TBC Masih Mengancam Indonesia

Minggu, 24 Maret 2019 - 08:11 WIB
TBC Masih Mengancam...
TBC Masih Mengancam Indonesia
A A A
JAKARTA - Penyakit tuberkulosis atau TBC di Indonesia masih menempati peringkat lima besar teratas.

Sebagai negara dengan pendapatan menengah ke atas (upper-middle income) versi Bank Dunia, semestinya penyakit menular ini sudah bisa diatasi dengan baik. Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang masih memiliki beban kasus TBC terbesar setelah India dan China.

Menurut Global TB Report 2017 yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 842.000 kasus baru TBC di Indonesia dengan 23.000 di antaranya merupakan pengidap TBC resisten obat (TB RO).

TB RO merupakan pasien TBC yang tidak lagi melanjutkan pengobatan sehingga penyakitnya semakin parah dan membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Penyakit menular mematikan ini menurut data WHO menelan korban jiwa hingga 300 orang per hari.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu mengungkapkan, TBC sangat aktif penularannya kepada usia produktif. Negara menanggung beban yang cukup besar pada penyakit yang mudah menular ini.

Penurunan jumlah pengidap TBC di Indonesia pada 2017 bila dibandingkan dengan tahun 2016 tidaklah signifikan mengingat jumlah penderita TBC masih cukup tinggi. Wiendra menjelaskan estimasi jumlah kasus TBC di Indonesia sekitar 842.000 kasus, pengidap TB RO 4.400 kasus, TBC anak 52.929 kasus, dan TB HIV sebanyak 7.729 kasus.

Adapun notifikasi kasus sebanyak 514.773, kasus belum terlaporkan 39%, dan keberhasilan pengobatan sekitar 89%. “Di Indonesia sudah termasuk negara menuju maju yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan per kapita sebesar USD3,927.

Namun menurut laporan Daly Lost yang membuat perbandingan 10 penyakit teratas yang dialami masyarakat Indonesia tahun 2007 dan 2017, hasilnya menjadi perhatian khusus, terutama TBC yang masih duduk di urutan lima teratas,” tutur Wiendra Waworuntu.

Laporan tersebut menjelaskan terjadinya pergeseran penyakit masyarakat Indonesia. Bila sebelumnya penyakit infeksi yang menduduki peringkat atas antara lain gangguan kelahiran, pernapasan, kurang gizi, dan TBC, ketika negara sudah lebih maju dan perekonomian membaik sehingga masyarakat mulai memiliki taraf hidup berlebih, hal itu akan identik dengan penyakit akibat gaya hidup seperti stroke, diabetes, dan jantung.

“Uniknya di Indonesia, TBC masih menduduki posisi lima besar penyakit teratas. Hal tersebut membuktikan TBC masih menjadi ancaman serius di negara ini dan angkanya sulit ditekan,” ungkapnya. Wiendra menjelaskan, beban penyakit berkontribusi pada umur harapan hidup.

Rata-rata usia di Indonesia 71 tahun baik laki-laki maupun perempuan. “Tapi menurut data kami, ada 8 tahun dari umur harapan itu yang termasuk dalam masa penderitaan. Usia produktif sesuai data hanya sampai 63 tahun dan TBC ikut berkontribusi dalam membuat masa tua hidup seseorang dalam keadaan sakit,” tambahnya.

Menurut laporan Edine tahun 2014, lanjut Wiendra, beban dan dampak kerugian TBC terhadap ekonomi cukup besar. Masyarakat kehilangan pendapatan sekitar 38% akibat TB dan 70% akibat TB Multidrug Resistant (MDR).

Adapun masyarakat yang kehilangan pekerjaan sebesar 26% akibat TB dan sekitar 53% akibat MDR. Total jumlah kerugian ekonomi dari yang terkena TBC sekitar Rp130,5 miliar dan TB MDR sekitar Rp6,2 miliar.

Hibah Global Fund Diperpanjang
Melihat besarnya kerugian yang dialami sebuah negara akibat TBC, filantropis dunia pada 2002 menginisiasi untuk membentuk global fund untuk tiga penyakit yang menjadi masalah besar, yakni AIDS, TBC, dan malaria pada 2002.

