Kenali TBC dan Cegah Penyebarannya
A
A
A
TUBERKULOSIS (TBC) menjadi ancaman serius setiap negara. Konon, sebanyak 110.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat TBC.
Menurut data Global TB Report 2017, Indonesia menempati posisi ketiga setelah India dan China untuk negara dengan beban kasus TBC terbesar. Penularannya melalui udara disinyalir membuat penyakit ini cepat menular.
Faktanya, memang bakteri mycobacterium tuberculosis dapat menyerang siapa saja baik tua, muda, lakilaki, perempuan terlebih usia produktif. Partikel dahak orang dengan TBC paru keluar saat batuk, bersin, dan berbicara. Percikan-percikan dahak tersebut yang mengandung bakteri dan dapat melayang-layang di udara sehingga terhirup oleh orang lain.
Cepatnya penyakit ini menular membuat stigma penyakit ini menjadi buruk di masyarakat. Orang dengan TBC bisa dikucilkan karena dianggap dapat menebarkan penyakit. Namun, sebetulnya jika masyarakat paham, penyakit ini dapat tertular kepada manusia dengan daya tahan tubuh rendah.
“Jika orang yang terinfeksi mempunyai daya tahan tubuh yang baik, bakteri tersebut berada dalam keadaan laten dan tidak aktif. Sebanyak 5-10% orang yang tertular memiliki bakteri yang aktif dan tentunya menyebabkan sakit TBC,” ujar Kepala Subdit TB Kementerian Kesehatan Imran Pambudi.
Pada usia anak, sangat jarang terjadi terlebih mereka yang sudah mendapat vaksin BCG. Imran menekankan jika anak terinfeksi TBC, dipastikan ada pintu masuk. Orang-orang sekitar anak tersebut harus dicek. Sementara itu, yang menjadi kekhawatiran Kemenkes ialah banyaknya penderita diabetes saat ini.
Sementara diabetes dapat memudahkan seseorang terinfeksi virus. Faktor daya tahan tubuh melemah juga bisa menjadi faktornya. TBC bisa sembuh dengan catatan mengikuti pengobatan teratur.
Pengobatan TBC sensitif obat paling cepat selama enam bulan jika sudah termasuk TBC resisten obat paling cepat adalah harus siap mengonsumsi obat selama 9-12 bulan dan yang paling lama dapat mencapai 24 bulan.
“Pengobatan TBC gratis di layanan publik mau pun swasta yang terdaftar dan bekerja sama dengan pemerintah. Obat anti-TBC yang disediakan pemerintah terse dia dalam bentuk fixed dose combination (FDC), bukan obat lepasan, untuk mencegah resistensi. Namun, obat lepasan dapat diberikan jika pasien memiliki komplikasi atau alergi,” jelas Imran.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Wiendra Waworuntu menginformasikan jika TBC utamanya menyerang paru-paru, namun juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti selaput otak, kulit, tulang, kelenjar getah bening, dan lainnya ketika bakteri TBC keluar dari paru-paru melalui aliran darah.
Kondisi ini disebut TBC ekstraparu. “Tulang punggung menjadi wilayah yang sering terkena TBC. Alasannya tulang punggung berada dekat sekali dengan paruparu yang sudah terlebih dahulu dirusak kuman TBC.
TBC tulang menyerang tulang punggung sampai bisa hancur, penderita bisa bongkok dan lumpuh,” ujar Wiendra. Kalau dulu TBC kerap disebut dengan TBC paru. Kini tidak lagi, TBC kini berdiri sendiri atau disingkat hanya menjadi TB.
Muncul juga tantangan baru terkait pengendalian TBC, koinfeksi TB-HIV, TB resistan obat (TB-RO), TB kormobid, TB pada anak, dan tantangan lain dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Hal ini membuat Kemenkes terus meningkatkan perkembangan teknologi obat dalam 5-10 tahun, bahkan untuk TBRO bisa mencapai dua tahun sudah ada pembaharuan.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan teknologi obat karena bakteri bisa saja sudah tidak ampuh lagi dibasmi. Waktu pengobatan juga menjadi lebih sedikit, Kemenkes berusaha mem persingkat masa pengobatan dengan berusaha mencari obat yang dapat menyesuaikan.
