Tanpa Pembakaran Tembakau, Vape Diklaim Miliki Risiko Lebih Rendah
A
A
A
JAKARTA - Kanker paru-paru merupakan kontributor terbesar terhadap jumlah kematian yang disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah. Pada 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa terdapat 1,8 juta kematian di dunia yang disebabkan oleh kanker paru-paru. Dari jumlah tersebut, merokok berkontribusi sebesar 85 persen berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat.
Masalah serupa ternyata juga dihadapi Indonesia. Meski sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia, nyatanya masih banyak perokok di Indonesia yang kesulitan meninggalkan kebiasaan merokoknya. Laporan WHO pada 2018 menunjukkan bahwa 30,4 persen perokok di Indonesia pernah mencoba berhenti, namun hanya 9,5 persen di antaranya yang berhasil.(Baca juga: Rokok Elektrik Sama Bahayanya dengan Rokok Tradisional )
Mantan perokok aktif yang juga merupakan Pembina Asosiasi Vaper Indonesia (AVI), Dimasz Jeremia menceritakan bahwa dirinya sudah merasakan sendiri betapa susahnya berhenti merokok. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa berhenti merokok bukan hanyalah soal tantangan psikologis, namun juga fisik. "Ketika saya berhenti mengonsumsi rokok secara tiba-tiba, tubuh saya gemetar, mulut saya jadi pahit, dan saya terus-terusan merasa gelisah," ucap Dimasz di Jakarta, Senin (18/3).Dimasz menjelaskan, dalam mengurangi efek buruk merokok dan secara efektif membantu para perokok aktif untuk berhenti, terdapat dua hal yang harus dipahami, yaitu bahaya mengonsumsi rokok tembakau dan zat yang mendorong terjadinya ketergantungan terhadap rokok.
"Bahaya yang dihasilkan oleh rokok datang dari tembakau yang dibakar, di mana tembakau yang dibakar melepaskan ribuan zat kimia yang 80 persen di antaranya merupakan zat karsinogenik. Sementara itu, nikotin yang terkandung dalam sebatang rokok bersifat adiktif dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia mengandung zat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan," papar Dimasz.
Menurutnya, apabila dalam hal ini tembakau adalah zat yang paling berbahaya dan harus dihindari, maka tembakau perlu dipisahkan dari nikotin. Dari pemisahan kedua zat tersebut, kita dapat mencari cara alternatif yang dapat lebih efektif membantu perokok mengurangi risiko berbahaya merokok konvensional.(Baca juga: Efek Vape terhadap Kesehatan Lebih Buruk Ketimbang Rokok Biasa )
Cara alternatif tersebut harus mampu menyerupai pengalaman yang dirasakan oleh perokok ketika mereka mengonsumsi rokok konvensional. Hal ini agar cara tersebut bisa secara efektif menggantikan posisi rokok tembakau dengan produk alternatif yang lebih tidak berbahaya.
"Produk alternatif seperti Electronic Nicotine-Delivery System (ENDS) atau rokok elektrik dapat memberikan pengalaman alternatif yang serupa dengan merokok tembakau, namun dengan risiko kesehatan yang jauh lebih rendah karena tidak melibatkan proses pembakaran," terang Dimasz.
Penelitian Public Health England (PHE) pada 2018, menunjukkan bahwa penggunaan rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan rokok tembakau. "Namun sayangnya, masih banyak orang yang belum dapat membedakan antara bahaya tembakau yang dibakar dengan nikotin," ucap Dimasz.
"Masih terdapat stigma seputar penggunaan rokok elektrik yang memandang bahwa produk-produk alternatif ini sama bahayanya dengan produk rokok konvensional. Mengubah mispersepsi ini masih menjadi sebuah tantangan," sambungnya.
Masalah serupa ternyata juga dihadapi Indonesia. Meski sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia, nyatanya masih banyak perokok di Indonesia yang kesulitan meninggalkan kebiasaan merokoknya. Laporan WHO pada 2018 menunjukkan bahwa 30,4 persen perokok di Indonesia pernah mencoba berhenti, namun hanya 9,5 persen di antaranya yang berhasil.(Baca juga: Rokok Elektrik Sama Bahayanya dengan Rokok Tradisional )
Mantan perokok aktif yang juga merupakan Pembina Asosiasi Vaper Indonesia (AVI), Dimasz Jeremia menceritakan bahwa dirinya sudah merasakan sendiri betapa susahnya berhenti merokok. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa berhenti merokok bukan hanyalah soal tantangan psikologis, namun juga fisik. "Ketika saya berhenti mengonsumsi rokok secara tiba-tiba, tubuh saya gemetar, mulut saya jadi pahit, dan saya terus-terusan merasa gelisah," ucap Dimasz di Jakarta, Senin (18/3).Dimasz menjelaskan, dalam mengurangi efek buruk merokok dan secara efektif membantu para perokok aktif untuk berhenti, terdapat dua hal yang harus dipahami, yaitu bahaya mengonsumsi rokok tembakau dan zat yang mendorong terjadinya ketergantungan terhadap rokok.
"Bahaya yang dihasilkan oleh rokok datang dari tembakau yang dibakar, di mana tembakau yang dibakar melepaskan ribuan zat kimia yang 80 persen di antaranya merupakan zat karsinogenik. Sementara itu, nikotin yang terkandung dalam sebatang rokok bersifat adiktif dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia mengandung zat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan," papar Dimasz.
Menurutnya, apabila dalam hal ini tembakau adalah zat yang paling berbahaya dan harus dihindari, maka tembakau perlu dipisahkan dari nikotin. Dari pemisahan kedua zat tersebut, kita dapat mencari cara alternatif yang dapat lebih efektif membantu perokok mengurangi risiko berbahaya merokok konvensional.(Baca juga: Efek Vape terhadap Kesehatan Lebih Buruk Ketimbang Rokok Biasa )
Cara alternatif tersebut harus mampu menyerupai pengalaman yang dirasakan oleh perokok ketika mereka mengonsumsi rokok konvensional. Hal ini agar cara tersebut bisa secara efektif menggantikan posisi rokok tembakau dengan produk alternatif yang lebih tidak berbahaya.
"Produk alternatif seperti Electronic Nicotine-Delivery System (ENDS) atau rokok elektrik dapat memberikan pengalaman alternatif yang serupa dengan merokok tembakau, namun dengan risiko kesehatan yang jauh lebih rendah karena tidak melibatkan proses pembakaran," terang Dimasz.
Penelitian Public Health England (PHE) pada 2018, menunjukkan bahwa penggunaan rokok elektrik 95 persen lebih rendah risiko dibandingkan rokok tembakau. "Namun sayangnya, masih banyak orang yang belum dapat membedakan antara bahaya tembakau yang dibakar dengan nikotin," ucap Dimasz.
"Masih terdapat stigma seputar penggunaan rokok elektrik yang memandang bahwa produk-produk alternatif ini sama bahayanya dengan produk rokok konvensional. Mengubah mispersepsi ini masih menjadi sebuah tantangan," sambungnya.
(nug)