Ketika Pejalan Kaki Menjadi Raja di Trotoar Tokyo
A
A
A
TOKYO - Pejalan kaki yang menyemut di trotoar atau persimpangan jalan terutama pada jam-jam sibuk menjadi pemandangan yang akan kita temui saat berkunjung ke Tokyo, Jepang. Mereka benar-benar tampak sebagai 'raja'. Ya, para pejalan kaki benar-benar 'raja' di trotoar Tokyo.
Trotoar di Tokyo yang lebar, nyaman, bersih, dan teduh menjadi pendukung buat orang yang ingin berjalan kaki dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Lebar trotoar bervariasi, antara 1-5 meter, tergantung wilayahnya. Di trotoar ini pun ada jalur kuning yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas.
Di trotoar yang menjadi penyambung antara perkantoran, gedung, atau minimarket dengan jalan raya tersebut, sama sekali tak ada pedagang kaki lima. Juga tak melintas pedagang minuman atau kopi yang berkeliling naik sepeda seperti yang kita saksikan di Jakarta atau kota lainnya di Indonesia.
Bagi pejalan kaki yang kehausan, tersedia mesin penjual minuman otomatis di sejumlah titik. Tinggal masukkan uang, tekan tombol di bawah minuman yang diinginkan, minuman pun langsung keluar dari mesin.
Saat menyusuri jalan di trotoar yang nyaris tanpa adanya tiang-tiang kecil, pejalan kaki di Tokyo juga tidak perlu takut diserobot pemotor. Hal ini lantaran sangat jarang warga Tokyo yang menggunakan motor untuk beraktivitas. Kalaupun ada, pemotor tersebut pasti melewati jalan raya alias tak berani menyerobot trotoar yang menjadi hak pejalan kaki.
Pejalan kaki di Tokyo hanya berbagi bidang trotoar dengan pesepeda yang jumlahnya lebih banyak dari pemotor. Apabila para pejalan kaki merasa kelelahan, sejumlah bangku tersedia di pinggir trotoar. Umumnya, para pejalan kaki ini begitu cepat melangkahkan kakinya menuju tujuan seperti kantor, sekolah, halte, atau stasiun kereta. Bagi mereka, waktu sangat penting.
Para pejalan kaki ini pun sangat taat aturan. Mereka tidak akan merokok atau minum sambil jalan. Bagi mereka yang merokok, tersedia ruang terbuka di sejumlah titik trotoar. Maka, kita akan sangat jarang menemukan puntung rokok atau sampah lainnya di sepanjang jalan di Tokyo.
Hal lain yang menarik adalah pejalan kaki tak bisa seenaknya menyeberangi jalan. Mereka harus menyeberang di tempat yang telah ditentukan. Saat tiba di persimpangan atau perempatan jalan, para pejalan kaki yang akan menyeberang pun tak perlu khawatir diserobot pengendara mobil atau bus. Sebab, jika lampu merah bagi pengendara mobil menyala, mereka otomatis berhenti di belakang garis setop. Pejalan kaki pun nyaman melintasi zebra cross tanpa harus takut tertabrak kendaraan. Sebaliknya, jika lampu bagi pengendara berwarna hijau, pejalan kaki akan setia menunggu hingga lampu hijau bagi mereka menyala.
Orang-orang Tokyo sangat paham aturan dan menaatinya. "Penerapan peraturannya sangat ketat, semua bisa dimonitor dengan mudah dengan CCTV. Selain itu juga karena Jepang sudah mendidik pelajaran tata krama dan sosial sejak dini," ujar Lucky Rahardi (26), seorang karyawan PT HMSI (Hino Motors Sales Indonesia) yang berdinas di Jepang.
Lucky pun mengaku salut pada warga Tokyo dan Jepang yang sudah terbiasa jalan kaki jarak jauh. "Kebanyakan orang Indonesia yang datang ke sini biasanya kaget kalau diajak keliling jalan kaki," kata Lucky.