Secara umum TBC terbagi dua, TB sensitif dan TBRO (tuberkulosis resisten obat). TBRO dibagi lagi berdasarkan berapa jenis obat yang sudah resisten. Biasanya obat diberikan sebanyak enam buah obat. TBRO single drug resistance (SDR), resisten terhadap satu jenis obat, ada lagi multi drug resistance(MDR) pasien resisten dua obat.
Terakhir TBRO XDR pasien sudah resisten lebih dari dua jenis obat. Laporan TB Kemenkes 2018 menyebutkan jum lah orang dengan TBC pada 2017 sebanyak 446.732 dan untuk MDR TBC 6.463 orang. Sedangkan pada 2018 berjumlah 436.050 dan orang dengan MDR TBC 8.076.
TBRO hadir karena pasien tidak menyempurnakan pengobatannya. “Biasanya dua bulan setelah minum obat itu sudah terlihat hasilnya bagus. Padahal, harusnya terus dilanjutkan hingga enam bulan. Obat intermittendi bulan ketiga,” jelasnya.
Faktor lain yang memengaruhi ialah rasa bosan dan efek samping obat yang membuat orang dengan TBC tidak melanjutkan pengobatan sehingga po tensi menjadi TBRO meningkat. Maka itu, tidak he ran orang dengan TB banyak membutuhkan pen dam pingan selain pengobatan.
Pendampingan ini dilakukan oleh orang-orang yang sudah sembuh dari TBC. Efek samping dari obat TBC bermacammacam seperti pusing, mual, hingga halusinasi juga gangguan pendengaran dan penglihatan. Efek obat setiap orang berbeda.
Sementara itu, Kalapas Perempuan Sukamiskin Kelas 1A Bandung Rafni Trikoriaty Irianta mengatakan, berdasarkan data pada 2018 tidak ditemukan warga binaan yang mengidap TBC. Begitu juga tiga bulan terakhir 2019, tak satu pun warga binaan yang menginap penyakit gangguan pernapasan itu.
“Jika melalui screening kesehatan dengan pemeriksaan dahak dan lain-lain ada yang keda patan menunjukkan gejala mengidap TBC, kami melakukan langkah pencegahan. Memisahkan pengidap TB di ruang tahanan khusus,” kata Rafni kepada KORAN SINDO, Sabtu (23/3/2019).
Selain itu, ujar Rafni, upaya pencegahan lainnya adalah menjaga kebersihan kamar warga binaan dilakukan setiap hari. Untuk memotivasi warga binaan menjaga kebersihan, Lapas Perempuan Sukamiskin menggelar lomba kebersihan kamar tahanan setiap bulan.
“Saya melarang banget napi merokok di lingkungan lapas. Kalau melanggar, saya beri sanksi scott jump, push up,bersihingot dan WC. Selain itu, pelaku tidak akan mendapatkan PB (pembebasan bersyarat). Saya ingin semua warga binaan di Lapas Sukamiskin sehat,” ujar Rafni.
Rafni menuturkan, selain TBC, Lapas Perempuan Sukamiskin juga memberikan perhatian terhadap pengidap HIV/AIDS. Pengidap TBC dan HIV/AIDS dipisahkan penepatan tahanannya. Ini dilakukan agar penyakit tersebut tidak menular ke penghuni lain.
Bagi yang mengidap penyakit, tutur Rafni, warga binaan dirawat intensif di Ruang Medis yang berkapasitas 12 orang. “TBC lebih berbahaya dibanding HIV/AIDS dari segi penularannya. TBC bisa di tularkan melalui udara, sedangkan HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual atau darah. Kalau bergaul dengan pengidap HIV/AIDS, ya gak papa,” tutur dia.
Saat ini jumlah warga binaan di Lapas Perem puan Sukamiskin sebanyak 486 orang. “Idealnya jumlah napi di Lapas Perempuan Sukamiskin 200 orang. Kita sudah empet-empetan ini. Apalagi, sebagian blok tahanan dipakai oleh Rutan Perempuan yang masih satu gedung dengan kita,” ungkap Rafni.
Upaya serupa juga dilakukan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IA Bandung atau Rutan Kebonwaru di Jalan Jakarta, Kota Bandung.