Tiga penyakit ini lekat pada negara miskin karena menyangkut sanitasi di negara tersebut, nutrisi warganya, dan lingkungan. Negara yang berhak menerima global fund untuk mengatasi penyakitpenyakit tersebut ialah yang memiliki dua kriteria, yaitu negara miskin dan negara yang beban penyakitnya besar.

Ketua Country Coordinating Mechanism (CCM) Indonesia Donald Pardede menjelaskan, Indonesia pada 2002 ikut mendaftar dan langsung disetujui menjadi negara penerima global fund.Setahun setelahnya bantuan pun datang hingga saat ini.

“Indonesia dan India saja menyumbang 40% dari masalah TBC di dunia. Sudah jelas Indonesia mendapat bantuan. Namun seiring negara kita yang semakin maju, dari negara berkembang ke negara maju, bantuan akan ditarik kembali dalam dua periode ke depan,” tutur Donald.

Besarnya dana bantuan global fund yang diterima Indonesia pada periode 2018-2020 sebesar USD264 juta yang dialokasikan untuk mengatasi tiga jenis penyakit, yaitu 45% untuk TBC, 35% untuk AIDS, dan untuk penyakit malaria sebesar 20%.

Pengelola dana hibah tersebut adalah Kementerian Kesehatan, Yayasan Spiritia, Yayasan Aisyiah, dan Yayasan Perdhaki. “Diharapkan dari dana periode ini, kasus TBC menurun hanya 240 orang per 100 kasus. Pengobatan untuk TB RO bisa sukses tertangani hingga 65- 70%,” tandasnya.

Donald menuturkan, pada 2024 Global Fund berencana menarik bantuannya. Namun Indonesia diberi kesempatan satu periode lagi ke depan untuk merasakan dana bantuan dan berusaha mencari cara untuk mandiri dalam pencegahan AIDS, TBC, dan malaria.

Donald optimistis Indonesia dapat terus menjalankan program yang selama ini dilakukan tanpa dana dari Global Fund. Seperti diketahui, pada semua kasus TBC, obat yang diminum dalam jangka waktu 6 bulan bahkan sampai 24 bulan semua gratis.

Bagi TB RO juga mendapatkan bantuan sebesar Rp750.000 untuk membantu biaya hidup karena faktor produktivitas yang berkurang. Menanggapi rencana kemandirian Indonesia dalam penanggulangan TBC, pengamat ekonomi kesehatan Hasbulah Thabarany sangat mendukung jika Global Fund tidak lagi memberikan dana bantuan kepada Indonesia.

Hasbulah berpendapat, sangat memalukan bila Indonesia masih terus bergantung pada bantuan asing. Untuk itu Indonesia sudah harus sepenuhnya mempersiapkan dana sendiri untuk mengatasi penyakit TBC sebelum tahun 2024.

“Harusnya (pemerintah) bisa mengeluarkan Rp5 triliun per tahun untuk memberantas TBC daripada Rp150 triliun dibagi melalui subsidi BBM dan energi,” tutur Hasbulah kepada KORAN SINDO. Menurutnya Indonesia dapat mengubah alokasi APBN untuk penyakit membahayakan seperti TBC.

Ratusan juta warga Indonesia menderita karena TBC dan sudah seharusnya pemerintah bisa membuat alokasi ulang anggaran belanja negara. Dengan demikian bila pendanaan asing berakhir, Indonesia telah siap sepenuhnya menghadapi kemandirian dengan berbagai program yang efektif.

“Selama ini program dari pemerintah sudah bagus. Perlu ditambahkan kerja sama pemerintah dengan pihak swasta yang lebih serius. Klinik dan rumah sakit swasta diberi obat, bahan, alat-alat yang diperlukan didanai pemerintah,” tuturnya.

Dengan demikian, lanjut dia, tidak hanya rumah sakit pemerintah saja yang gratis, tetapi beberapa rumah sakit swasta yang dipilih pemerintah juga melayani pasien TBC secara gratis. Para pasien yang berasal dari kelas menengah ke atas tentu tidak berobat ke rumah sakit umum.

Namun di rumah sakit swasta mekanismenya yang dijalankan harus seperti rumah sakit pemerintah sehingga dapat memberikan pendampingan kepada pasien agar jangan sampai pengobatan berhenti di tengah jalan dan berdampak lebih parah. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8028 seconds (0.1#10.140)