Beban Penyakit Langka Juga Dirasakan Anggota Keluarga Pasien

Jum'at, 01 Maret 2019 - 01:30 WIB
Beban Penyakit Langka Juga Dirasakan Anggota Keluarga Pasien
Beban Penyakit Langka Juga Dirasakan Anggota Keluarga Pasien
A A A
JAKARTA - Penyakit langka seperti MPS, gaucher, pompe, glucose-galactose malabrlsorption hingga PKU tak hanya mempengaruhi pasien penyakit tersebut, tapi juga anggota keluarga. Penyakit langka memberikan beban baik dari segi material yang memakan biaya mencapai miliaran rupiah hingga konsekuensi sosial yang harus dialami orangtua dan anak yang merasa dikucilkan oleh masyarakat karena ada stigma yang memengaruhi penyakit langka, sehingga anak lain merasa ragu untuk bermain atau berteman dengan anak yang memiliki penyakit langka.

Seperti halnya yang dialami dr. Suci Istiqa Mustafa, ibu almarhum Rumman Andarra Hishani, pasien Glucose-Galactose Malabsorption Syndrome (GGM). Di keseharian, dr. Suci mengungkapkan masih adanya stigma di masyarakat tentang penyakit langka yang membuatnya kerap mendapat pandangan sinis dari orang-orang disikitarnya, khususnya di tempat umum saat melihat kondisi buah hatinya saat itu.

"Kalau ke mall sama anak saya, orang-orang langsung ngeliatin. Semua mata memandang, langsung bisik-bisik. Itu tantangan buat saya. Belum lagi Rumman itu kan harus pakai selang di hidung jadi masih banyak stigma," ungkap Suci saat acara Hari Penyakit Langka Sedunia bersama Sanofi dan Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia di Jakarta, Rabu (27/2/2019).

Di sisi lain, Suci juga kesulitan mendapatkan susu formula hidroalergenik atau ketogenik yang menjadi obat untuk Rumman. Tak tanggung-tanggung, untuk mendapatkan susu tersebut, Suci mengakui harus mencarinya sampai ke luar negeri lantaran susu khusus ini hanya diproduksi setahun sekali dan tidak ada di Indonesia.

"Saya dibantu sama teman saya di Belanda untuk mencari susu itu. Saya juga cari-cari di situs belanja online luar negeri dan akhirnya ada. Tapi ya itu, proses pengiriman ke Indonesia lama," ujar Suci.

Orangtua pasien lainnya adalah Agus Sulistiyono, ayah Pinandito Abid Rospati, pasien pompe disease. Akibat penyakit yang dideritanya, Dito harus mengandalkan alat ventilator untuk membantunya bernapas, dan obat untuk Dito merupakan salah satu jenis orphan drug, yang sulit didapat dengan harga yang sangat mahal. Belum lagi, proses pencarian dokter dan perawatan yang tepat pun diakui Agus melelahkan mentalnya. Tak sampai di situ, Agus mengatakan, orang-orang di sekitar tempat tinggalnya mengira penyakit Dito menular lantaran buah hatinya itu harus menjalani perawatan seumur hidup.

"Saya mendapati penyakit pompe yang dialami Dito sekitar akhir tahun 2018 ketika di RSCM dan Dito masih berumur 3 tahun. Hati saya sangat hancur dan putus asa mengetahui biaya pengobatan dan perawatan yang harus Dito jalani seumur hidupnya. Sekalipun ada, obatnya harus dipesan dari luar negeri dengan harga yang sangat mahal. Kalau kami harus berjuang sendiri uang hasil jerih payah sendiri, saya tidak akan bisa mencukupinya. Mereka tanya penyakit Dito menular ya? Kenapa dirawat di rumah sakit terus-terusan?” kata Agus.

Beban lainnya juga dirasakan oleh Fitri Yenti, orangtua Umar Abdul Azis, pasien MPS II yang mengalami kesulitan mendapatkan diagnosis yang tepat untuk buah hatinya. Orangtua Umar awalnya tidak mengetahui penyebab terganggunya pertumbuhan Umar. Hingga kemudian ada seorang dokter yang merujuk Umar ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Umar pertama kali didiagnosis ketika berusia 3 tahun 7 bulan, di mana dia mengalami kemunduran dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Saat ini, Umar berumur tujuh tahun, dan harus melakukan perawatan terapi seminggu sekali di RSCM.

"Saya memerlukan waktu satu tahun lebih untuk mendapatkan diagnosis yang tepat untuk penyakit langka anak saya,” tutur Fitri Yenti.

Amin, orangtua Athiyatul Maula, pasien penyakit gaucher disease asal Jambi juga harus berjuang untuk mendapatkan diagnosa yang tepat. Bahkan, Amin rela mengunjungi banyak dokter hingga pada akhirnya ke Jakarta menemui Ahli Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM, Dr. dr. Damayanti R Sjarif, SpA(K). Namun sayang, karena adanya keterbatasan akses tenaga kesehatan untuk mendiagnosis dengan tepat, kakak Athiya, Sukron yang juga menderita kelainan yang sama meninggal dunia di usia 2 tahun 5 bulan.

“Saat itu, kami terlambat mendapati diagnosis penyakit langka ini karena adanya keterbatasan akses tenaga kesehatan untuk bisa mendiagnosis dengan tepat. Tapi, setelah melihat gejala penyakit yang serupa dengan Athiya, kami langsung segera membawa Athiya ke dokter. Mulanya di Jambi, lalu kami pergi ke Padang, sampai akhirnya kami membawa hasil CT scan diagnosis dokter di sana ke RSCM, di mana kami akhirnya bertemu dengan Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K)," papar Amin.
(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6070 seconds (0.1#10.140)