Kepala Rutan Kebonwaru Bandung Heri Kusrita mengatakan, untuk mencegah TBC menjangkiti warga binaan, pihaknya menerapkan screening kesehatan kepada tahanan dan narapidana baru. “Selain kepada warga binaan yang baru masuk, screening juga dilakukan terhadap penjenguk para warga binaan,” kata Herry kepada KORAN SINDO, Sabtu (23/3/2019).
Belum lama ini, ujar Heri, dalam rangka memperingati Hari TB Sedunia, Rutan Kebonwaru bekerja sama dengan Kimia Farma melakukan pemeriksaan TB gratis kepada warga binaan (tahanan dan napi) serta keluarga mereka yang berkunjung ke Rutan Kebonwaru.
“Mereka (warga binaan) diperiksa darah, air liur, dan lain-lain. Yang kedapatan mengidap TBC, kami beri perhatian khusus terkait kesehatannya. Kamar tahanannya pun dipisahkan dari warga binaan lain. Jika masih tahanan, kami menyurati pihak penahan (kepolisian atau kejaksaan),” ucap Heri.
Perlakuan seperti itu, tutur Heri, juga diberikan kepada warga binaan yang mengidap HIV/AIDS. Ini dilakukan agar penyakit yang disebabkan virus tersebut tak menular ke warga binaan lain di Rutan Kebonwaru yang saat ini dihuni sebanyak 1.525 orang baik tahanan maupun napi.
“Kami juga mewaspadai DBD (demam berdarah dengue). Kemarin kami melakukan kegiatan bersih-bersih lingkungan rutan. “Bak mandi dan got dibersihkan. Penampungan air diberi bubuk abate. Kami juga melakukan fogging(pengasapan),” tutur Heri.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Amin Ngasinan, Kota Kediri, KH Anwar Iskandar (Gus War) menyatakan, sejauh ini di lingkungan Ponpes Al Amin belum pernah ditemukan santri ataupun pengurus yang terserang TBC.
Pihaknya sendiri terus berupaya menjaga kebersihan lingkungan ponpes agar santri dan pengurus tidak terserang penyakit, baik menular maupun tidak menular. “Secara periodik kami bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat untuk penyuluhan soal kesehatan lingkungan,” katanya.
Gus War menambahkan, ada dua hal yang dilakukan agar tidak ada penyakit-penyakit berbahaya yang menjangkiti lingkungan pesantren. Pertama, santri harus sehat dengan cara berolahraga. Setiap pagi pihaknya mewajibkan santri untuk berolahraga atau setidaknya berjemur.
“Kami juga menyiapkan menu-menu sarapan yang bergizi. Setiap hari masakan berbeda-beda. Tidak hanya menu tempe saja, tapi terkadang ikan dan juga telur ayam. Pokoknya makanan-makanan yang banyak protein,” jelasnya.
Ponpes dianggap rentan terhadap TBC karena banyak ditemukan asrama di ponpes dalam kondisi lembab, gelap, dan pengap. Hal itu membuat bakteri penyebab TBC bisa tumbuh dengan cepat. Jika kamar santri jarang terkena sinar matahari, ruang ventilasi minim, dan sering becek, dekat dengan kamar mandi, peluang terjangkit penyakit TBC sangat besar.
“Biasanya asrama santri yang kotor itu karena over-capacity. Daya tampungnya empat, kadang diisi puluhan orang,” terang Gus War. Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim ini menjelaskan, kondisi lingkungan ponpes antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda.
Ada yang memang betul-betul menjaga kebersihan lingkungan dan ada yang tidak. Semua itu bergantung pada kemampuan pengurus. Tapi yang banyak terjadi adalah kelebihan penghuni yang membuat lingkungan ponpes kumuh.
Hal ini bisa memicu berbagai macam penyakit. Termasuk TBC. “Makanya kami usulkan kepada pemerintah agar membantu untuk membangun rusun di lingkungan ponpes,” katanya. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim 2017 menunjukkan jumlah penderita TBC di Jatim mencapai 120.000 orang lebih.
Dari jumlah tersebut, baru 39% yang ditemukan dan dari jumlah tersebut sebanyak 89% telah mendapatkan pengobatan secara optimal. Minimnya penderita TBC yang ditemukan diduga akibat rumah penderita jauh dan terpencil sehingga tidak mampu berobat secara rutin, badan tidak kuat untuk pergi ke balai pengobatan karena kurang gizi. (Agus Warsudi/Ananda Nararya/ Lukman Hakim)
Menurut data Global TB Report 2017, Indonesia menempati posisi ketiga setelah India dan China untuk negara dengan beban kasus TBC terbesar. Penularannya melalui udara disinyalir membuat penyakit ini cepat menular.
