Usir Dingin Malam dengan Menu Coto
A
A
A
MINAHASA - Meskipun coto identik dengan Makassar, namun salah satu kuliner Nusantara itu tak asing lagi bagi warga Sulawesi Utara (Sulut).
Menikmati menu berkuah tersebut di daerah bercuaca dingin di Tondano, Minahasa, Sulut, sensasinya bisa jadi sangat berbeda. Kalau mau merasakannya, singgahlah di warung coto BEERi yang ada di Kelurahan Tataaran 2, Kecamatan Tondano Selatan.
“Walaupun baru sebulan lebih jualan coto, kami sudah bisa menjual hingga 80-100 porsi per hari. Apalagi daerah Tataaran 2, Tondano, terkenal dengan udaranya yang lumayan dingin sehingga sangat cocok bila mencicipi coto pada malam hari,” kata Franky Pungus, pemilik warung coto BEERi. Menurut Franky atau yang akrab disapa Angky, nama BEERi sendiri dipilih karena lokasi jualannya berada persis di samping Kantor BRI Tataaran 2.
Dengan begitu, kata dia, masyarakat dari luar daerah yang hendak berkunjung akan mudah mengingatnya. Apalagi, Tataaran merupakan daerah padat penduduk. Bahkan menjadi wilayah terpadat lantaran banyak mahasiswa Universitas Negeri Manado (Unima) tinggal ataupun kos di sana.
“Harga coto kami murah meriah. Hanya Rp20.000 satu porsi sudah dengan nasi. Pokoknya kami beri yang terbaik,” tukas Angky. Menurut Angky, resep dasar coto besutannya diperoleh dari sang teman yang seorang warga Makassar, namun sudah lama tinggal di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara.
“Hanya, karena saya berada di Tondano, Manado, saya sedikit mengubah atau menambah bumbunya sesuai dengan selera orang Manado yang sangat terkenal menyukai bumbu lebih banyak,” terang pria yang pernah lama merantau di Jepang itu.
Seperti diketahui, coto merupakan menu berkuah khas Makassar yang di dalamnya berisi daging dan jeroan sapi yang direbus dalam waktu lama. Rebusan daging dan jeroan itu diiris-iris, lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik secara khusus. Angky menyebutkan secara rinci terkait bahan-bahan coto tersebut. Menurut dia, bahanbahan yang disediakan untuk 50-60 porsi coto antara lain daging 1 kg, babat 1 kg, usus 1 kg, hati 1 kg, lidah 1 kg, dan lemak 200 gram.
Sedangkan bumbu yang harus disediakan meliputi lengkuas, serai, kacang tanah, bawang putih, bawang merah, kemiri, jintan bubuk, ketumbar bubuk, merica bubuk, pala bubuk, kayu manis, cengkeh bubuk, dan garam.
Mantan fotografer itu lantas menjelaskan cara membuat coto yang berbeda. Menurutnya, daging dan lemak harus direbus sampai masak. “Air sisa rebusan jangan dibuang. Cuci bersih babat, lidah, dan usus, setelah sekitar 30 menit mendidih, airnya dibuang dan dicuci lagi untuk menghilangkan bau amis,” bebernya.
Kemudian, lanjut Angky, jeroan direbus kembali dan tunggu sampai masak. Sambil menunggu masak, siapkan bumbu. Langkahnya adalah cuci bersih lengkuas dan serai, lalu potong kecil-kecil. Giling bumbu halus dan sangrai hingga berwarna kecokelatan.
“Kaldu bekas rebusan daging ditambah dengan sisa air cucian beras direbus sampai mendidih, kemudian masukkan semua olahan bumbu,” terang Angky.
Jangan lupa daging, babat, usus, hati, dan lidah dipotong kecil-kecil saat ingin disajikan. Siapkan pula irisan seledri, daun bawang, bawang goreng, jeruk nipis, dan cabai untuk menambah cita rasa. Coto biasanya juga dihidangkan dalam mangkuk dan dinikmati bersama ketupat atau buras.
Menurut catatan, coto Makassar atau coto Mangkasara diperkirakan telah ada sejak masa Kerajaan Gowa pada abad ke-16. Dulu coto yang berisi daging sapi sirloin dan tenderloin hanya disajikan untuk disantap oleh keluarga kerajaan.
