Deena Aljuhani Abdulaziz, Sang Putri yang Penuh Ambisi
A
A
A
Pada 1998, Deena menikah dengan anggota keluarga kerajaan Arab Saudi, Pangeran Sultan bin Fahad bin Nasser bin Abdulaziz. Sejak saat itu, obsesi putri dari mantan menteri komunikasi Arab Saudi, Ali al-Juhani, ini pun makin mendapat jalan untuk mewujudkan mimpinya di dunia mode.
Putri Deena mencatat sejarah ketika dia diangkat menjadi pimpinan redaksi majalah Vogue Arab pada 2016 lalu. Dia sempat dijuluki sebagai ‘Anna Wintour’ dari Timur Tengah.
Namanya pun langsung mencuat di dunia mode internasional. Dia juga masuk dalam daftar 500 orang teratas Bisnis of Fashion (BoF) yang membentuk industri mode global pada tahun 2016.
Awal ketertarikannya pada dunia mode dimulai pada usia 6 tahun. Kala itu majalah pertamanya adalah Tatler Inggris, dan dia mengaku langsung jatuh cinta dengan dunia mode. Kesempatan untuk melihat majalah mode dari Eropa memang terbuka lebar untuknya, karena Deena lahir di California, Amerika Serikat.
Dia juga menjalani hari-harinya antara di Arab Saudi dan Amerika Serikat karena mengikuti pekerjaan ayahnya yang seorang ekonom dan mengajar di beberapa kampus di Amerika. Seiring waktu, perempuan kelahiran 1 Maret 1975 ini makin sering membaca berbagai majalah mode.
“Ketika saya bertambah dewasa, saya melahap majalah Seventeen, American Vogue, dan Harper's Bazaar. Saya tidak hanya akan membacanya tetapi juga melihat setiap hal kecil. Jadi saya mempelajarinya, tanpa saya sadari,” ungkapnya, dikutip material-magazine.
Sejak saat itu, Deena berpikir bahwa dunia mode adalah panggilan hidupnya. “Tetapi saya tidak pernah benar-benar berpikir saya akan bekerja di dalamnya,” imbuhnya.
Setelah menikah dengan Pangeran Sultan bin Fahad bin Nasser bin Abdulaziz pada usia 23 tahun, Deena semakin mendapat jalan untuk menghadiri peragaan busana di Paris dan Milan. Nama-nama besar seperti Polly Mellen, Slim Aarons, dan Carlyne Cerf de Dudzeele adalah referensi atau kiblatnya di dunia mode.
“Saya selalu ingin menjadi penata gaya. Tetapi tidak ada pekerjaan seperti itu di Timur Tengah. Tidak realistis bagi saya untuk pindah sepenuhnya ke Amerika Serikat untuk menjadi penata gaya, tetapi saya selalu merasa ‘gatal’. Itulah impian utama saya,” ceritanya pada The Cut.
Akhirnya, Deena mencoba untuk menjadi penata gaya di sebuah pusat perbelanjaan. “Saya mencoba bekerja sebagai pegawai magang di sebuah pusat perbelanjaan di Riyadh, tetapi mereka tidak mau mempekerjakan saya dengan alasan kualifikasi saya terlalu tinggi,” terangnya.
Tak mau melepas mimpinya selepas ditolak bekerja, Deena kemudian berbicara kepada keluarganya dan akhirnya menemukan solusi. Pada 2006, dia membuka butik di Riyadh yang diberi nama D’NA. Butik ini memperkenalkan karya para desainer yang saat itu namanya belum populer di Timur Tengah, seperti Acne, Haider Ackermann, dan Marni.
Lewat butik tersebut, Deena juga memperkenalkan desainer-desainer baru ke pasar internasional dan Arab. Di antaranya Mary Katrantzou, Rosie Assoulin, dan Prabal Gurung.
Dia tidak takut membawa sesuatu yang belum pernah didengar orang sebelumnya karena dia tahu betul pelanggannya, memahami selera dan petualangan estetika mereka. Dia juga terkenal tegas dan menolak berkompromi, serta menegaskan representasi perempuan di wilayahnya.
Ketegasan inilah yang membuat dirinya dipecat sebagai pemimpin redaksi Vogue Arab. Dikutip Business of Fashion, dia mengonfirmasi bahwa dirinya dipecat terkait dua masalah.
“Saya menolak berkompromi pada pendekatan penerbit yang bertentangan dengan nilai-nilai para pembaca kami dan peran pemimpin redaksi dalam memenuhi nilai-nilai itu dengan cara yang benar-benar autentik.
Saya bangga dengan apa yang dapat saya capai dalam waktu sesingkat itu. Pada awalnya saya bermaksud untuk membangun edisi Vogue yang inovatif,” ungkapnya melalui pernyataan eksklusifnya.