Faktanya, memang bakteri mycobacterium tuberculosis dapat menyerang siapa saja baik tua, muda, lakilaki, perempuan terlebih usia produktif. Partikel dahak orang dengan TBC paru keluar saat batuk, bersin, dan berbicara. Percikan-percikan dahak tersebut yang mengandung bakteri dan dapat melayang-layang di udara sehingga terhirup oleh orang lain.
Cepatnya penyakit ini menular membuat stigma penyakit ini menjadi buruk di masyarakat. Orang dengan TBC bisa dikucilkan karena dianggap dapat menebarkan penyakit. Namun, sebetulnya jika masyarakat paham, penyakit ini dapat tertular kepada manusia dengan daya tahan tubuh rendah.
“Jika orang yang terinfeksi mempunyai daya tahan tubuh yang baik, bakteri tersebut berada dalam keadaan laten dan tidak aktif. Sebanyak 5-10% orang yang tertular memiliki bakteri yang aktif dan tentunya menyebabkan sakit TBC,” ujar Kepala Subdit TB Kementerian Kesehatan Imran Pambudi.
Pada usia anak, sangat jarang terjadi terlebih mereka yang sudah mendapat vaksin BCG. Imran menekankan jika anak terinfeksi TBC, dipastikan ada pintu masuk. Orang-orang sekitar anak tersebut harus dicek. Sementara itu, yang menjadi kekhawatiran Kemenkes ialah banyaknya penderita diabetes saat ini.
Sementara diabetes dapat memudahkan seseorang terinfeksi virus. Faktor daya tahan tubuh melemah juga bisa menjadi faktornya. TBC bisa sembuh dengan catatan mengikuti pengobatan teratur.
Pengobatan TBC sensitif obat paling cepat selama enam bulan jika sudah termasuk TBC resisten obat paling cepat adalah harus siap mengonsumsi obat selama 9-12 bulan dan yang paling lama dapat mencapai 24 bulan.
“Pengobatan TBC gratis di layanan publik mau pun swasta yang terdaftar dan bekerja sama dengan pemerintah. Obat anti-TBC yang disediakan pemerintah terse dia dalam bentuk fixed dose combination (FDC), bukan obat lepasan, untuk mencegah resistensi. Namun, obat lepasan dapat diberikan jika pasien memiliki komplikasi atau alergi,” jelas Imran.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Wiendra Waworuntu menginformasikan jika TBC utamanya menyerang paru-paru, namun juga dapat menyerang organ tubuh lain seperti selaput otak, kulit, tulang, kelenjar getah bening, dan lainnya ketika bakteri TBC keluar dari paru-paru melalui aliran darah.
Kondisi ini disebut TBC ekstraparu. “Tulang punggung menjadi wilayah yang sering terkena TBC. Alasannya tulang punggung berada dekat sekali dengan paruparu yang sudah terlebih dahulu dirusak kuman TBC.
TBC tulang menyerang tulang punggung sampai bisa hancur, penderita bisa bongkok dan lumpuh,” ujar Wiendra. Kalau dulu TBC kerap disebut dengan TBC paru. Kini tidak lagi, TBC kini berdiri sendiri atau disingkat hanya menjadi TB.
Muncul juga tantangan baru terkait pengendalian TBC, koinfeksi TB-HIV, TB resistan obat (TB-RO), TB kormobid, TB pada anak, dan tantangan lain dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Hal ini membuat Kemenkes terus meningkatkan perkembangan teknologi obat dalam 5-10 tahun, bahkan untuk TBRO bisa mencapai dua tahun sudah ada pembaharuan.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan teknologi obat karena bakteri bisa saja sudah tidak ampuh lagi dibasmi. Waktu pengobatan juga menjadi lebih sedikit, Kemenkes berusaha mem persingkat masa pengobatan dengan berusaha mencari obat yang dapat menyesuaikan.