Dia pun mengaku awalnya kesulitan mengikuti kebiasaan jalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh. "Awal-awal (jalan kaki jauh) pegal, Mas. Kaki juga sampai kapalan tiap hari. Tapi lama-lama terbiasa juga jalan 3 km dari stasiun ke kantor," pungkasnya.
Foto-Foto by Dzikry Subhanie/SINDOnews
Trotoar di Tokyo yang lebar, nyaman, bersih, dan teduh menjadi pendukung buat orang yang ingin berjalan kaki dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Lebar trotoar bervariasi, antara 1-5 meter, tergantung wilayahnya. Di trotoar ini pun ada jalur kuning yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas.
Di trotoar yang menjadi penyambung antara perkantoran, gedung, atau minimarket dengan jalan raya tersebut, sama sekali tak ada pedagang kaki lima. Juga tak melintas pedagang minuman atau kopi yang berkeliling naik sepeda seperti yang kita saksikan di Jakarta atau kota lainnya di Indonesia.
Bagi pejalan kaki yang kehausan, tersedia mesin penjual minuman otomatis di sejumlah titik. Tinggal masukkan uang, tekan tombol di bawah minuman yang diinginkan, minuman pun langsung keluar dari mesin.
Saat menyusuri jalan di trotoar yang nyaris tanpa adanya tiang-tiang kecil, pejalan kaki di Tokyo juga tidak perlu takut diserobot pemotor. Hal ini lantaran sangat jarang warga Tokyo yang menggunakan motor untuk beraktivitas. Kalaupun ada, pemotor tersebut pasti melewati jalan raya alias tak berani menyerobot trotoar yang menjadi hak pejalan kaki.
Pejalan kaki di Tokyo hanya berbagi bidang trotoar dengan pesepeda yang jumlahnya lebih banyak dari pemotor. Apabila para pejalan kaki merasa kelelahan, sejumlah bangku tersedia di pinggir trotoar. Umumnya, para pejalan kaki ini begitu cepat melangkahkan kakinya menuju tujuan seperti kantor, sekolah, halte, atau stasiun kereta. Bagi mereka, waktu sangat penting.
Para pejalan kaki ini pun sangat taat aturan. Mereka tidak akan merokok atau minum sambil jalan. Bagi mereka yang merokok, tersedia ruang terbuka di sejumlah titik trotoar. Maka, kita akan sangat jarang menemukan puntung rokok atau sampah lainnya di sepanjang jalan di Tokyo.
Hal lain yang menarik adalah pejalan kaki tak bisa seenaknya menyeberangi jalan. Mereka harus menyeberang di tempat yang telah ditentukan. Saat tiba di persimpangan atau perempatan jalan, para pejalan kaki yang akan menyeberang pun tak perlu khawatir diserobot pengendara mobil atau bus. Sebab, jika lampu merah bagi pengendara mobil menyala, mereka otomatis berhenti di belakang garis setop. Pejalan kaki pun nyaman melintasi zebra cross tanpa harus takut tertabrak kendaraan. Sebaliknya, jika lampu bagi pengendara berwarna hijau, pejalan kaki akan setia menunggu hingga lampu hijau bagi mereka menyala.
Orang-orang Tokyo sangat paham aturan dan menaatinya. "Penerapan peraturannya sangat ketat, semua bisa dimonitor dengan mudah dengan CCTV. Selain itu juga karena Jepang sudah mendidik pelajaran tata krama dan sosial sejak dini," ujar Lucky Rahardi (26), seorang karyawan PT HMSI (Hino Motors Sales Indonesia) yang berdinas di Jepang.
Lucky pun mengaku salut pada warga Tokyo dan Jepang yang sudah terbiasa jalan kaki jarak jauh. "Kebanyakan orang Indonesia yang datang ke sini biasanya kaget kalau diajak keliling jalan kaki," kata Lucky.
Dia pun mengaku awalnya kesulitan mengikuti kebiasaan jalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh. "Awal-awal (jalan kaki jauh) pegal, Mas. Kaki juga sampai kapalan tiap hari. Tapi lama-lama terbiasa juga jalan 3 km dari stasiun ke kantor," pungkasnya.
Foto-Foto by Dzikry Subhanie/SINDOnews
(nug)