Sokko Mandoti, Kuliner Khas Negeri Masserempulu

Minggu, 03 Februari 2019 - 09:22 WIB
Sokko Mandoti, Kuliner...
Sokko Mandoti, Kuliner Khas Negeri Masserempulu
A A A
MAKASSAR - Negeri Masserempulu atau Negeri Menyusur Gunung merupakan julukan bagi Kabupaten Enrekang di Sulawesi Selatan.

Wilayah yang berupa perbukitan membuatnya kaya hasil bumi. Salah satunya pulu mandoti, beras jenis ketan wangi yang hanya bisa ditemukan di kabupaten yang berjarak sekitar 266 km dari Kota Makassar atau tepatnya di Desa Salukanan dan Desa Kendenan, Kecamatan Baraka.

Tumbuh di ketinggian sekitar 1.000 mdpl dengan kemiringan 60 derajat, pulu mandoti memiliki ciri tersendiri yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Jika dikukus, ketan ini mengeluarkan aroma wangi nan khas yang menyerupai daun pandan yang dapat tercium hingga radius 100 meter.

Karena itulah, pulu mandoti menjadi salah satu beras termahal di dunia karena dibanderol dengan harga Rp50.000 per kilogram atau sepuluh kali lebih mahal daripada beras ketan biasa. Beras ketan inilah yang menjadi bahan utama sokko mandoti, ketan wangi yang dimasak bersama santan dan bumbu lain.

“Ketannya berwarna agak kemerahan dan wangi, baru dicuci saja sudah tercium aromanya. Apalagi saat dikukus. Wangi pandan bercampur aroma khas pulu mandoti menyebar di seluruh ruangan,” kata Bunda Fajar, pemilik Dapur Marasa, salah satu penggerak usaha kecil di Kota Makassar.

Menyantap pulu mandoti tidak lengkap tanpa hidangan lain. Salah satunya nasu likku, menu ayam goreng yang dimasak bersama lengkuas parut atau dicincang kasar. Nasu likku berasa gurih karena dimasak dengan santan kental. Sangat cocok dengan sokko mandoti.

Selain nasu likku, sokko mandoti juga bisa disantap bersama nasu palekko, bebek yang ditumis dengan bawang, merica, serai, dan daun salam. Jika nasu likku digoreng kering bersama lengkuas, nasu palekko agak berkuah karena proses memasak yang berbeda.

“Nasu palekko dan nasu likku itu pasangannya sokko mandoti. Bisa disajikan bersama, bisa juga disajikan berbeda,” imbuh Bunda Fajar. Menurut cerita masyarakat, sokko mandoti atau biasa disebut “pare pulu mandoti” berasal dari langit yang dibawa oleh Towalli dan diwariskan kepada Bolong Ulu.

Bolong Ulu kemudian menanamnya di daerah Salukanan dan sekitarnya yang diperuntukkan bagi kegiatan ritual adat di Salukanan. Karena itulah, sokko mandoti dulu hanya dihidangkan untuk upacara adat atau sajian bagi pejabat istana.

Saat ini, untuk mencicipi kuliner khas tersebut, masyarakat harus memesan sejak satu-dua hari sebelumnya. Sebab, sokko mandoti tidak bisa bertahan lama.

“Sokko mandoti hanya bisa bertahan satu hari. Tidak bisa disimpan terlalu lama. Sebaiknya disantap saat masih hangat. Jadi harus dipesan satu-dua hari sebelumnya,” tambah Bunda Fajar.

Apalagi bahan baku untuk membuat makanan ini bisa dikatakan langka. Belum dapat diolah secara besar-besaran karena pasokan bahan utama yang kurang.

Lantaran lahan terbatas, pulu mandoti hanya bisa didapatkan sekali dalam setahun. Petani Desa Salukanan masih memakai cara tradisional dan bergantung pada musim hujan.

“Kalau saya dapat bahannya dari lahan sawah peninggalan kakek. Tidak sembarang yang dikasih. Kami cucunya dijatah, digilir setiap panen. Untuk tahun ini misalnya, yang dapat cucu dari nenek ini, tahun depan itu beda lagi,” kata Bunda Fajar.

Untuk mendapatkan sajian sokko mandoti lengkap dengan nasu likku dan nasu palekko, Bunda Fajar memasang harga Rp600.000. Dengan harga tersebut, sokko mandoti sudah bisa disantap oleh 20 orang. Kalau untuk satu liter sokko, Bunda Fajar memasang harga Rp75.000. (Hasdinar Burhan)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1522 seconds (0.1#10.140)