Kecil tapi Siap Berkembang
A
A
A
Bila kita nostalgia masa kecil, tentu yang terbayang segala bentuk permainan tradisional yang sering kita mainkan dulu. Sayangnya, anak-anak yang hidup pada masa kini sudah tak mengenal permainan tersebut. Untuk itulah Komunitas Anak Bawang hadir.
Komunitas ini bertujuan ingin terus melestarikan dan mengumpulkan permainan tradisional khas Indonesia. Bermarkas di Surakarta, tepatnya di Jalan Cikasa I No3 RT 01 RW XII, Pucangsawit Jebres, Surakarta, Komunitas Anak Bawang yakin bisa memperkenalkan kembali permainan zaman dulu pada masa kini.
“Semboyan kami ‘Aku Bermain Maka Aku Senang’, maksudnya dengan permainan tradisional, anak lebih mampu mengekspresikan dirinya sehingga anak lebih bebas dan anak pun lebih ceria. Berbeda dengan permainan saat ini yang lebih mengandalkan teknologi dan kehidupan maya,” ujar Suprapto, pendiri Komunitas Anak Bawang.
Bersama 14 teman lainnya, Hidayat Burhanuddin, Norysta, Busrini, Auditya, Bidari, Indarti, Umi Masri, Riska Arum, Sandy, Shofia, Dian, Diah, dan Khabibah, Komunitas Anak Bawang didirikan pada 10 November 2012. Saat Seminar Permainan Tradisional yang diadakan oleh Psikologi Universitas Negeri Solo (UNS), rintisan komunitas ini mulai terlihat, sampai akhirnya penelitian-penelitian dan animo peserta seminar yang cukup besar, membulatkan tekad untuk membentuk komunitas permainan tradisional ini.
Mengapa memilih nama Anak Bawang untuk komunitas ini? Menurut Suprapto, kata “anak bawang” diambil dari “pupuk bawang”. “Dalam setiap permainan tradisional, selalu ada anak kecil yang dianggap belum cukup umur dan disebut sebagai pupuk bawang atau dalam bahasa Indonesia adalah anak bawang.
Anak bawang selalu dianggap sebagai penggenap dalam permainan. Dia ikut bermain, tapi keberadaannya tidak diperhitungkan dalam permainan itu. Dia ada, tapi seperti tidak ada. Namun, jangan remehkan si anak bawang ini. Pada mulanya, memang dia tidak dianggap karena belum cukup umur. Namun, seiring berjalan waktu, si anak bawang ini akan berkembang dan menjadi pemain utama dalam permainan itu,” katanya.
Para pendiri berharap komunitas sejalan dengan filosofi nama yang mereka ciptakan. Komunitas Anak Bawang mulanya dianggap tidak ada. Namun, seiring berjalannya waktu, komunitas ini banyak bertemu dengan khalayak. Langkah-langkah kecil yang semula hanya diketahui orang-orang di sekitarnya, telah menyebar melalui banyak cerita. Permainan tradisional yang mulanya telah menjadi kenangan generasi prateknologi, lambat laun berubah. Anak-anak kembali mengenal kearifan lokal bangsanya bahwa Indonesia itu kaya.
Komunitas Anak Bawang kerap mengadakan kegiatan yang mereka sebut Jumatan, yakni workshop permainan tradisional yang dilakukan setiap hari Jumat membahas tata cara dan aturan yang ada di dalam permainan. Setiap hari Minggu juga mereka rutin membuka stan di Car Free Day Solo yang berisi mainan tradisional yang bisa dicoba dan mengajak bermain permainan tradisional anak-anak.
Komunitas Anak Bawang juga pernah mengadakan Olimpiade Permainan Tradisional pada 2013. Pesertanya adalah siswa-siswa sekolah dasar kelas 4, 5, dan 6. Bersama sponsor, yakni sebuah mal di Solo, mereka membuat Olimpiade Gobag Sodor dan parade dolanan anak.
“Bukan hanya masyarakat yang mengunjungi Komunitas Anak Bawang, kami juga pernah kerja sama dengan Komunitas Blusukan memperkenalkan permainan tradisional ke orang-orang yang berada di Laweyan Solo. Kami ingin lebih dekat dengan masyarakat melalui permainan tradisional,” tutur Suprapto.