Secara umum TBC terbagi dua, TB sensitif dan TBRO (tuberkulosis resisten obat). TBRO dibagi lagi berdasarkan berapa jenis obat yang sudah resisten. Biasanya obat diberikan sebanyak enam buah obat. TBRO single drug resistance (SDR), resisten terhadap satu jenis obat, ada lagi multi drug resistance(MDR) pasien resisten dua obat.
Terakhir TBRO XDR pasien sudah resisten lebih dari dua jenis obat. Laporan TB Kemenkes 2018 menyebutkan jum lah orang dengan TBC pada 2017 sebanyak 446.732 dan untuk MDR TBC 6.463 orang. Sedangkan pada 2018 berjumlah 436.050 dan orang dengan MDR TBC 8.076.
TBRO hadir karena pasien tidak menyempurnakan pengobatannya. “Biasanya dua bulan setelah minum obat itu sudah terlihat hasilnya bagus. Padahal, harusnya terus dilanjutkan hingga enam bulan. Obat intermittendi bulan ketiga,” jelasnya.
Faktor lain yang memengaruhi ialah rasa bosan dan efek samping obat yang membuat orang dengan TBC tidak melanjutkan pengobatan sehingga po tensi menjadi TBRO meningkat. Maka itu, tidak he ran orang dengan TB banyak membutuhkan pen dam pingan selain pengobatan.
Pendampingan ini dilakukan oleh orang-orang yang sudah sembuh dari TBC. Efek samping dari obat TBC bermacammacam seperti pusing, mual, hingga halusinasi juga gangguan pendengaran dan penglihatan. Efek obat setiap orang berbeda.
Sementara itu, Kalapas Perempuan Sukamiskin Kelas 1A Bandung Rafni Trikoriaty Irianta mengatakan, berdasarkan data pada 2018 tidak ditemukan warga binaan yang mengidap TBC. Begitu juga tiga bulan terakhir 2019, tak satu pun warga binaan yang menginap penyakit gangguan pernapasan itu.
“Jika melalui screening kesehatan dengan pemeriksaan dahak dan lain-lain ada yang keda patan menunjukkan gejala mengidap TBC, kami melakukan langkah pencegahan. Memisahkan pengidap TB di ruang tahanan khusus,” kata Rafni kepada KORAN SINDO, Sabtu (23/3/2019).
Selain itu, ujar Rafni, upaya pencegahan lainnya adalah menjaga kebersihan kamar warga binaan dilakukan setiap hari. Untuk memotivasi warga binaan menjaga kebersihan, Lapas Perempuan Sukamiskin menggelar lomba kebersihan kamar tahanan setiap bulan.
“Saya melarang banget napi merokok di lingkungan lapas. Kalau melanggar, saya beri sanksi scott jump, push up,bersihingot dan WC. Selain itu, pelaku tidak akan mendapatkan PB (pembebasan bersyarat). Saya ingin semua warga binaan di Lapas Sukamiskin sehat,” ujar Rafni.
Rafni menuturkan, selain TBC, Lapas Perempuan Sukamiskin juga memberikan perhatian terhadap pengidap HIV/AIDS. Pengidap TBC dan HIV/AIDS dipisahkan penepatan tahanannya. Ini dilakukan agar penyakit tersebut tidak menular ke penghuni lain.
Bagi yang mengidap penyakit, tutur Rafni, warga binaan dirawat intensif di Ruang Medis yang berkapasitas 12 orang. “TBC lebih berbahaya dibanding HIV/AIDS dari segi penularannya. TBC bisa di tularkan melalui udara, sedangkan HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual atau darah. Kalau bergaul dengan pengidap HIV/AIDS, ya gak papa,” tutur dia.
Saat ini jumlah warga binaan di Lapas Perem puan Sukamiskin sebanyak 486 orang. “Idealnya jumlah napi di Lapas Perempuan Sukamiskin 200 orang. Kita sudah empet-empetan ini. Apalagi, sebagian blok tahanan dipakai oleh Rutan Perempuan yang masih satu gedung dengan kita,” ungkap Rafni.
Upaya serupa juga dilakukan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IA Bandung atau Rutan Kebonwaru di Jalan Jakarta, Kota Bandung.
Kepala Rutan Kebonwaru Bandung Heri Kusrita mengatakan, untuk mencegah TBC menjangkiti warga binaan, pihaknya menerapkan screening kesehatan kepada tahanan dan narapidana baru. “Selain kepada warga binaan yang baru masuk, screening juga dilakukan terhadap penjenguk para warga binaan,” kata Herry kepada KORAN SINDO, Sabtu (23/3/2019).
