusi, dan pameran dengan suatu tema kuratorial yang khusus.

Tahun ini exi(s)t mengundang Evelyn Huang dan Stella Katherine, dosen dan kurator dari Jakarta, untuk berperan sebagai kurator dan menghadirkan karya seniman muda, antara lain Alexandra Karyn, Aziz Amri, Ella Wijt, Rummana Yamanie, Semburat, Sherchle, Tandika Cendrawan, dan Yovista Ahtajida.

FX Harsono selaku pembuat program dan di balik layar pameran exi(s)t mengatakan, tema besar untuk program exi(s)t mengulik aspek kesejarahan dalam rentang interpretasi artistik seluas-luasnya.

Peristiwa sejarah yang epik, mitos, tradisi lisan, narasi personal, dan politisasi sejarah merupakan sebagian topik yang ditanggapi oleh deretan seniman muda kreatif dan bertalenta berbasis di Jakarta yang tergabung dalam program ini.

“Tema pameran ini berusaha menangkap dan sekaligus menampilkan sejarah melalui kacamata anak muda. Walaupun tidak bermaksud mengumbar kekinian yang menjadi salah satu kata kunci populer di generasi milenial dan gen Z, tidak dapat dimungkiri bahwa penonton akan menangkap interpretasi seniman, tentang bagaimana mereka mengartikan persoalan atau tema yang diangkat ini dalam karya mereka, itu yang penting.

Ini juga membawa generasi memandang atau memahami fragmen-fragmen sejarah yang bermakna bagi diri mereka dalam berbagai karya seni melalui pameran ini,” ujar Harsono.

Lewat pameran ini, lanjut Harsono, pihaknya selalu punya harapan bahwa Indonesia akan menghasilkan seniman muda yang baik untuk seni rupa Indonesia dan kemudian bisa masuk kancah yang lebih besar baik nasional maupun internasional.

“Dalam pameran seni ini saya hanya memberikan jalan kepada seniman muda ini agar mereka itu bisa membuat atau memproduksi karya dengan cara yang benar, agar bisa diapresiasi.

Dan itu sudah terbukti, bahwa seniman jebolan exi(s)t ini seperti Yaya, Conte Edhita, Wangsit serta sejumlah alumni yang sudah berpameran di Melbourne, Tokyo, Yokohama,” paparnya.

Pada tahap awal, tim kuratorial yang terdiri atas Evelyn Huang dan Stella Katherine memberikan esai singkat mengenai sejarah alternatif sebagai pemantik eksplorasi yang akan dilakukan oleh para seniman terkait dengan minat dan ideologi mereka.

Serangkaian lokakarya dan diskusi intensif dari pembicara yang diundang memberikan pemaparan akan sejarah dari berbagai perspektif. Timoteus Anggawan Kusno, seniman yang kerap menghadirkan tema sejarah fiktif; Victoria Tunggono, penulis fiksi yang tertarik dengan okultisme Jawa; Lilawati Kurnia, yang berprofesi sebagai dosen kajian budaya; dan Saleh Husein, seniman yang akhir-akhir ini berkarya dengan tema sejarah personal, kesemuanya membawa seniman dalam diskusi yang berkelanjutan hingga membaurkan batas antara mitos, fakta, dan iman.

Alexandra Karyn, salah satu seniman muda bertalenta yang terlibat di acara ini membuat kisah bertolak dari jargon “sejarah adalah sekarang dalam bingkai media koran”. “Tema yang saya angkat ‘Sejarah adalah Sekarang ‘.

Dan, ada dalam dua bentuk, salah satunya dalam bingkai media koran,” kata Alexandra Karyn. Seniman lain Rummana Yamanie pun terlihat begitu total mengolah temuannya akan sosok perempuan yang multi-peran.

Performanya lewat media dari tanah liat, ia mengekspresikan keprihatinan akan banyaknya kasus praktik patriarki yang menempatkan perempuan di bawah pria. Di mana, harus diakui masih ditemukan berbagai kasus diskriminasi kaum perempuan.

Lewat karyanya ini pula, ia memiliki intens secara tak langsung dan karyanya ini tidak bersentuhan dengan gender dan feminisme, tapi lebih pada multirole gender .

“Karya yang saya buat ini ingin memberikan awarness kepada masyarakat yang masih punya konsep pemikiran patriarki, untuk menyadarkan bahwa sejak beberapa masa lampau peran wanita sudah diakui.

Adapun fokus ide karya seni yang saya buat mau disuarakan kepada pihak atau kelompok yang masih menomorduakan perempuan. Mereka harus mulai membuka mata dan pikiran karena banyak melihat adanya diskriminasi seperti itu,” ucapnya.

Seniman muda lainnya pun menghadirkan karya seni bertema sejarah menurut interpretasi dan kreativitas seni masing-masing. Seperti Aziz Amri menampilkan performa yang merefleksikan relasi antara manusia sebagai objek dengan penonton yang terinspirasi dari keadaan di masa kolonial.

Sementara Ella Wijt menghadirkan jagat paralel berdasarkan sejarah lisan dan temuannya di situs yang personal baginya. Semburat menggunakan strategi visual yang dipakai oleh grup Stamboel di masa lampau, ke dalam konsep sinema yang menjadi kekhasan mereka.

Seniman Sherchle tertarik pada zaman keemasan kerajaan di bumi Nusantara melalui serangkaian ilustrasi. Ada pula Tandika Cendrawan menelusuri memori kolektif sebuah marga Tionghoa melalui dokumentasi mixed media serta Yovista Ahtajida yang mengkritisi komodifikasi agama dalam kurun waktu tertentu melalui karya instalasi.

Program pameran exi(s)t pertama dimulai pada 2012, digagas oleh Hermawan Tanzil, FX Harsono, dan dia.lo.gue Artspace. Hermawan Tanzil adalah seorang desainer grafis sekaligus pendiri LeBoYe.

Selama berkarya hingga kini, karya-karyanya pernah dipublikasikan pada beberapa media internasional seperti Type Annual 28, Type Director Club of New York, Nop. 2007 AS; Tokyo TDC Annual Books dan masih banyak lagi.

Penggagas lainnya, FX Harsono, adalah seniman serta edukator yang aktif mengkritisi perkembangan politik dan kebudayaan Indonesia sejak masih mahasiswa di STSRI “ASRI” Yogyakarta (1969-1974) dan di Institut Kesenian Jakarta (1987- 1991).

Beberapa pameran tunggal yang pernah digelar FX Harsono adalah Testimonies, Singapore Art Museum, Singapura (2010); dan The Erased Time, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2009). (Thomasmanggalla)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5314 seconds (0.1#10.140)