Ananda nararya
Komunitas ini bertujuan ingin terus melestarikan dan mengumpulkan permainan tradisional khas Indonesia. Bermarkas di Surakarta, tepatnya di Jalan Cikasa I No3 RT 01 RW XII, Pucangsawit Jebres, Surakarta, Komunitas Anak Bawang yakin bisa memperkenalkan kembali permainan zaman dulu pada masa kini.
“Semboyan kami ‘Aku Bermain Maka Aku Senang’, maksudnya dengan permainan tradisional, anak lebih mampu mengekspresikan dirinya sehingga anak lebih bebas dan anak pun lebih ceria. Berbeda dengan permainan saat ini yang lebih mengandalkan teknologi dan kehidupan maya,” ujar Suprapto, pendiri Komunitas Anak Bawang.
Bersama 14 teman lainnya, Hidayat Burhanuddin, Norysta, Busrini, Auditya, Bidari, Indarti, Umi Masri, Riska Arum, Sandy, Shofia, Dian, Diah, dan Khabibah, Komunitas Anak Bawang didirikan pada 10 November 2012. Saat Seminar Permainan Tradisional yang diadakan oleh Psikologi Universitas Negeri Solo (UNS), rintisan komunitas ini mulai terlihat, sampai akhirnya penelitian-penelitian dan animo peserta seminar yang cukup besar, membulatkan tekad untuk membentuk komunitas permainan tradisional ini.
Mengapa memilih nama Anak Bawang untuk komunitas ini? Menurut Suprapto, kata “anak bawang” diambil dari “pupuk bawang”. “Dalam setiap permainan tradisional, selalu ada anak kecil yang dianggap belum cukup umur dan disebut sebagai pupuk bawang atau dalam bahasa Indonesia adalah anak bawang.
Anak bawang selalu dianggap sebagai penggenap dalam permainan. Dia ikut bermain, tapi keberadaannya tidak diperhitungkan dalam permainan itu. Dia ada, tapi seperti tidak ada. Namun, jangan remehkan si anak bawang ini. Pada mulanya, memang dia tidak dianggap karena belum cukup umur. Namun, seiring berjalan waktu, si anak bawang ini akan berkembang dan menjadi pemain utama dalam permainan itu,” katanya.
Para pendiri berharap komunitas sejalan dengan filosofi nama yang mereka ciptakan. Komunitas Anak Bawang mulanya dianggap tidak ada. Namun, seiring berjalannya waktu, komunitas ini banyak bertemu dengan khalayak. Langkah-langkah kecil yang semula hanya diketahui orang-orang di sekitarnya, telah menyebar melalui banyak cerita. Permainan tradisional yang mulanya telah menjadi kenangan generasi prateknologi, lambat laun berubah. Anak-anak kembali mengenal kearifan lokal bangsanya bahwa Indonesia itu kaya.
Komunitas Anak Bawang kerap mengadakan kegiatan yang mereka sebut Jumatan, yakni workshop permainan tradisional yang dilakukan setiap hari Jumat membahas tata cara dan aturan yang ada di dalam permainan. Setiap hari Minggu juga mereka rutin membuka stan di Car Free Day Solo yang berisi mainan tradisional yang bisa dicoba dan mengajak bermain permainan tradisional anak-anak.
Komunitas Anak Bawang juga pernah mengadakan Olimpiade Permainan Tradisional pada 2013. Pesertanya adalah siswa-siswa sekolah dasar kelas 4, 5, dan 6. Bersama sponsor, yakni sebuah mal di Solo, mereka membuat Olimpiade Gobag Sodor dan parade dolanan anak.
“Bukan hanya masyarakat yang mengunjungi Komunitas Anak Bawang, kami juga pernah kerja sama dengan Komunitas Blusukan memperkenalkan permainan tradisional ke orang-orang yang berada di Laweyan Solo. Kami ingin lebih dekat dengan masyarakat melalui permainan tradisional,” tutur Suprapto.
Ananda nararya
(bbg)