Diagnosis Dini dan Pengobatan bagi Penderita TB-HIV melalui Uji LF-LAM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia dari agen infeksi tunggal, mycobacterium tuberculosis (MTB), dengan peringkat di atas HIV/AIDS. Diperkirakan sekitar 2 miliar manusia atau 25% dari populasi dunia terinfeksi MTB, dan 5%-10% orang yang terinfeksi memiliki risiko seumur hidup mengidap penyakit TB.
Sebelumnya, tes tuberkulosis bagi pasien yang terjangkit HIV bernama Tes GeneXpert. Namun, biaya mesin dan alat pendukung lain merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan diagnosis TB secara dini. Selain biaya yang tinggi, sistem ini juga membutuhkan sumber listrik berkelanjutan dan itu tidak selalu tersedia di daerah pedesaan.
Sementara itu, banyak negara berkembang yang menggunakan metode konvensional untuk diagnosa TB, yaitu BTA Sputum, namun sistem ini memiliki negatif palsu 50%-75%.
“HIV dan TBC merupakan dua penyakit yang kasusnya terbilang tinggi. Indonesia terhitung masih jadi penyumbang kedua setelah India dalam kasus ini. Jadi, kami melakukan kolaborasi untuk mengatasi pencegahan dan mengurangi potensi penularan,” ujar Endang Lukitosari dari Kementerian Kesehatan dalam sambutannya di acara Recent Strategies in TB-HIV Management belum lama ini.
Endang memaparkan, 25% kematian dari Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) disebabkan oleh TBC karena ODHA 30 kali lebih berisiko untuk sakit TBC dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.
“Untuk itu, jika ODHA dengan TBC tidak segera diobati, kematian akan lebih cepat. Supaya bisa diobati dengan cepat, maka perlu diagnosa dini,” ujarnya.
Senada dengan Endang, President Director Abbott Rapid Diagnostics (ARDx) Indonesia Benny George menyatakan, tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian ODHA karena bertanggung jawab atas satu dari tiga kasus kematian terkait AIDS.
“Dengan persentase 60%, kemungkinan orang dewasa yang terjangkit HIV-positif akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis dan sebanyak 50% kemungkinan anak yang hidup dengan HIV akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis,” jelasnya.
Menurut Benny, di tahun 2020 beban tuberkulosis pada ODHA mengalami peningkatan untuk pertama kali dalam satu dekade karena Covid-19. “Maka, sebagai solusi dari permasalahan tersebut, kami mendukung WHO yang telah membuat pedoman global dengan merekomendasikan diagnosis dini dan pengobatan pasien TB dengan HIV,” katanya.
“Abbott, perusahaan peralatan medis dan perawatan kesehatan asal Amerika, meluncurkan alat deteksi antigen bernama Uji Lipoarabinomannan Urin Aliran Lateral (LF-LAM) bagi penderita tuberkulosis aktif pada pasien yang terjangkit HIV,” lanjut Benny.
Di Indonesia, Uji LF-LAM bagi ODHA telah diatur dalam PNPK KEMENKES Tahun 2020 sesuai anjuran WHO. Organisasi tersebut menyatakan, tes dengan Uji LF-LAM melalui urin ini telah muncul sebagai tes point-of-care yang potensial untuk TB.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (PAPDI Jaya) yang diwakili oleh dr. Asep Saepul Rohmat, SpPD, K-GEH, FINASIM, menyampaikan bahwa sebagai dokter, pihaknya perlu memiliki ketepatan dalam mengidentifikasi pasien, lokasi, penentuan prosedur, dan tepat dalam menentukan tindakan operasi untuk pasien.
Lihat Juga: TB Penyakit Menular Paling Mematikan, Begini Langkah Efektif Pencegahan dan Pengobatannya
Sebelumnya, tes tuberkulosis bagi pasien yang terjangkit HIV bernama Tes GeneXpert. Namun, biaya mesin dan alat pendukung lain merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan diagnosis TB secara dini. Selain biaya yang tinggi, sistem ini juga membutuhkan sumber listrik berkelanjutan dan itu tidak selalu tersedia di daerah pedesaan.
Sementara itu, banyak negara berkembang yang menggunakan metode konvensional untuk diagnosa TB, yaitu BTA Sputum, namun sistem ini memiliki negatif palsu 50%-75%.
“HIV dan TBC merupakan dua penyakit yang kasusnya terbilang tinggi. Indonesia terhitung masih jadi penyumbang kedua setelah India dalam kasus ini. Jadi, kami melakukan kolaborasi untuk mengatasi pencegahan dan mengurangi potensi penularan,” ujar Endang Lukitosari dari Kementerian Kesehatan dalam sambutannya di acara Recent Strategies in TB-HIV Management belum lama ini.
Endang memaparkan, 25% kematian dari Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) disebabkan oleh TBC karena ODHA 30 kali lebih berisiko untuk sakit TBC dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.
“Untuk itu, jika ODHA dengan TBC tidak segera diobati, kematian akan lebih cepat. Supaya bisa diobati dengan cepat, maka perlu diagnosa dini,” ujarnya.
Senada dengan Endang, President Director Abbott Rapid Diagnostics (ARDx) Indonesia Benny George menyatakan, tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian ODHA karena bertanggung jawab atas satu dari tiga kasus kematian terkait AIDS.
“Dengan persentase 60%, kemungkinan orang dewasa yang terjangkit HIV-positif akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis dan sebanyak 50% kemungkinan anak yang hidup dengan HIV akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis,” jelasnya.
Menurut Benny, di tahun 2020 beban tuberkulosis pada ODHA mengalami peningkatan untuk pertama kali dalam satu dekade karena Covid-19. “Maka, sebagai solusi dari permasalahan tersebut, kami mendukung WHO yang telah membuat pedoman global dengan merekomendasikan diagnosis dini dan pengobatan pasien TB dengan HIV,” katanya.
“Abbott, perusahaan peralatan medis dan perawatan kesehatan asal Amerika, meluncurkan alat deteksi antigen bernama Uji Lipoarabinomannan Urin Aliran Lateral (LF-LAM) bagi penderita tuberkulosis aktif pada pasien yang terjangkit HIV,” lanjut Benny.
Di Indonesia, Uji LF-LAM bagi ODHA telah diatur dalam PNPK KEMENKES Tahun 2020 sesuai anjuran WHO. Organisasi tersebut menyatakan, tes dengan Uji LF-LAM melalui urin ini telah muncul sebagai tes point-of-care yang potensial untuk TB.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (PAPDI Jaya) yang diwakili oleh dr. Asep Saepul Rohmat, SpPD, K-GEH, FINASIM, menyampaikan bahwa sebagai dokter, pihaknya perlu memiliki ketepatan dalam mengidentifikasi pasien, lokasi, penentuan prosedur, dan tepat dalam menentukan tindakan operasi untuk pasien.
Lihat Juga: TB Penyakit Menular Paling Mematikan, Begini Langkah Efektif Pencegahan dan Pengobatannya
(tsa)