Sepelekan Sakit Gigi Anak Bisa Berakibat Turunnya Prestasi
A
A
A
JANGAN sepelekan sakit gigi pada anak. Sakit gigi bisa membuat anak mengalami gangguan tidur hingga sulit berkonsentrasi, prestasi akademis pun bisa menurun. Gigi berlubang masih menjadi masalah besar bagi kesehatan gigi dan mulut anak Indonesia. Data Riskesdas 2018 menunjukkan, hanya 2,8% masyarakat berusia tiga tahun ke atas yang sudah memiliki perilaku menyikat gigi dua kali sehari, yaitu pagi dan malam.
Hal ini yang antara lain menyebabkan 90,2% anak Indonesia berumur lima tahun memiliki masalah gigi berlubang dengan indeks DMF-T atau jumlah rata-rata kerusakan gigi sebesar 8,1. Di kelompok usia selanjutnya, yaitu anak berusia 12 tahun, terlihat data yang agak membaik, yaitu 72% dari mereka mengalami masalah gigi berlubang dengan indeks DMF-T 1,9.
Fakta ini diungkapkan oleh Sri Hananto Seno, Ketua PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Namun, kondisi ini kembali memburuk di kelompok usia dewasa, yaitu usia 35-44 tahun. Dilaporkan bahwa 92,2% dari mereka memiliki masalah gigi berlubang dengan indeks DMF-T 6,9.
Data lain juga menyebutkan bahwa dari 57,6% penduduk Indonesia yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, hanya 10,2% dari mereka yang mendapatkan pelayanan dari tenaga medis. Semua fakta ini menunjukkan bahwa perawatan kesehatan gigi dan juga kunjungan ke dokter gigi belum dijadikan sebagai sebuah kebiasaan yang dilakukan secara kontinu.
“Melihat fakta yang ada, edukasi untuk menjaga kondisi kesehatan gigi masih harus terus digalakkan,” kata Seno. Division Head for Health & Wellbeing and Professional Institutions Yayasan Unilever Indonesia, Ratu Mirah Afifah, menambahkan bahwa anakanak yang bermasalah dengan gigi dan mulut cenderung dua kali lebih rentan untuk mengalami krisis kepercayaan diri atau kesulitan bersosialisasi.
“Bahkan mereka menolak untuk memperlihatkan senyum mereka dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki gigi dan mulut sehat,” tuturnya. Lebih jauh, hasil survei global memaparkan, banyak anak Indonesia yang mengalami keluhan sakit gigi selama satu tahun terakhir, yaitu 64%, yang 41% dari mereka menyatakan bahwa intensitas rasa sakitnya mencapai tingkat sedang hingga berat.
“Masalah ini ternyata menyebabkan mereka menemui banyak kesulitan di sekolah, baik dalam meraih prestasi akademis maupun bersosialisasi,” lanjut Mirah. Akibat sakit gigi, 37% anak mengaku harus absen dari sekolah dengan jumlah absen rata-rata dua hari per anak dalam setahun. Rasa sakit pun membuat 29% dari anak-anak tersebut mengalami gangguan tidur sehingga terpaksa harus sekolah dalam keadaan mengantuk.
Didapati pula sebagian besar dari mereka sulit berkonsentrasi dan tidak bisa turut aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, akhirnya kemampuan mereka untuk menyerap materi pelajaran menjadi sangat terganggu. Survei ini dilakukan Pepsodent pada 2018 lalu di delapan negara, yaitu Cile, Mesir, Prancis, Italia, Indonesia, Amerika Serikat, Ghana, dan Vietnam. Survei ini melibatkan 4.094 anak berusia 6-17 tahun beserta orang tua mereka.
Di Indonesia survei dilakukan pada 506 anak. Lebih jauh, survei global Pepsodent juga menyoroti peranan orang tua dalam membiasakan anak mereka menjaga kesehatan gigi sejak dini. Meskipun 90% dari orang tua di Indonesia yang terlibat di dalam survei ini mengaku bahwa anak-anak mereka sudah menyikat gigi dua kali sehari, 24% dari mereka memperbolehkan anakanaknya terkadang melewatkan sikat gigi pada malam hari bahkan 21 persennya menjadikan hal ini sebagai sebuah bentuk reward .
Belum lagi, 79% dari orang tua juga menyebutkan bahwa mereka baru mengajak anak mengunjungi dokter gigi saat masalah sudah timbul, bukan sebagai kunjungan rutin yang seharusnya dilakukan minimal 6 bulan sekali. Hal ini akhirnya menyebabkan anakanak menjadi lebih rentan mengalami sakit gigi.
