Menara Gereja Resia, Saksi Bisu Luka Italia
A
A
A
TIGA jam, desis petugas biro pariwisata Sterzing, Tirol Selatan, Italia, ketika saya tunjukkan gambar menara gereja di tengah-tengah air danau yang tenang.
“Tiga jam?” “Ya, tiga jam,” imbuhnya.
Saya membuka peta Tirol Selatan di mejanya. “Disini,” katanya. Jari lentik itu menunjukkan danau kecil bernama Resia. “Reschen, dalam bahasa Anda,“ katanya.
Saya dan Celina, teman seperjalanan, berpandangan. Kami tersenyum satu sama lain. Reschen, atau Resia, justru tak jauh dari negara kami tinggal, Swiss. Bagaimana kami sampai tak tahu dimana letak menara gereja itu, lantaran perjalanan ini, sungguh tergesa-gesa. Mesir, Siprus, Yunani, atau tetirah hangat untuk mandi matahari, karena dipesan dadakan, sudah terlalu mahal.
Tirol Selatan akhirnya jadi pilihan. Dekat dan murah. Cukup dengan mobil, tidak perlu keluar biaya pesawat. Baju dimasukkan koper sekenanya. Bacaan tentang Tirol Selatan kami pelajari selama di perjalanan. Dolomit, tiga pucuk Alpen Italia yang begitu masyur pun, kami juga tersesat.
Jadi, jika menara gereja yang sebenarnya bisa kami lewati ketika menyeberangi perbatasan Swiss-Italia, terlewatkan, harap maklum saja.
Toh, pada akhirnya, kami berdiri di tepi telaga Resia, menatap lekat lekat menara gereja Saint Chatarina, seperti ribuan turis lainnya. Indah, sangat indah. Ada menara kuno, berdiri kokoh, menyembul 20-an meter dari dalam air telaga. Tapi juga aneh. Ada menara gereja, tapi dalam air. Bangunan utamanya, juga tidak ada. “Sudah tenggelam,” kata warga setempat.
Apa tidak akan indah jika jadi wisata selam? “Tak hanya tenggelam, tapi juga hancur,“ imbuh petugas biro pariwisata Resia.
Dihancurkan tepatnya. Jadi, selain menara gereja, selebihnya adalah lumpur. Kami, seperti turis bodoh lainnya, mengabadikan menara gereja itu, sebagai kenang kenangan pernah ke kawasan ini. Bagi sebagian warga setempat, kenangan yang menancap bisa sebaliknya. Paling tidak, jika menengok sejarah menara gereja itu.
Adalah zaman fasis yang mengerkah Italia, ketika ada ide, untuk membendung tiga danau di desa ini di tahun 1939. Protes warga lokal, terutama yang dirugikan, tidak digubris. Bahkan upaya membawa masalah ini ke Vatikan, juga tidak membuahkan hasil.
Mega prpyek ini sempat terhenti ketika perang dunia kedua melanda Eropa. Namun dilanjutkan lagi setelah perang usai. Soal nasib warga lokal, tak lagi menjadi prioritas. Pindah dan menerima ganti rugi, atau tenggelam. Sebagian, yang masih punya tanah di dataran tinggi, pindah ke sana. Sebagian lain, minggat dari desa ini selamanya.
Sedikitnya 1.000 jiwa sengsara karena proyek ini. 677 hektar daratan, termasuk rumah dan ladang pertanian, tenggelam. Semua bangunan dihancurkan. Hanya menara gereja Saint Catharina yang masih berdiri kokoh. Saksi bisu keberingasan pemerintah zaman itu. Kini, seperti kita tahu, menara ini jadi pemantik turis, sekaligus landmark desa ini.
Resia adalah desa mungil yang masuk bagian provinsi Tirol Selatan, Italia. Tirol Selatan adalah tetirah yang menyajikan alam pegunungan, gereja dan kastil tua. Kebun anggur dan apel betebaran Tirol Selatan. Musim dingin tempat bermain ski, musim panas untuk hiking. Otzi, The Ice Man, adalah mumi leluhur orang Eropa yang ditemukan di kawasan ini. Sementara Dolomit adalah gunung kebanggaan Tirol Selatan.
Meskipun menjadi bagian administratif Italia, Tirol Selatan tidak murni berbudaya Italia. Bahasa Jerman juga berlaku di kawasan ini, karena pernah juga dibawa pengaruh Austria, negara tetangganya. „Tapi kami sebenarnya bukan Italia, juga bukan Austria. Kami ini Tirol,“ kata warga setempat. Sempat ingin memerdekakan diri, namun kini harus puas sebagai wilayah otonomi Italia.
Berbeda dengan Italia yang semrawut, Tirol Selatan terbilang rapi, juga makmur. Paling ideal ke Reschia dengan mobil. Tapi bus umum bersliweran menghubungkan desa ini. Kami meninggalkan Resia menjelang siang, melewati perbatasan Austria, lalu masuk ke Swiss. Resia menunjukkan bahwa Eropa, yang semakmur sekarang ini, juga pernah melakukan kesalahan fatal kepada penduduknya.