Selepas dipecat, Deena masih sibuk mengurusi bisnisnya. Dia pun kembali mengulang masa kecil dan remajanya, yaitu hidup berpindah-pindah antara Riyadh dan New York, demi mengurusi ketiga anak dan pekerjaannya.
Putri Deena mencatat sejarah ketika dia diangkat menjadi pimpinan redaksi majalah Vogue Arab pada 2016 lalu. Dia sempat dijuluki sebagai ‘Anna Wintour’ dari Timur Tengah.
Namanya pun langsung mencuat di dunia mode internasional. Dia juga masuk dalam daftar 500 orang teratas Bisnis of Fashion (BoF) yang membentuk industri mode global pada tahun 2016.
Awal ketertarikannya pada dunia mode dimulai pada usia 6 tahun. Kala itu majalah pertamanya adalah Tatler Inggris, dan dia mengaku langsung jatuh cinta dengan dunia mode. Kesempatan untuk melihat majalah mode dari Eropa memang terbuka lebar untuknya, karena Deena lahir di California, Amerika Serikat.
Dia juga menjalani hari-harinya antara di Arab Saudi dan Amerika Serikat karena mengikuti pekerjaan ayahnya yang seorang ekonom dan mengajar di beberapa kampus di Amerika. Seiring waktu, perempuan kelahiran 1 Maret 1975 ini makin sering membaca berbagai majalah mode.
“Ketika saya bertambah dewasa, saya melahap majalah Seventeen, American Vogue, dan Harper's Bazaar. Saya tidak hanya akan membacanya tetapi juga melihat setiap hal kecil. Jadi saya mempelajarinya, tanpa saya sadari,” ungkapnya, dikutip material-magazine.
Sejak saat itu, Deena berpikir bahwa dunia mode adalah panggilan hidupnya. “Tetapi saya tidak pernah benar-benar berpikir saya akan bekerja di dalamnya,” imbuhnya.
Setelah menikah dengan Pangeran Sultan bin Fahad bin Nasser bin Abdulaziz pada usia 23 tahun, Deena semakin mendapat jalan untuk menghadiri peragaan busana di Paris dan Milan. Nama-nama besar seperti Polly Mellen, Slim Aarons, dan Carlyne Cerf de Dudzeele adalah referensi atau kiblatnya di dunia mode.
“Saya selalu ingin menjadi penata gaya. Tetapi tidak ada pekerjaan seperti itu di Timur Tengah. Tidak realistis bagi saya untuk pindah sepenuhnya ke Amerika Serikat untuk menjadi penata gaya, tetapi saya selalu merasa ‘gatal’. Itulah impian utama saya,” ceritanya pada The Cut.
Akhirnya, Deena mencoba untuk menjadi penata gaya di sebuah pusat perbelanjaan. “Saya mencoba bekerja sebagai pegawai magang di sebuah pusat perbelanjaan di Riyadh, tetapi mereka tidak mau mempekerjakan saya dengan alasan kualifikasi saya terlalu tinggi,” terangnya.
Tak mau melepas mimpinya selepas ditolak bekerja, Deena kemudian berbicara kepada keluarganya dan akhirnya menemukan solusi. Pada 2006, dia membuka butik di Riyadh yang diberi nama D’NA. Butik ini memperkenalkan karya para desainer yang saat itu namanya belum populer di Timur Tengah, seperti Acne, Haider Ackermann, dan Marni.
Lewat butik tersebut, Deena juga memperkenalkan desainer-desainer baru ke pasar internasional dan Arab. Di antaranya Mary Katrantzou, Rosie Assoulin, dan Prabal Gurung.
Dia tidak takut membawa sesuatu yang belum pernah didengar orang sebelumnya karena dia tahu betul pelanggannya, memahami selera dan petualangan estetika mereka. Dia juga terkenal tegas dan menolak berkompromi, serta menegaskan representasi perempuan di wilayahnya.
Ketegasan inilah yang membuat dirinya dipecat sebagai pemimpin redaksi Vogue Arab. Dikutip Business of Fashion, dia mengonfirmasi bahwa dirinya dipecat terkait dua masalah.
“Saya menolak berkompromi pada pendekatan penerbit yang bertentangan dengan nilai-nilai para pembaca kami dan peran pemimpin redaksi dalam memenuhi nilai-nilai itu dengan cara yang benar-benar autentik.
Saya bangga dengan apa yang dapat saya capai dalam waktu sesingkat itu. Pada awalnya saya bermaksud untuk membangun edisi Vogue yang inovatif,” ungkapnya melalui pernyataan eksklusifnya.
Selepas dipecat, Deena masih sibuk mengurusi bisnisnya. Dia pun kembali mengulang masa kecil dan remajanya, yaitu hidup berpindah-pindah antara Riyadh dan New York, demi mengurusi ketiga anak dan pekerjaannya.
(don)