Pasien TB Berisiko Terinfeksi COVID-19, Pastikan Pengobatan Tak Putus
A
A
A
JAKARTA - Setiap tanggal 24 Maret seluruh negara di dunia memperingati Hari Tuberkulosis (TB). TB bukanlah momok yang harus ditakutkan, namun wajib diobati dengan cepat dan tepat. TB adalah penyakit yang dapat disembuhkan.
Namun, adanya pandemi COVID-19, pasien TB mesti mendapatkan perhatian lebih. Pasalnya, orang dengan TB harus terus mengonsumsi obat dan mendapat layanan pengobatan. Jika kedua hal penting tersebut terputus, tentu akan mempengaruhi pasien TB.
"Kita harus mengantisipasi isu ini, bahwa jangan sampai orang dengan TB layanannya terputus. Kita sudah ada datanya, monitor dukungan dari kader memastikan layanan berjalan seperti biasa. Yang perlu adalah antisipasi jangan sampai putus," kata Komite Ahli TB Indonesia dr. Pandu Riono, MPH,Ph.D melalui teleconference, Selasa (24/3).
Program nasional penanggulangan TB dan fasilitas pelayanan kesehatan harus mempertahankan tingkat dukungan untuk layanan esensial TB, meskipun dalam keadaan darurat COVID-19. Pemberian pelayanan TB yang berpusat pada pasien meliputi pencegahan, diagnosis, dan perawatan harus dipastikan terselenggara bersama dengan upaya penanggulangan COVID-19.
"Kalau pasien TB kena COVID-19 pasti lebih berat. Penyakit komorbid lain pasti bertambah berat. Artinya kita sangat harus jangan panik, jangan resah. Meski kita harus akui bahwa kita tidak siap dengan pandemi ini," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan RI dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes.
Perencanaan dan pemantauan ketersediaan logistik yang tepat sangat penting untuk memastikan pengadaan serta penyediaan obat-obatan TB maupun sarana diagnostik tidak terganggu. Kementerian Kesehatan memantau rantai distribusi obat-obatan di tingkat nasional, sedangkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi dan Kabupaten/Kota harus memastikan stok obat mencukupi kebutuhan di tingkat layanan primer serta rujukan dengan terjadinya perubahan atau penyesuaian jadwal pengobatan pasien.
"Paling penting memang kalau orang dengan TB itu tidak boleh putus pengobatannya walaupun mendapat COVID-19. Jadi orang yang agak tua, diabetes, hipertensi, asma, TB, itu berisiko tinggi. Orang-orang dengan kondisi kronis termasuk tuberkulosis tidak boleh putus pengobatan," tandas dr. Pandu.
Dinkes juga diharapkan mengantisipasi terhambatnya pengiriman logistik karena adanya pembatasan perjalanan akibat pandemi COVID-19 melalui persiapan permintaan obat sedini mungkin, memastikan ketersediaan stok penyangga, dan melakukan pemantauan stok sampai ke tingkat fasilitas layanan kesehatan (fasyakes) secara lebih rutin.
"Orang dengan tuberkulosis ada daftarnya. Siapa mereka, alamatnya di mana. Kalau perlu petugas kesehatan datang ke sana. Jangan lagi ada orang yang putus pengobatan penyakit apapun, ini juga menekan kematian. Ini bebannya berat sekali. Kita berlomba dengan kecepatan penularan, tidak bisa hanya dengan ngomong saja, harus bergerak cepat dan bertindak. Kalau ada mandat tak boleh keluar, layanan kesehatan harus mengantisipasi," tutup dr. Pandu.
Namun, adanya pandemi COVID-19, pasien TB mesti mendapatkan perhatian lebih. Pasalnya, orang dengan TB harus terus mengonsumsi obat dan mendapat layanan pengobatan. Jika kedua hal penting tersebut terputus, tentu akan mempengaruhi pasien TB.
"Kita harus mengantisipasi isu ini, bahwa jangan sampai orang dengan TB layanannya terputus. Kita sudah ada datanya, monitor dukungan dari kader memastikan layanan berjalan seperti biasa. Yang perlu adalah antisipasi jangan sampai putus," kata Komite Ahli TB Indonesia dr. Pandu Riono, MPH,Ph.D melalui teleconference, Selasa (24/3).
Program nasional penanggulangan TB dan fasilitas pelayanan kesehatan harus mempertahankan tingkat dukungan untuk layanan esensial TB, meskipun dalam keadaan darurat COVID-19. Pemberian pelayanan TB yang berpusat pada pasien meliputi pencegahan, diagnosis, dan perawatan harus dipastikan terselenggara bersama dengan upaya penanggulangan COVID-19.
"Kalau pasien TB kena COVID-19 pasti lebih berat. Penyakit komorbid lain pasti bertambah berat. Artinya kita sangat harus jangan panik, jangan resah. Meski kita harus akui bahwa kita tidak siap dengan pandemi ini," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan RI dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes.
Perencanaan dan pemantauan ketersediaan logistik yang tepat sangat penting untuk memastikan pengadaan serta penyediaan obat-obatan TB maupun sarana diagnostik tidak terganggu. Kementerian Kesehatan memantau rantai distribusi obat-obatan di tingkat nasional, sedangkan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi dan Kabupaten/Kota harus memastikan stok obat mencukupi kebutuhan di tingkat layanan primer serta rujukan dengan terjadinya perubahan atau penyesuaian jadwal pengobatan pasien.
"Paling penting memang kalau orang dengan TB itu tidak boleh putus pengobatannya walaupun mendapat COVID-19. Jadi orang yang agak tua, diabetes, hipertensi, asma, TB, itu berisiko tinggi. Orang-orang dengan kondisi kronis termasuk tuberkulosis tidak boleh putus pengobatan," tandas dr. Pandu.
Dinkes juga diharapkan mengantisipasi terhambatnya pengiriman logistik karena adanya pembatasan perjalanan akibat pandemi COVID-19 melalui persiapan permintaan obat sedini mungkin, memastikan ketersediaan stok penyangga, dan melakukan pemantauan stok sampai ke tingkat fasilitas layanan kesehatan (fasyakes) secara lebih rutin.
"Orang dengan tuberkulosis ada daftarnya. Siapa mereka, alamatnya di mana. Kalau perlu petugas kesehatan datang ke sana. Jangan lagi ada orang yang putus pengobatan penyakit apapun, ini juga menekan kematian. Ini bebannya berat sekali. Kita berlomba dengan kecepatan penularan, tidak bisa hanya dengan ngomong saja, harus bergerak cepat dan bertindak. Kalau ada mandat tak boleh keluar, layanan kesehatan harus mengantisipasi," tutup dr. Pandu.
(tsa)