Krisna Diantha
Kontributor KORAN SINDO-SINDONews, Italia
“Tiga jam?” “Ya, tiga jam,” imbuhnya.
Saya membuka peta Tirol Selatan di mejanya. “Disini,” katanya. Jari lentik itu menunjukkan danau kecil bernama Resia. “Reschen, dalam bahasa Anda,“ katanya.
Saya dan Celina, teman seperjalanan, berpandangan. Kami tersenyum satu sama lain. Reschen, atau Resia, justru tak jauh dari negara kami tinggal, Swiss. Bagaimana kami sampai tak tahu dimana letak menara gereja itu, lantaran perjalanan ini, sungguh tergesa-gesa. Mesir, Siprus, Yunani, atau tetirah hangat untuk mandi matahari, karena dipesan dadakan, sudah terlalu mahal.
Tirol Selatan akhirnya jadi pilihan. Dekat dan murah. Cukup dengan mobil, tidak perlu keluar biaya pesawat. Baju dimasukkan koper sekenanya. Bacaan tentang Tirol Selatan kami pelajari selama di perjalanan. Dolomit, tiga pucuk Alpen Italia yang begitu masyur pun, kami juga tersesat.
Jadi, jika menara gereja yang sebenarnya bisa kami lewati ketika menyeberangi perbatasan Swiss-Italia, terlewatkan, harap maklum saja.
Toh, pada akhirnya, kami berdiri di tepi telaga Resia, menatap lekat lekat menara gereja Saint Chatarina, seperti ribuan turis lainnya. Indah, sangat indah. Ada menara kuno, berdiri kokoh, menyembul 20-an meter dari dalam air telaga. Tapi juga aneh. Ada menara gereja, tapi dalam air. Bangunan utamanya, juga tidak ada. “Sudah tenggelam,” kata warga setempat.
Apa tidak akan indah jika jadi wisata selam? “Tak hanya tenggelam, tapi juga hancur,“ imbuh petugas biro pariwisata Resia.
Dihancurkan tepatnya. Jadi, selain menara gereja, selebihnya adalah lumpur. Kami, seperti turis bodoh lainnya, mengabadikan menara gereja itu, sebagai kenang kenangan pernah ke kawasan ini. Bagi sebagian warga setempat, kenangan yang menancap bisa sebaliknya. Paling tidak, jika menengok sejarah menara gereja itu.
Adalah zaman fasis yang mengerkah Italia, ketika ada ide, untuk membendung tiga danau di desa ini di tahun 1939. Protes warga lokal, terutama yang dirugikan, tidak digubris. Bahkan upaya membawa masalah ini ke Vatikan, juga tidak membuahkan hasil.
Mega prpyek ini sempat terhenti ketika perang dunia kedua melanda Eropa. Namun dilanjutkan lagi setelah perang usai. Soal nasib warga lokal, tak lagi menjadi prioritas. Pindah dan menerima ganti rugi, atau tenggelam. Sebagian, yang masih punya tanah di dataran tinggi, pindah ke sana. Sebagian lain, minggat dari desa ini selamanya.
Sedikitnya 1.000 jiwa sengsara karena proyek ini. 677 hektar daratan, termasuk rumah dan ladang pertanian, tenggelam. Semua bangunan dihancurkan. Hanya menara gereja Saint Catharina yang masih berdiri kokoh. Saksi bisu keberingasan pemerintah zaman itu. Kini, seperti kita tahu, menara ini jadi pemantik turis, sekaligus landmark desa ini.
Resia adalah desa mungil yang masuk bagian provinsi Tirol Selatan, Italia. Tirol Selatan adalah tetirah yang menyajikan alam pegunungan, gereja dan kastil tua. Kebun anggur dan apel betebaran Tirol Selatan. Musim dingin tempat bermain ski, musim panas untuk hiking. Otzi, The Ice Man, adalah mumi leluhur orang Eropa yang ditemukan di kawasan ini. Sementara Dolomit adalah gunung kebanggaan Tirol Selatan.
Meskipun menjadi bagian administratif Italia, Tirol Selatan tidak murni berbudaya Italia. Bahasa Jerman juga berlaku di kawasan ini, karena pernah juga dibawa pengaruh Austria, negara tetangganya. „Tapi kami sebenarnya bukan Italia, juga bukan Austria. Kami ini Tirol,“ kata warga setempat. Sempat ingin memerdekakan diri, namun kini harus puas sebagai wilayah otonomi Italia.
Berbeda dengan Italia yang semrawut, Tirol Selatan terbilang rapi, juga makmur. Paling ideal ke Reschia dengan mobil. Tapi bus umum bersliweran menghubungkan desa ini. Kami meninggalkan Resia menjelang siang, melewati perbatasan Austria, lalu masuk ke Swiss. Resia menunjukkan bahwa Eropa, yang semakmur sekarang ini, juga pernah melakukan kesalahan fatal kepada penduduknya.
Krisna Diantha
Kontributor KORAN SINDO-SINDONews, Italia
(nfl)