Rancid Masih belum Mati
A
A
A
Grup musik punk Rancid meluncurkan album ke-8 mereka, “Honor is All We Know”. Album tersebut masih terasa sama ketika Rancid mengeluarkan album debut mereka pada 1993 silam.
Grup musik yang beranggotakan Tim Armstrong, Lars Frederiksen, Matt Freeman, dan Brett Steineckert itu akhirnya menghasilkan 14 lagu untuk album kedelapan mereka. Pada tahun 1990-an Rancid dan Green Day sempat menaikkan romantika musik punk. Album “And Out Come the Wolves” milik Rancid dan Dookie dari Green Day berhasil menjadi role model para Millenials atau Generasi Y dalam menyuarakan toleransi, kebebasan, dan antikemapanan.
Teriakan toleransi, kebebasan, dan antikemapanan itu pun masih jadi menu utama Rancid. Dua lagu pertama di album “Honor Is All We Know” sudah menyiratkan semangat tersebut, yakni Back Where I Belong dan Raise Your Fist . Mereka pun masih merasa tidak perlu berlama-lama dalam menyanyikan lagu. Bayangkan saja, dengan total 14 lagu, waktu yang dihabiskan di album ini hanya memakan waktu 30 menit 32 detik.
Meski terasa sama, dari album pertama hingga kedelapan yang paling menarik dari Rancid adalah pemilihan nama album. Entah disadari atau tidak oleh Tim Armstrong cs, nama-nama album yang mereka pilih justru sangat menggambarkan suasana psikologis yang tengah mereka rasakan.
Misalnya, album debut pertama mereka, “Rancid”, pada 1993 silam. Album pertama tersebut merupakan album ketika mereka memperkenalkan diri sebagai Rancid. “Album tersebut penuh dengan nuansa kekecewaan karena band kami sebelumnya Operation Ivy bubar,” ujar Matt Freeman.
Bergabungnya Lars Frederiksen dalam proses pembuatan album kedua membuat Matt Freeman dan Tim Armstrong semakin percaya diri membawa bendera musik punk. Inilah mengapa album kedua Rancid dinamakan “Lets Go”. Begitu jati diri Rancid semakin terbentuk, album ketiga pun dirilis pada 1995, yaitu “And Out Come the Wolves”. Album ini pun membawa Rancid pada titik tertinggi puncak karier mereka. Ketika titik tertinggi tercapai, tibanya saat menurun.
Rancid menyadari hal tersebut, makanya mereka berupaya keras agar tetap di jalurnya. Mereka pun berusaha mawas diri ketika menawarkan album berjudul “Life Wont Wait”. Intinya hidup tidak akan berjalan sesuai dengan keinginan jika tidak berusaha. Keinginan eksis begitu terlihat ketika Rancid kembali meluncurkan album ke-5 yang namanya seperti album perdana mereka, Rancid.
Tim Armstrong cs merasa perlu meredefinisi ulang tujuan dan filosofi mereka dalam bermusik. Mereka berharap selanjutnya mereka tidak pernah akan bubar untuk selamanya. Itulah yang mereka lakukan ketika album ke-6 dirilis, yakni “Indestructible”. Sebaliknya, setelah album keluar, personel Rancid justru asyik dengan proyek mereka sendiri-sendiri.
Tim Armstrong sibuk membuat teater, sementara Matt Freeman mencoba membuat grup Devils Brigade. Begitu juga Lars Frederiksen dengan The Bastard. Di tengah kesibukan ini, mereka membuat album berjudul “Let the Dominoes Fall”. Album ini sedikit mengartikan bahwa Rancid sudah seperti sebuah domino yang jatuh. Kesibukan masing-masing personel mengalihkan perhatian mereka dari Rancid.
Terbukti, setelah itu Rancid masuk dalam masa hiatus yang panjang. Baru pada tahun inilah mereka meluncurkan album terbaru bertajuk “Honor is All We Know”. Pembuatan album ini pun dilewati oleh masa-masa yang tidak mudah. Sempat terkatung-katung karena satu sama lain masih belum menemukan bentuk arah mana yang akan mereka tuju.
“Kebersamaan kami ternyata jauh lebih berharga dari semua itu. Kami memang sibuk, namun kami tetap bersama dan saling berbicara satu sama lain,” ucap Lars Frederiksen. Dan satu hal yang mereka tidak bisa tinggalkan adalah kebanggaan sebagai Rancid. Setidaknya inilah mengapa album ini diberi nama “Honor is All We Know”.
