Melongok Homeschooling di Tengah Kekhawatiran Wabah COVID-19
A
A
A
JAKARTA - Nama mereka Gaza Gazzetta dan Birru Darwisy, kakak-beradik yang pagi itu sedang asyik belajar. Gazza dan Wisy tampak menyiapkan kertas koran, cuka, soda kue, pewarna makanan, dan tepung tapioka.
Ya, keduanya sedang bersekolah. Namun, tak mengenakan seragam dan sepatu, tak ada bangku sekolah, serta tak ada guru. Duduk di teras rumah sambil bereksperimen. Mereka mencampurkan cuka dengan pewarna makanan dan ditaburkan soda kue ke dalam botol. Sesaat kemudian, cairan mirip lava gunung berapi tersebut menyembur dari botol. Ini bagian dari pelajaran sains.
“Wow... bagus,” ucap Gaza saat melihat semburan cairan yang keluar dari botol yang mirip gunung berapi meletus.
Setelah merasa capek, keduanya ganti mainan. Si sulung membaca buku kesukaan berjudul “Cinderella”, sementara adiknya memilih mengutak-atik puzzle tentang anatomi hewan. Buku diletakkan di meja kecil dan duduk lesehan. Sesekali kaki mereka selonjor atau bahkan sambil tengkurap. Sesuka mereka. Terkadang keduanya juga berpindah-pindah tempat. Bahkan saat sedang serius membaca buku, mereka sesekali harus jeda dan melihat hewan kesayangan yaitu kelinci, hamster, ikan, serta kura-kura.
Gazza dan Wisy bisa belajar seperti itu karena mereka merupakan siswa homeschooling yang diajar sendiri oleh kedua orangtuanya, Hanung Soekendro dan Mifta Hasmi. Keduanya sedang "bersekolah" di rumah yang beralamat di Perumahan Bukit Kencana Jaya, Meteseh, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Untuk diketahui, Hanung dan istrinya bukanlah berprofesi sebagai guru. Mereka lebih berperan sebagai fasilitator dengan membantu anak-anak mengasah kemampuan. Selain itu terus mengasah imajinasi anak agar terus berkembang.
Saat ini, Gazza berusia 6,5 tahun dan Wisy hampir 4 tahun. Pendidikan keduanya berjalan sebagaimana biasa dan tak terpengaruh dengan wabah virus corona jenis baru atau COVID-19 yang sudah menyebar di Jawa Tengah.
“Proses kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa. Sesuai jadwal, tapi memang ada beberapa kegiatan dengan komunitas yang cancel karena corona,” ungkap Hanung, belum lama ini.
Hanung mengungkapkan, Gazza dan Wisy telah menjalani pendidikan homeschooling kurang lebih 2,5 tahun. Keputusan meng-homeschooling-kan kedua putra-putrinya bukan keputusan mudah. Mengingat banyak konsekeuensi yang akan dihadapi saat menjalankannya. Seperti faktor ketersediaan waktu bagi anak-anak adalah konsekuensi wajib yang mau tidak mau harus disediakan oleh orangtua.
Usai mandi di pagi hari, orangtua harus menemani kegiatan anak-anak. “Dulu kegiatan masih sesuka mereka. Tapi, setelah semakin besar maka kami buatkan jadwal. Seperti anak-anak yang sekolah formal lain. Hanya, memang jadwalnya tidak sebanyak sekolah formal,” terang Hanung.
Di papan tulis tertera jadwal untuk Gazza. Hari Senin adalah belajar berenang dan Bahasa Inggris, Selasa membaca, menulis, dan bermain piano hingga Jumat. Sementara untuk hari Sabtu, keduanya diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya outdoor. Meski sebenarnya kegiatan sehari-hari juga banyak yang dilakukan di luar rumah.
Gazza juga diberikan pelajaran masak, karena ternyata dia suka memasak. Termasuk diajak ke pasar untuk membeli bahan dan bumbu, lalu memasaknya di rumah. Tapi, sebelumnya, Gazza mesti menuliskan apa yang harus dibeli di atas secarik kertas. Dengan begitu, tanpa dipaksa ia akan belajar menulis lebih lancar.