Disebutkan dalam survei lain yang dilaksanakan oleh FDI World Dental Federation di awal tahun 2019 di 13 negara (termasuk di Indonesia), 78% dari orang tua di Indonesia menyatakan bahwa sekolah merupakan tempat yang tepat bagi anak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan gigi dan mulut.
Hal ini yang antara lain menyebabkan 90,2% anak Indonesia berumur lima tahun memiliki masalah gigi berlubang dengan indeks DMF-T atau jumlah rata-rata kerusakan gigi sebesar 8,1. Di kelompok usia selanjutnya, yaitu anak berusia 12 tahun, terlihat data yang agak membaik, yaitu 72% dari mereka mengalami masalah gigi berlubang dengan indeks DMF-T 1,9.
Fakta ini diungkapkan oleh Sri Hananto Seno, Ketua PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Namun, kondisi ini kembali memburuk di kelompok usia dewasa, yaitu usia 35-44 tahun. Dilaporkan bahwa 92,2% dari mereka memiliki masalah gigi berlubang dengan indeks DMF-T 6,9.
Data lain juga menyebutkan bahwa dari 57,6% penduduk Indonesia yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, hanya 10,2% dari mereka yang mendapatkan pelayanan dari tenaga medis. Semua fakta ini menunjukkan bahwa perawatan kesehatan gigi dan juga kunjungan ke dokter gigi belum dijadikan sebagai sebuah kebiasaan yang dilakukan secara kontinu.
“Melihat fakta yang ada, edukasi untuk menjaga kondisi kesehatan gigi masih harus terus digalakkan,” kata Seno. Division Head for Health & Wellbeing and Professional Institutions Yayasan Unilever Indonesia, Ratu Mirah Afifah, menambahkan bahwa anakanak yang bermasalah dengan gigi dan mulut cenderung dua kali lebih rentan untuk mengalami krisis kepercayaan diri atau kesulitan bersosialisasi.
“Bahkan mereka menolak untuk memperlihatkan senyum mereka dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki gigi dan mulut sehat,” tuturnya. Lebih jauh, hasil survei global memaparkan, banyak anak Indonesia yang mengalami keluhan sakit gigi selama satu tahun terakhir, yaitu 64%, yang 41% dari mereka menyatakan bahwa intensitas rasa sakitnya mencapai tingkat sedang hingga berat.
“Masalah ini ternyata menyebabkan mereka menemui banyak kesulitan di sekolah, baik dalam meraih prestasi akademis maupun bersosialisasi,” lanjut Mirah. Akibat sakit gigi, 37% anak mengaku harus absen dari sekolah dengan jumlah absen rata-rata dua hari per anak dalam setahun. Rasa sakit pun membuat 29% dari anak-anak tersebut mengalami gangguan tidur sehingga terpaksa harus sekolah dalam keadaan mengantuk.
Didapati pula sebagian besar dari mereka sulit berkonsentrasi dan tidak bisa turut aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, akhirnya kemampuan mereka untuk menyerap materi pelajaran menjadi sangat terganggu. Survei ini dilakukan Pepsodent pada 2018 lalu di delapan negara, yaitu Cile, Mesir, Prancis, Italia, Indonesia, Amerika Serikat, Ghana, dan Vietnam. Survei ini melibatkan 4.094 anak berusia 6-17 tahun beserta orang tua mereka.
Di Indonesia survei dilakukan pada 506 anak. Lebih jauh, survei global Pepsodent juga menyoroti peranan orang tua dalam membiasakan anak mereka menjaga kesehatan gigi sejak dini. Meskipun 90% dari orang tua di Indonesia yang terlibat di dalam survei ini mengaku bahwa anak-anak mereka sudah menyikat gigi dua kali sehari, 24% dari mereka memperbolehkan anakanaknya terkadang melewatkan sikat gigi pada malam hari bahkan 21 persennya menjadikan hal ini sebagai sebuah bentuk reward .
Belum lagi, 79% dari orang tua juga menyebutkan bahwa mereka baru mengajak anak mengunjungi dokter gigi saat masalah sudah timbul, bukan sebagai kunjungan rutin yang seharusnya dilakukan minimal 6 bulan sekali. Hal ini akhirnya menyebabkan anakanak menjadi lebih rentan mengalami sakit gigi.
Disebutkan dalam survei lain yang dilaksanakan oleh FDI World Dental Federation di awal tahun 2019 di 13 negara (termasuk di Indonesia), 78% dari orang tua di Indonesia menyatakan bahwa sekolah merupakan tempat yang tepat bagi anak untuk mendapatkan edukasi tentang kesehatan gigi dan mulut.
(don)