Belum lama ini, ujar Heri, dalam rangka memperingati Hari TB Sedunia, Rutan Kebonwaru bekerja sama dengan Kimia Farma melakukan pemeriksaan TB gratis kepada warga binaan (tahanan dan napi) serta keluarga mereka yang berkunjung ke Rutan Kebonwaru.
“Mereka (warga binaan) diperiksa darah, air liur, dan lain-lain. Yang kedapatan mengidap TBC, kami beri perhatian khusus terkait kesehatannya. Kamar tahanannya pun dipisahkan dari warga binaan lain. Jika masih tahanan, kami menyurati pihak penahan (kepolisian atau kejaksaan),” ucap Heri.
Perlakuan seperti itu, tutur Heri, juga diberikan kepada warga binaan yang mengidap HIV/AIDS. Ini dilakukan agar penyakit yang disebabkan virus tersebut tak menular ke warga binaan lain di Rutan Kebonwaru yang saat ini dihuni sebanyak 1.525 orang baik tahanan maupun napi.
“Kami juga mewaspadai DBD (demam berdarah dengue). Kemarin kami melakukan kegiatan bersih-bersih lingkungan rutan. “Bak mandi dan got dibersihkan. Penampungan air diberi bubuk abate. Kami juga melakukan fogging(pengasapan),” tutur Heri.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Amin Ngasinan, Kota Kediri, KH Anwar Iskandar (Gus War) menyatakan, sejauh ini di lingkungan Ponpes Al Amin belum pernah ditemukan santri ataupun pengurus yang terserang TBC.
Pihaknya sendiri terus berupaya menjaga kebersihan lingkungan ponpes agar santri dan pengurus tidak terserang penyakit, baik menular maupun tidak menular. “Secara periodik kami bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat untuk penyuluhan soal kesehatan lingkungan,” katanya.
Gus War menambahkan, ada dua hal yang dilakukan agar tidak ada penyakit-penyakit berbahaya yang menjangkiti lingkungan pesantren. Pertama, santri harus sehat dengan cara berolahraga. Setiap pagi pihaknya mewajibkan santri untuk berolahraga atau setidaknya berjemur.
“Kami juga menyiapkan menu-menu sarapan yang bergizi. Setiap hari masakan berbeda-beda. Tidak hanya menu tempe saja, tapi terkadang ikan dan juga telur ayam. Pokoknya makanan-makanan yang banyak protein,” jelasnya.
Ponpes dianggap rentan terhadap TBC karena banyak ditemukan asrama di ponpes dalam kondisi lembab, gelap, dan pengap. Hal itu membuat bakteri penyebab TBC bisa tumbuh dengan cepat. Jika kamar santri jarang terkena sinar matahari, ruang ventilasi minim, dan sering becek, dekat dengan kamar mandi, peluang terjangkit penyakit TBC sangat besar.
“Biasanya asrama santri yang kotor itu karena over-capacity. Daya tampungnya empat, kadang diisi puluhan orang,” terang Gus War. Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim ini menjelaskan, kondisi lingkungan ponpes antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda.
Ada yang memang betul-betul menjaga kebersihan lingkungan dan ada yang tidak. Semua itu bergantung pada kemampuan pengurus. Tapi yang banyak terjadi adalah kelebihan penghuni yang membuat lingkungan ponpes kumuh.
Hal ini bisa memicu berbagai macam penyakit. Termasuk TBC. “Makanya kami usulkan kepada pemerintah agar membantu untuk membangun rusun di lingkungan ponpes,” katanya. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim 2017 menunjukkan jumlah penderita TBC di Jatim mencapai 120.000 orang lebih.
Dari jumlah tersebut, baru 39% yang ditemukan dan dari jumlah tersebut sebanyak 89% telah mendapatkan pengobatan secara optimal. Minimnya penderita TBC yang ditemukan diduga akibat rumah penderita jauh dan terpencil sehingga tidak mampu berobat secara rutin, badan tidak kuat untuk pergi ke balai pengobatan karena kurang gizi. (Agus Warsudi/Ananda Nararya/ Lukman Hakim)
(nfl)