Hanung menyebutkan, jadwal itu hanya sebatas pengingat lantaran untuk materi belajar sebenarnya tergantung pada keinginan anak. Bisa jadi ketika waktunya bermain penambahan atau pengurangan, tapi ternyata si anak tidak mood, maka bisa diganti dengan bermain materi lain sesuai keinginan mereka.
“Pada dasarnya, jangan memaksa anak. Mood anak itu penting. Saat dia bahagia maka materi belajar akan mudah terserap dengan metode bermain. Kalau tidak mood, mending istirahat dulu. Setelah itu lanjut lagi. Jika mereka tetap tidak suka, maka ganti metode belajarnya. Saya dan ibunya pun harus belajar bagaimana cara mengajar,” jelas Hanung.
Di usianya yang keenam tahun, lanjutnya, Gazza sudah bisa membaca dan menulis meski sesekali masih salah eja. Dia juga sudah mahir berkomunikasi dengan bahasa Inggris karena bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi di rumah adalah bahasa Inggris.
Lalu, apa alasan Hanung hingga memilih homeschooling?
Hanung menuturkan, pada dasarnya homeschooling maupun pendidikan formal sama. Sama-sama belajar, dan kalaupun siswa homeschooling kelak ingin mencari ijazah, tetap bisa. Hanya metode pembelajaran homeschooling, lanjutnya, akan lebih pas bagi anak. Karena materi yang diberikan kepada anak disesuaikan dengan kemampuan dan passion-nya. Meskipun di tahap awal harus dikenalkan ke semua hal untuk menggali rasa keingintahuan anak.
Pada konsep homeschooling tak ada penilaian anak yang pintar harus mendapat nilai 8, 9, ata 10 di semua mata pelajaran. “Setiap anak kan unik. Punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka, kenali bakat dan apa passion-nya. Untuk menjadikan anak berprestasi, asah kelebihannya,” ujar Hanung.
Hanung meyakini betul kata-kata yang pernah disampaikan oleh Albert Einstein. “Setiap orang itu jenius. Tapi, jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya untuk memanjat pohon, maka seumur hidup ia percaya bahwa dirinya bodoh,” tandasnya.
Ya, keduanya sedang bersekolah. Namun, tak mengenakan seragam dan sepatu, tak ada bangku sekolah, serta tak ada guru. Duduk di teras rumah sambil bereksperimen. Mereka mencampurkan cuka dengan pewarna makanan dan ditaburkan soda kue ke dalam botol. Sesaat kemudian, cairan mirip lava gunung berapi tersebut menyembur dari botol. Ini bagian dari pelajaran sains.
“Wow... bagus,” ucap Gaza saat melihat semburan cairan yang keluar dari botol yang mirip gunung berapi meletus.
Setelah merasa capek, keduanya ganti mainan. Si sulung membaca buku kesukaan berjudul “Cinderella”, sementara adiknya memilih mengutak-atik puzzle tentang anatomi hewan. Buku diletakkan di meja kecil dan duduk lesehan. Sesekali kaki mereka selonjor atau bahkan sambil tengkurap. Sesuka mereka. Terkadang keduanya juga berpindah-pindah tempat. Bahkan saat sedang serius membaca buku, mereka sesekali harus jeda dan melihat hewan kesayangan yaitu kelinci, hamster, ikan, serta kura-kura.
Gazza dan Wisy bisa belajar seperti itu karena mereka merupakan siswa homeschooling yang diajar sendiri oleh kedua orangtuanya, Hanung Soekendro dan Mifta Hasmi. Keduanya sedang "bersekolah" di rumah yang beralamat di Perumahan Bukit Kencana Jaya, Meteseh, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Untuk diketahui, Hanung dan istrinya bukanlah berprofesi sebagai guru. Mereka lebih berperan sebagai fasilitator dengan membantu anak-anak mengasah kemampuan. Selain itu terus mengasah imajinasi anak agar terus berkembang.