Wahyu sibarani
Grup musik yang beranggotakan Tim Armstrong, Lars Frederiksen, Matt Freeman, dan Brett Steineckert itu akhirnya menghasilkan 14 lagu untuk album kedelapan mereka. Pada tahun 1990-an Rancid dan Green Day sempat menaikkan romantika musik punk. Album “And Out Come the Wolves” milik Rancid dan Dookie dari Green Day berhasil menjadi role model para Millenials atau Generasi Y dalam menyuarakan toleransi, kebebasan, dan antikemapanan.
Teriakan toleransi, kebebasan, dan antikemapanan itu pun masih jadi menu utama Rancid. Dua lagu pertama di album “Honor Is All We Know” sudah menyiratkan semangat tersebut, yakni Back Where I Belong dan Raise Your Fist . Mereka pun masih merasa tidak perlu berlama-lama dalam menyanyikan lagu. Bayangkan saja, dengan total 14 lagu, waktu yang dihabiskan di album ini hanya memakan waktu 30 menit 32 detik.
Meski terasa sama, dari album pertama hingga kedelapan yang paling menarik dari Rancid adalah pemilihan nama album. Entah disadari atau tidak oleh Tim Armstrong cs, nama-nama album yang mereka pilih justru sangat menggambarkan suasana psikologis yang tengah mereka rasakan.
Misalnya, album debut pertama mereka, “Rancid”, pada 1993 silam. Album pertama tersebut merupakan album ketika mereka memperkenalkan diri sebagai Rancid. “Album tersebut penuh dengan nuansa kekecewaan karena band kami sebelumnya Operation Ivy bubar,” ujar Matt Freeman.
Bergabungnya Lars Frederiksen dalam proses pembuatan album kedua membuat Matt Freeman dan Tim Armstrong semakin percaya diri membawa bendera musik punk. Inilah mengapa album kedua Rancid dinamakan “Lets Go”. Begitu jati diri Rancid semakin terbentuk, album ketiga pun dirilis pada 1995, yaitu “And Out Come the Wolves”. Album ini pun membawa Rancid pada titik tertinggi puncak karier mereka. Ketika titik tertinggi tercapai, tibanya saat menurun.
Rancid menyadari hal tersebut, makanya mereka berupaya keras agar tetap di jalurnya. Mereka pun berusaha mawas diri ketika menawarkan album berjudul “Life Wont Wait”. Intinya hidup tidak akan berjalan sesuai dengan keinginan jika tidak berusaha. Keinginan eksis begitu terlihat ketika Rancid kembali meluncurkan album ke-5 yang namanya seperti album perdana mereka, Rancid.
Tim Armstrong cs merasa perlu meredefinisi ulang tujuan dan filosofi mereka dalam bermusik. Mereka berharap selanjutnya mereka tidak pernah akan bubar untuk selamanya. Itulah yang mereka lakukan ketika album ke-6 dirilis, yakni “Indestructible”. Sebaliknya, setelah album keluar, personel Rancid justru asyik dengan proyek mereka sendiri-sendiri.
Tim Armstrong sibuk membuat teater, sementara Matt Freeman mencoba membuat grup Devils Brigade. Begitu juga Lars Frederiksen dengan The Bastard. Di tengah kesibukan ini, mereka membuat album berjudul “Let the Dominoes Fall”. Album ini sedikit mengartikan bahwa Rancid sudah seperti sebuah domino yang jatuh. Kesibukan masing-masing personel mengalihkan perhatian mereka dari Rancid.
Terbukti, setelah itu Rancid masuk dalam masa hiatus yang panjang. Baru pada tahun inilah mereka meluncurkan album terbaru bertajuk “Honor is All We Know”. Pembuatan album ini pun dilewati oleh masa-masa yang tidak mudah. Sempat terkatung-katung karena satu sama lain masih belum menemukan bentuk arah mana yang akan mereka tuju.
“Kebersamaan kami ternyata jauh lebih berharga dari semua itu. Kami memang sibuk, namun kami tetap bersama dan saling berbicara satu sama lain,” ucap Lars Frederiksen. Dan satu hal yang mereka tidak bisa tinggalkan adalah kebanggaan sebagai Rancid. Setidaknya inilah mengapa album ini diberi nama “Honor is All We Know”.
Wahyu sibarani
(bbg)