Sementara bagian jeroan disajikan untuk masyarakat kelas bawah atau abdi dalem pengikut kerajaan. Saat ini coto Mangkasara sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga restoran. Masyarakat umum juga menyukai bagian daging sapi atau kerbau yang terletak di bagian punggung (sirloin) itu. Sementara beberapa penjual memberi pilihan daging sapi atau jeroan, atau campuran keduanya untuk dihidangkan. (Cahya Sumirat)
Menikmati menu berkuah tersebut di daerah bercuaca dingin di Tondano, Minahasa, Sulut, sensasinya bisa jadi sangat berbeda. Kalau mau merasakannya, singgahlah di warung coto BEERi yang ada di Kelurahan Tataaran 2, Kecamatan Tondano Selatan.
“Walaupun baru sebulan lebih jualan coto, kami sudah bisa menjual hingga 80-100 porsi per hari. Apalagi daerah Tataaran 2, Tondano, terkenal dengan udaranya yang lumayan dingin sehingga sangat cocok bila mencicipi coto pada malam hari,” kata Franky Pungus, pemilik warung coto BEERi. Menurut Franky atau yang akrab disapa Angky, nama BEERi sendiri dipilih karena lokasi jualannya berada persis di samping Kantor BRI Tataaran 2.
Dengan begitu, kata dia, masyarakat dari luar daerah yang hendak berkunjung akan mudah mengingatnya. Apalagi, Tataaran merupakan daerah padat penduduk. Bahkan menjadi wilayah terpadat lantaran banyak mahasiswa Universitas Negeri Manado (Unima) tinggal ataupun kos di sana.
“Harga coto kami murah meriah. Hanya Rp20.000 satu porsi sudah dengan nasi. Pokoknya kami beri yang terbaik,” tukas Angky. Menurut Angky, resep dasar coto besutannya diperoleh dari sang teman yang seorang warga Makassar, namun sudah lama tinggal di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara.
“Hanya, karena saya berada di Tondano, Manado, saya sedikit mengubah atau menambah bumbunya sesuai dengan selera orang Manado yang sangat terkenal menyukai bumbu lebih banyak,” terang pria yang pernah lama merantau di Jepang itu.
Seperti diketahui, coto merupakan menu berkuah khas Makassar yang di dalamnya berisi daging dan jeroan sapi yang direbus dalam waktu lama. Rebusan daging dan jeroan itu diiris-iris, lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik secara khusus. Angky menyebutkan secara rinci terkait bahan-bahan coto tersebut. Menurut dia, bahanbahan yang disediakan untuk 50-60 porsi coto antara lain daging 1 kg, babat 1 kg, usus 1 kg, hati 1 kg, lidah 1 kg, dan lemak 200 gram.
Sedangkan bumbu yang harus disediakan meliputi lengkuas, serai, kacang tanah, bawang putih, bawang merah, kemiri, jintan bubuk, ketumbar bubuk, merica bubuk, pala bubuk, kayu manis, cengkeh bubuk, dan garam.
Mantan fotografer itu lantas menjelaskan cara membuat coto yang berbeda. Menurutnya, daging dan lemak harus direbus sampai masak. “Air sisa rebusan jangan dibuang. Cuci bersih babat, lidah, dan usus, setelah sekitar 30 menit mendidih, airnya dibuang dan dicuci lagi untuk menghilangkan bau amis,” bebernya.
Kemudian, lanjut Angky, jeroan direbus kembali dan tunggu sampai masak. Sambil menunggu masak, siapkan bumbu. Langkahnya adalah cuci bersih lengkuas dan serai, lalu potong kecil-kecil. Giling bumbu halus dan sangrai hingga berwarna kecokelatan.
“Kaldu bekas rebusan daging ditambah dengan sisa air cucian beras direbus sampai mendidih, kemudian masukkan semua olahan bumbu,” terang Angky.
Jangan lupa daging, babat, usus, hati, dan lidah dipotong kecil-kecil saat ingin disajikan. Siapkan pula irisan seledri, daun bawang, bawang goreng, jeruk nipis, dan cabai untuk menambah cita rasa. Coto biasanya juga dihidangkan dalam mangkuk dan dinikmati bersama ketupat atau buras.
Menurut catatan, coto Makassar atau coto Mangkasara diperkirakan telah ada sejak masa Kerajaan Gowa pada abad ke-16. Dulu coto yang berisi daging sapi sirloin dan tenderloin hanya disajikan untuk disantap oleh keluarga kerajaan.
Sementara bagian jeroan disajikan untuk masyarakat kelas bawah atau abdi dalem pengikut kerajaan. Saat ini coto Mangkasara sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga restoran. Masyarakat umum juga menyukai bagian daging sapi atau kerbau yang terletak di bagian punggung (sirloin) itu. Sementara beberapa penjual memberi pilihan daging sapi atau jeroan, atau campuran keduanya untuk dihidangkan. (Cahya Sumirat)
(nfl)