Saat ini, Gazza berusia 6,5 tahun dan Wisy hampir 4 tahun. Pendidikan keduanya berjalan sebagaimana biasa dan tak terpengaruh dengan wabah virus corona jenis baru atau COVID-19 yang sudah menyebar di Jawa Tengah.
“Proses kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa. Sesuai jadwal, tapi memang ada beberapa kegiatan dengan komunitas yang cancel karena corona,” ungkap Hanung, belum lama ini.
Hanung mengungkapkan, Gazza dan Wisy telah menjalani pendidikan homeschooling kurang lebih 2,5 tahun. Keputusan meng-homeschooling-kan kedua putra-putrinya bukan keputusan mudah. Mengingat banyak konsekeuensi yang akan dihadapi saat menjalankannya. Seperti faktor ketersediaan waktu bagi anak-anak adalah konsekuensi wajib yang mau tidak mau harus disediakan oleh orangtua.
Usai mandi di pagi hari, orangtua harus menemani kegiatan anak-anak. “Dulu kegiatan masih sesuka mereka. Tapi, setelah semakin besar maka kami buatkan jadwal. Seperti anak-anak yang sekolah formal lain. Hanya, memang jadwalnya tidak sebanyak sekolah formal,” terang Hanung.
Di papan tulis tertera jadwal untuk Gazza. Hari Senin adalah belajar berenang dan Bahasa Inggris, Selasa membaca, menulis, dan bermain piano hingga Jumat. Sementara untuk hari Sabtu, keduanya diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan yang sifatnya outdoor. Meski sebenarnya kegiatan sehari-hari juga banyak yang dilakukan di luar rumah.
Gazza juga diberikan pelajaran masak, karena ternyata dia suka memasak. Termasuk diajak ke pasar untuk membeli bahan dan bumbu, lalu memasaknya di rumah. Tapi, sebelumnya, Gazza mesti menuliskan apa yang harus dibeli di atas secarik kertas. Dengan begitu, tanpa dipaksa ia akan belajar menulis lebih lancar.
Hanung menyebutkan, jadwal itu hanya sebatas pengingat lantaran untuk materi belajar sebenarnya tergantung pada keinginan anak. Bisa jadi ketika waktunya bermain penambahan atau pengurangan, tapi ternyata si anak tidak mood, maka bisa diganti dengan bermain materi lain sesuai keinginan mereka.
“Pada dasarnya, jangan memaksa anak. Mood anak itu penting. Saat dia bahagia maka materi belajar akan mudah terserap dengan metode bermain. Kalau tidak mood, mending istirahat dulu. Setelah itu lanjut lagi. Jika mereka tetap tidak suka, maka ganti metode belajarnya. Saya dan ibunya pun harus belajar bagaimana cara mengajar,” jelas Hanung.
Di usianya yang keenam tahun, lanjutnya, Gazza sudah bisa membaca dan menulis meski sesekali masih salah eja. Dia juga sudah mahir berkomunikasi dengan bahasa Inggris karena bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi di rumah adalah bahasa Inggris.
Lalu, apa alasan Hanung hingga memilih homeschooling?
Hanung menuturkan, pada dasarnya homeschooling maupun pendidikan formal sama. Sama-sama belajar, dan kalaupun siswa homeschooling kelak ingin mencari ijazah, tetap bisa. Hanya metode pembelajaran homeschooling, lanjutnya, akan lebih pas bagi anak. Karena materi yang diberikan kepada anak disesuaikan dengan kemampuan dan passion-nya. Meskipun di tahap awal harus dikenalkan ke semua hal untuk menggali rasa keingintahuan anak.
Pada konsep homeschooling tak ada penilaian anak yang pintar harus mendapat nilai 8, 9, ata 10 di semua mata pelajaran. “Setiap anak kan unik. Punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka, kenali bakat dan apa passion-nya. Untuk menjadikan anak berprestasi, asah kelebihannya,” ujar Hanung.
Hanung meyakini betul kata-kata yang pernah disampaikan oleh Albert Einstein. “Setiap orang itu jenius. Tapi, jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya untuk memanjat pohon, maka seumur hidup ia percaya bahwa dirinya bodoh,” tandasnya.
(tsa)